Lontar.id – Mereka yang karib akan permainan kartu pastinya mengenal Joker cukup baik. “Wild card” tersebut memiliki kekuatan dalam satu permainan meja, dapat menjadi lawan maupun kawan bagi pemegangnya.
Jauh sebelum Joker menjadi tokoh antagonis terpopuler saat ini, karakter tersebut sebenarnya lahir bukan untuk ‘berbuat jahat’. Sosok si gemar tertawa terinspirasi dari pelawak di taman hiburan, dari pemain pantomim sekaliber Charlie Chaplin, atau freak show yang populer di Inggris pada abad ke-16.
Kalau dalam perspektif kreatornya, karakter Joker terinspirasi dari karakter Gwynplaine yang tragis romantis dalam silent movie “The Man Who Laughs” (Paul Leni, 1928), karya adaptasi dari novel Viktor Hugo yang memang tidak jauh dari penggambaran seorang badut panggung. Dalam DC Universe, Joker versi Jared Leto dianggap yang paling mendekati (ada yang mulai panik karena menganggap persona Joker di “Suicide Squad” paling receh, hehe).
Di Gotham City, masyarakatnya mengidolakan Batman sebagai pelindung kota, maka apa jadinya Batman bila tidak ada musuh bebuyutan. Kota tidak berantakan begitu saja, ada aktor inteletual di balik semua itu. Itulah fungsi karakter Joker. Gara-gara Joker, Bruce Wayne terpanggil untuk berubah menjadi Batman atau gegara Batman, sosok Joker ‘terpaksa hadir’ di tengah kota nan kelam itu?
Cesar Romero, Jack Nicholson, Mark Hamill, Heath Ledger, Jared Leto, dan Joaquin Phoenix merupakan sederet aktor watak beruntung yang berkesempatan memerankan sosok Joker, baik dengan performa fisik maupun sebagai pengisi suara dan satu di antaranya meninggalkan prestasi hebat sekaligus meninggalkan dunia ini secara mengejutkan.
Laiknya Leonardo diCaprio sebelum duduk cuek memegang tropi Oscar, Heath Ledger dulunya dianggap hanya menjual tampang. Tekanan psikologis seperti ini, bagi seorang aktor adalah beban yang sangat berat.
Tanyakan kepada tunangan Joaquin Phoenix, Rooney Mara tentang bagaimana ia berjibaku menjadi sosok The Girl with the Dragon Tatoo untuk berpindah kelas dari kalangan kelas B menjadi first layer actress di Hollywood.
Seperti hendak membalas dendam kepada opini industri yang kejam, Mr. Ledger menggunakan semua acting tools yang dimilikinya demi menghadirkan persona the perfect Joker. Jatuh-jatuhnya, siapapun yang memerankan Joker setelah The Dark Night akan menuai julid, pesimisme, atau bahkan sikap ‘kali nol’ dari penggemar sinema.
Well, tidak etis bila membandingkan ketiga versi Joker layar lebar dalam satu dekade ini, sebab sebenarnya mereka memainkan tiga kepribadian Joker yang berbeda. If you needed something to blame, tunjuki timeline produksinya. Secara kronologis, “Joker” (Todd Phillips, 2019) merupakan versi origin atau “the birth of Joker” sama seperti “Wolverine” di semesta X-Men.
Di Suicide Squad, Jared Leto memerankan Joker yang kasmaran dan berada di bawah pengaruh sidekick lover -memangnya jenius mana yang tidak tiba-tiba bodoh karena cinta, Ferguso? Sementara Ledger memainkan sosok Joker di masa kematangannya sebagai mastermind. Terang benderang perbedaan itu.
Terpujilah kemampuan akting Phoenix di film ini, suatu totalitas dalam menjawab tantangan seni peran. Dia meloncat mulus dari memerankan tokoh sebijak Jesus menjadi segila Joker. Entah apa yang merasukinya di balik layar sebelum mengeluarkan tawa super cringe dan menghantui. Penampilan terbaik Phoenix yaitu saat dia mengambil alih peran Murray (Robert de Niro) sebagai host, berpidato dengan kaya emosi untuk selanjutnya melepaskan peluru ke dahi komedian terkenal itu tetiba saja. Utterly brilliant.
Todd Phillips dan Scott Silver yang duduk di kursi penulis skenario menemukan kalau sejatinya tidak ada latar belakang yang cukup detail menggambarkan kelahiran Joker dalam versi komik. Satu-satunya yang paling kuat adalah peristiwa jatuhnya Arthur Fleck ke dalam tangki bahan kimia dan mereka anggap kurang realistis untuk menghasilkan penjahat psikopatik.
Akhirnya mereka melirik versi Joker dalam komik Batman: The Killing Joke (1988), di situ ia dikisahkan sebagai stand-up comedian gagal. Bila mengikut sepenuhnya pada latar tersebut, muasal Joker akan terkesan biasa saja, kurang kuat untuk menghadirkan lawan tertangguh Batman–bahkan dijadikan patron penjahat-penjahat lain. Kurang menginspirasi orang-orang yang katanya barbar itulah.
Maka mereka memperluas definisi Joker sebagai sebuah simbol akumulatif dari penyakit-penyakit sosial di Gotham City, ketika Bruce Wayne masih anak manja ingusan dan orang tuanya merupakan politikus-pengusaha angkuh di antara tingginya kesenjangan sosial pada masa itu. Orang Indonesia amat akrab dengan perilaku kaum kelas atas seperti Thomas dan kroni-kroninya, apalagi kepada acara televisi nyampah yang berlindung di balik rating tinggi.
Mengikuti alurnya, Joker bukanlah action movie. Laju narasi tidak berupaya menyajikan adegan perkelahian sengit antara si pahlawan dan bajingan. Film ini lebih kepada genre psychological drama semacam “Stoker” atau “Silence of The Lamb” agar penonton yang budiman paham akar terbentuknya sosok Joker. Dan lagi, tidak etis menjuluki Joker sebagai villain, karena sebenarnya dia itu anti-hero.
Meminjam narasi para aktivis human rights, sejatinya tidak ada manusia yang lahir dengan niat untuk berbuat jahat atau dalam kacamata kriminologi: gejala-gejala sosial yang dianggap menyimpang merupakan hasil konstruksi sosial, refleksi dari kekacauan sistem yang sedang berlaku.
Gambaran tersebut tercermin dalam diri Arthur Fleck. Ia tinggal bersama ibunya (mulanya protaginis), ayahnya entah melanglang ke mana, hidup miskin di apartemen bobrok, terpaksa bekerja sebagai badut promosi, di-bully, hingga tidak pernah mendapatkan panggung komedi tunggal yang layak.
Kesulitan hidup membuat Arthur boros di wajah dan menderita depresi. Layanan sosial berupa konsultasi gratis atas mental illness-nya dicabut tiba-tiba oleh pemkot, di tempat kerja dia dipecat sewenang-wenang, dan sosok ayah yang diyakininya sebagai Thomas Wayne rupanya produk delusional ibu sintingnya.
Sempurnalah nasib sial Arthur Fleck: seorang komedian gagal, anak adopsi yang mengalami kekerasan fisik di masa kecil, dan kehilangan mata pencaharian. “I used to think that my life was a tragedy, but I realize it was a comedy,” kata Arthur Fleck setelah mengetahui bahwa sejak awal ia tidak memiliki apa-apa untuk disayangi apalagi diperjuangkan (hiks, hiks, hiks….)
Guna mempertegas bahwa Joker sebenarnya produk ketimpangan sosial, intrik politik dihadirkan. Beriringan dengan penyingkapan identitas Arthur Fleck, Thomas Wayne (ayah biologis Batman) sedang mencalonkan diri menjadi walikota Gotham dan memanfaatkan kasus tertembaknya 3 pemuda cabul hasil pembelaan diri Arthur yang saat itu masih memiliki superego (baca: orang baik).
Menyikapi kasus tersebut, Thomas mengeluarkan pernyataan menyakitkan dalam wawancara di televisi, murkalah warga miskin Kota Gotham. Mereka pun berupaya menjatuhkan kelas penguasa dengan cara turun ke jalan mengenakan topeng badut. Setelah kemunculan perdana Joker di layar kaca, dia dibaiat menjadi the King of Clown: simbol perlawanan kaum tertindas. Masihkah pantas menyebutnya karakter antagonis?
Eventually, film yang dibintangi Joaquin Phoenix ini bukan untuk melanjutkan kesuksesan Heath Ledger, selain itu memang impossible, Todd Phillips dan DC sebenarnya sedang mereka ulang semesta di Gotham City dan berupaya melahirkan sosok baru arch enemy di mana installment berikutnya pasti dikuasai oleh kemampuan akting Joaquin Phoenix.
Sejam tiga batang, niatannya juga meluruskan pemahaman pemirsa mahatahu akan karakter badut bertawa khas ini: bahwa dia bukan single player selayaknya Thanos atau Magneto, melainkan wujud dari spirit perjuangan masyarakat yang akan terus menyala selama kelas penguasa kaya raya terus menindas dalam topeng heroisme.