Kejadian ini sempat membuat saya ngeri sendiri. Pulang subuh tak mengenakkan seperti sebelumnya.
Sebelum menulis di sini, saya pernah berdagang makanan berat: nasi goreng, pelbagai macam mi; dan minuman-minuman kemasan di daerah Universitas Hasanuddin.
Setiap hari, saya berangkat untuk berdagang pada pukul 11.00 wita dan pulang paling cepat sekira pukul 02.00 wita, saat tanggal di ponsel sudah berganti.
Jika ada yang bertanya, Unhasnya daerah mana, tepatnya di jalan Sahabat, di sebuah indekos besar yang tak ingin saya sebut namanya.
Di sana saya punya banyak teman. Itu yang bikin saya sering pulang larut dan dini hari. Nyaris setiap hari kami ngopi depan warung dan bermain domino.
Tak sesekali kami bercerita soal jualan saya yang lebih sering sepi pembeli. Sangat sering kami cerita soal tingkah laku anak indekos dan bagaimana ia hidup dari bulan ke bulan.
Membahas soal misteri dan cerita seram cuma sekali dua kali. Seorang kawan di sana, bernama Wahyu, menjadi tempat cerita soal keanehan Sahabat dan tempat kerjanya. Ia bekerja di sana.
Dulu, ia bilang, ada mahasiswi yang menetap di indekos, sering menunjukkan gelagat aneh. Wahyu menyebutnya sebagai anak indigo.
Kata Wahyu, perempuan itu, sering melihat ada yang janggal. Saya jelaskan sedikit, Indekos itu punya banyak kamar. Ratusan. Saya bahkan tak sempat menghitung hingga berapa lantai.
Di depan pos satpam indekos, ada tangga untuk menghubungkan penyewa ke kamarnya. Ada ruang kecil tepat di bawah tangga.
“Jadi biasa, si mahasiswi itu, melihat seseorang perempuan berdiri sendiri. Di sudut tangga, dekat ruang kecil yang mirip gudang,” beber Wahyu dengan rokok di tangannya, sembari menyesap kopi guntingan. Saya ngiler.
Saya lalu bikin kopi juga. Menyalakan rokok, dan bercerita. Kami berhadap-hadapan. Wahyu melanjutkan ceritanya. Malam sudah larut. Pembeli yang nongkrong sekitar warung tak ada lagi.
Wahyu mengakui hal itu. Tapi ia toh santai saja. Tidak mau terlalu memikirkan hal-hal begitu. Katanya, jika dipikir, pikiran kita akan menghantui kita terus.
“Banyak orang bilang, hal yang begitu tidak usah dipikir. Dinikmati saja. Nanti kalau dipikir, hal yang tidak begitu baik, bisa dilihat secara kasat mata,” tambahnya.
Kami lalu membahas hal yang lain. Biasa, perbincangan lelaki dewasa. Kami cekikikan, sesekali sesap kopi, dan ngudud seperti kereta api. Mengeluarkan asap.
Sudah larut sekali. Kami berhenti bercerita. Angin menerpa tubuh kami. Dingin sekali. Pohon pisang dekat warung bergoyang-goyang ditimpa angin. Asap rokok mengepul pelan. Baunya khas.
Kami saling diam lebih lama. Layar ponsel ditatap. Tidak ada yang bicara. Kopi sudah dingin, namun rasanya tetap sama: manis yang pas dan pahit yang gurih di lidah.
Bulu kuduk saya berdiri. Saya menepuk-menepuk leher bagian belakang. Dingin sekali. Saya bilang ke Wahyu akan pulang. Ia mengiyakan. Gelas saya angkat kemudian kucuci.
Rokoknya belum habis. Ia masih memandang ponsel. Saya sudah beres-beres warung. Blender dan piring sudah tertata rapi dalam gerobak jualan.
“Balik?” kata saya. Ia mengangguk pelan. Lampu food court Aparkost saya padamkan. Bulu kuduk saya berdiri lagi. Saya enggan memikirkan yang tadi dicerita Wahyu.
Pohon pisang digoyangkan angin. Sudah tidak terasa dingin, karena jaket sudah menutup badan. Suasana makin sepi. Di Sahabat masih kurang penduduk. Lebih banyak tanah kosong. “Saya sudah terbiasa,” saya berucap dalam hati.
*bersambung