Oleh: Laode M Rusliadi Suhi, Praktisi Hukum & Tenaga Ahli Desk Papua Kementerian PPN Bappenas
Jakarta, Lontar. id – Evaluasi Otsus Papua Pasca 17 Tahun Berjalan. Belum lama ini, perayaan ulang tahun yang ke-17 Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dilaksanakan. Yakni pada 22-23 November 2018 lalu bertempat di Jayapura. Dengan memasuki usia yang ke-17, ibarat manusia usia tersebut disebut beranjak dewasa.
Pada 21 November 2001 silam adalah pengesahan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah pusat memberikan desentralisasi melalui Otonomi Daerah atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonomi.
Mengutip Hans Kalsen, Decentralization by Local Autonomy, UU Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal yang diawali dengan konsideran dan diakhiri penjelasan umum dan pasal demi pasal.
Baca Juga: Kalau Tidak Ada Uang, Tidak Usah Terbang
Di tengah keberlangsungan Otonomi Khusus di Tanah Papua saat ini, pemerintah akan melakukan evaluasi secara menyeluruh mengingat implementasi arah kebijakan Otsus Papua tidak berjalan mulus selama ini.
Berdasarkan data Kemendagri, soal pembiayaan Otsus Papua telah digelontorkan selama periode 2002-2018 sebesar lebih dari Rp 76 triliun. Untuk Papua Barat selama periode pemerintahan 2008-2018 sudah digelontorkan dana nyaris mendekati Rp 30 triliun.
Besarnya dana yang telah digelontorkan tidak sebanding dengan output kualitas pembangunan fisik dan sumber daya manusia serta kualitas pelayanan yang masih tertinggal dibandingkan daerah lain. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 70.81 persen, yang artinya IPM paling rendah di bawah rata-rata IPM nasional (urutan ke 34 dan 33 dari 34 provinsi di Indonesia).
Untuk melihat masalah pembangunan dan layanan publik dalam kerangka desentralisasi asimetris di Papua, kita perlu memetakan akar persoalan di tanah Papua. Salah satu problem mendasar dalam Otsus Papua hari ini ialah tidak adanya regulasi yang bersifat komprehensif untuk mengatur tentang kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua. Kondisi ini memberikan dampak berupa tumpang tindihnya implementasi dan koordinasi antar lembaga Otsus yang berdampak pada pembangunan.
Baca Juga: Rocky Gerung dan Sebuah Ajakan Berpikir untuk Masyarakat Indonesia
Menurut Prof Djohermansyah Djohan, dalam penyusunan Perdasus/Perdasi juga belum tuntas. Amanat UU: Perdasus (13) -> (9), Perdasi (18) -> (13), Perencanaan, Penganggaran dan Pelaksanaan Dana Otsus belum singkron dan akuntabel. Rencana induk pembangunan Otsus Papua belum tersusun serta lemahnya Pengawasan Otsus.
Belum lagi persoalan lemahnya institusi yang melakukan fungsi check and balances di tubuh kelembagaan lokal.
Dalam penerapan kebijakan Otsus, seringkali terjadi friksi antara legislatif dan eksekutif. Salah satu penyebabnya ialah eksklusivitas masing-masing lembaga tersebut sehingga tidak berjalan mulus.
Permasalahan juga terjadi ketika Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak memiliki power untuk melakukan pengawasan dan pada tahap di mana lembaga tersebut saat ini telah membentuk Pansus untuk melakukan Revisi PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Penyebabnya, sejak awal pembentukannya, kewenangan MRP sebagai representasi Lembaga Adat sangat terbatas yang berakibat pada lemahnya fungsi check and balances antar lembaga sehingga marak terjadinya penyalahgunaan dana Otsus.
Selanjutnya, dalam mendorong keberlanjutan otsus di Tanah Papua maka harus dilakukan Revisi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus. Upaya tersebut salah satunya adalah untuk mendorong keberlanjutan distribusi dana Otsus di Papua dan diselaraskan dengan semangat meningkatkan kualitas bagian masyarakat Papua.
Kemudian, evaluasi juga tidak hanya berhenti pada masalah yang bersifat administratif dan teknis terkait pengelolaan, penyaluran, pertanggungjawaban dan manajerial pengelolaan dana Otsus.
Baca Juga: 1 Anggota KKSB Tewas Usai Kontak Tembak dengan TNI
Upaya perbaikan harus dimulai dari perbaikan regulasi terkait kejelasan kewenangan provinsi dan kabupaten dalam Otsus Papua. Selain itu, pemerintah pusat perlu menjalin komunikasi secara intens dengan elite lokal dan masyarakat Papua.