Masih tentang Nurhadi. Tokoh imajiner yang dikagumi di dunia maya dan nyata. Qoute-nya yang menyentil dan bikin senyum-senyum selalu dinanti. Sebelum namanya tersohor, kita melupakan tokoh yang mungkin serupa. Cak Lontong namanya.
Jakarta, Lontar.id — Nurhadi muncul dari peliknya kondisi perpolitikan tanah air. Dia menjadi oase di tengah saling tuding dan serang kaum “cebong dan kampret”. Bikin pening kepala.
Begitu pun soal cara bagaimana bisa eksis mendapatkan panggung dari perpolitikan terkini. Tak perlu menjadi pengamat kritis atau pun motivator, sikap nyeleneh dari kalimat tokoh Nurhadi justru menghadirkan pembeda.
Pesan bernada satire yang muncul di balik qoute-nya, membuat bahan becandaan wargnet. Lucu namun bernilai. Lebih memiliki derajat dan membuka ruang diskusi di kalangan elite.
Nurhadi si tokoh imajiner itu bersama Aldo (Dildo), pamornya masih saja melejit. Ratusan ribu pengikutnya di instagram. Belum lagi mereka yang membicarakannya di grup-grup percakapan. Atau menjadi selingan becandaan di warung kopi.
Gaya bertutur Nurhadi sebenarnya bukanlah hal baru. Sebelumnya, sudah ada komedian Lies Hartono alias Cak Lontong. Cak Lontong hanya kalah momentum dari Nurhadi. Seperti halnya Nurhadi, Cak Lontong mewarnai dunia perlawakan dengan cara berbeda. Dari lawakannya itu sesungguhnya dia menunjukkan cara berpikir intelek dalam mengemas sebuah bahan candaan. Salut.
“Jika kamu takut merasakan sakit hati saat diputus pacar, lebih baik kamu putus duluan sebelum jadian.” Salah satu kalimat nyeleneh Cak Lontong. Ada lagi. “Jangan mengarungi lautan. Karena karung lebih cocok untuk beras.” Dan ini. “Mau gagal, mau sukses itu tak penting. Yang penting berhasil.”
Baca Juga: Belajar Satire dari Sosok Imajiner Calon Presiden 2019
Siapa yang jago?
Nurhadi dan Cak Lontong menjadi sosok yang mengajarkan cara untuk menilai situasi pelik dengan cara berbeda. Nurhadi membuka ruang baru dari sekian banyak alternatif dalam menyikapi nuansa di tahun poltik. Cak Lontong juga mampu membuat tren berbeda di kalangan komedian. Dua tokoh sama-sama cerdas. Bahasa politiknya, sama-sama punya basis suara alias penggemar. Apalagi elektabilitas, tingkat keterpilihannya cukup baik jika bicara selera.
Hanya saja Nurhadi bukanlah tokoh yang sesungguhnya. Dia hanya digunakan sebagai sosok untuk menyampaikan sikap realitas sosial atau pandangan politik. Di akun media sosialnya saja, semua desain dan kata-katanya, dikendalikan oleh beberapa anak muda kreatif.
Nurhadi sendiri sesunguhnya hanyalah seorang tukang pijat. Meski realitanya begitu, tetap ada alasan kuat kenapa harus dia yang menjadi maskotnya.
Di antaranya Nurhadi memang sudah eksis di media sosial. Dia adalah pemilik akun komunitas angka 10 di Facebook. Di grupnya itu, Nurhadi kerap berbagi energi positif melalui kalimat motivasi. Hal itu pula yang akhirnya mendorong, Edwin pemuda asal Jogjakarta untuk menggunakan wajahnya yang kelak terkenal dengan pasangan Dildo.
“Nah, kemudian ada orang yang mengaku dari Jogja, bernama Edwin. Dia yang mengikuti akun saya ini dan ngakunya ngefans. Kata dia, unggahan saya di Facebook itu lucu dan menginspirasi,” kata Nurhadi dikutip dari Grid.id.
Dari situ, Nurhadi tak keberatan wajahnya di viralkan. Kata lelaki asal Kudus itu pun, boleh saja selama tak melanggar hukum dan agama. Kini Nurhadi tengah menikmati popularitasnya. Andai dia berada dalam satu panggung bersama Cak Lontong mungkin akan lahir diskusi yang berfaedah.