Razia buku kembali terjadi. Kali ini teks-teks yang dianggap berbau kiri dan ada unsur komunis, diambil tentara dari sebuah toko buku di kawasan Hos Cokroaminoto, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (8/1) kemarin.
Ada enam buku dari tiga judul yang mereka sita, yakni Kronik ’65, Mengincar Bung Besar, dan Jasmerah. Semuanya akhirnya disimpan di Koramil Padang Barat-Padang Utara.
Belum lama ini juga, kejadian yang mirip terjadi. Penyitaan buku di Kediri, Pare, sempat ramai diperbincangkan. Toko Q Ageng dan Toko Abdi di Jalan Brawijaya, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, adalah tempatnya.
Tak jauh dari Kampung Inggris, tentara juga menyita ratusan buku. Salah satunya “Benturan NU PKI 1948-1965” yang disusun oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kemudian “Di Bawah Lentera Merah” karangan Soe Hok Gie yang membahas pergeseran pola gerakan Sarekat Islam Semarang.
Jika merujuk dari beberapa kisah Soe Hok Gie dalam Buku, Pesta, dan Cinta, ia sama sekali tidak menyukai gerakan politik yang dilancarkan Partai Komunis Indonesia waktu itu. Ia menjadi salah satu penentangnya. Namun, tentara tetap menyita saja buku itu. Mungkin perintah atasannya. Saya paham.
Hal itupun dikritik penulis buku Mengincar Bung Besar, yang karyanya baru saja disita oleh tentara di Padang. Lewat akun twitternya, Bonnie Triyana menganggap penyitaan bukunya adalah salah alamat.
“Buku yang bapak sita itu (jaksa dan tentara) tentang upaya pembunuhan Soekarno, mulai Cikini sampai Maukar. Pas peluncurannya di Museum Nasional, dihadiri Bu Mega dan Pak Tri Sutrisno. Masa dianggap buku komunis?”
Sudahlah. Tingkat baca kita memang rendah. Hal itu juga sudah diakui Puan Maharani. Statemennya itu seakan mendukung giat operasi buku kiri yang dilakukan aparatus pemerintah dan penurunan kualitas baca.
Dari data Perpustakaan Nasional tahun 2017, disetujuinya, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun.
“Minat baca ini yang harus ditingkatkan dan diperjuangkan agar mereka tertarik membaca,” ujar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, dikutip dari CNN Indonesia, Maret lalu dalam pembukaan rakornas perpustakaan 2018 di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Setelah Puan, tingkat baca juga dikomentari Prabowo Subianto. “Dari data Bank Dunia, 55 persen orang Indonesia mengalami functionally illiterate. Saya sedih,” kata Prabowo.
Pada intinya, menurut Bank Dunia melalui survei The Programme for International Student Assessment (PISA), sebanyak 55 persen penduduk Indonesia mampu membaca, tetapi punya kesulitan memahami apa yang dibacanya.
Bangsa ini akan begini-begini saja, jika pelarangan salah kaprah kian dimasifkan, apalagi soal membaca buku. Saya jadi malas memilih jadinya, karena saat penyitaan, tidak ada petinggi pemerintahan ataupun politisi yang bersuara menentang kebijakan itu.
Cocok bagi buku kiri, menurutnya, namun apa buku yang belum dikenali isinya dan langsung dianggap berbahaya disita juga, seperti buku Gie yang jelas-jelas orang yang anti terhadap komunis?
Bertemu Pembenci Buku Kiri
Medio 2017-2018, saya sering bertemu seseorang mantan aktivis HMI angkatan 1966. Ia punya banyak sekali buku, karenanya ia bangun perpustakaan sederhana di rumahnya.
Namanya Anwar Amin, orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan Oom Anwar. Ia tinggal di Makassar, di Veteran. Nama perpustakaanya Sipakainga.
Kami mejalin kekerabatan yang cukup dekat. Ia memanggil saya dengan sebutan “Nak”. Patut juga, sebab ia sudah begitu renta. Rambutnya sudah hitam kecoklatan dan putih kusam, hingga akhir hayatnya.
Anwar ialah yang pernah sangat benci dengan tindak tanduk PKI pada masanya. Kurang jelas alasannya. Barangkali cuma karena gerak politik saja. Gontok-gontokan soal ideologi memang kala itu, pada zamannya masih muda, sudah sangat kental.
Pada saya, ia cerita, kalau kawan seperjuangannya yang berdemo, menuntut Bung Karno turun tahta. Ia sepakat dengan poin-poin yang dipaparkan HMI saat itu. Bicaranya saat mengenang masa lalu sungguh berapi-api. Sinar matanya seperti memancarkan semangat.
Saya kemudian bertanya, apakah ia punya buku Pramoedya di perpustakaannya. Dengan cergas ia bilang kalau tidak punya sama sekali. “Saya tidak suka buku komunis. Anda coba cari kalau masih ada di sini. Tidak ada. Saya tidak pernah simpan.” Saya kemudian mencarinya. Memang tidak ada.
Lama kelamaan, saya datang lagi mengunjunginya. Kemudian melihat kondisi buku-bukunya di raknya yang renta. Ada buku Leon Trotsky, berjudul Revolusi yang Dikhianati. Entah siapa yang simpan. Namun, dulu, saya tidak menemukannya. Barangkali mata saya kurang tajam untuk melihat bukunya keseluruhan.
Saya mendatangi Anwar, lalu memperlihatkan buku itu. Ia kaget. Saya kemudian meminta buku itu dengan cara barter. Saya menukarnya dengan beberapa buku fiksi dan sejarah. Ia mengiyakannya. “Ia Nak, silakan ambil saja itu buku,” terangnya.
Kesekian kali saya datang. Saya berbincang lagi soal ribut-ribut Gatot Nurmantyo yang meminta semua pejabatnya memutar film Pengkhianatan G-30 S/PKI. Kami duduk bersama.
“Saya sudah tidak mengerti dengan cara seperti itu. Tapi paling tidak, komunis perlu dipelajari. Tidak boleh lagi ditutup. Sudah terlalu lama kita benci. Mau sampai kapan? Meski saya tidak suka, saya membiarkannya harus dipelajari. Semua buku harus dibaca untuk menambah pengetahuan.”
“Komunis sudah mati. Ia tidak mampu bertarung dengan ide yang berkembang saat ini. Ia sudah selesai,” tutupnya. Kata-kata itu yang saya ingat. Sampai ia meninggal, saya akan terus menyimpan bukunya dan ingatan-ingatan tentangnya.