Ditulis oleh : Johann Fortwengel (King’s College London)
Kesadaran bahwa hidup kita akan berubah untuk beberapa waktu ke depan mulai mengakar. Untuk mendatarkan kurva atau mencegah muncul kasus baru COVID-19, langkah radikal dalam bentuk pembatasan sosial mulai diterapkan di semakin banyak negara.
Orang-orang diimbau – atau diperintahkan – untuk mengisolasi diri di rumah. Di banyak negara, sekolah-sekolah ditutup. Begitu pula dengan teater, bar, dan bioskop. Perjalanan wisata dan bisnis tidak disarankan. Perbatasan berbagai negara ditutup.
Kebanyakan orang menduga langkah-langkah melawan virus tersebut hanya sementara, dan pada suatu masa tertentu – dalam dua, enam atau mungkin 12 bulan – hidup akan kembali normal dan kegiatan akan berjalan seperti biasa. Hal ini mungkin benar sampai taraf tertentu. Tapi akan banyak perubahan pula yang dapat menjadi permanen.
Sistem sosial, baik secara makro maupun mikro, bersifat lembam dan sangat susah diubah. Seiring berjalannya waktu, perusahaan-perusahaan berkembang menjadi struktur yang kompleks dan birokratis, dengan banyak rutinitas yang akhirnya menjadi kebiasaan sehingga hampir tidak mungkin diubah.
Pergerakan ekonomi pun sangat bergantung pada arah yang telah ditentukan. Perubahan radikal pun dengan demikian sangat dihindari, dan mereka cenderung lebih memilih mencari kesempatan yang disebabkan oleh sebuah kejadian kecil atau ketidaksengajaan sejarah. Jadi, sekalipun kandidat presiden dari Partai Demokrat, Bernie Sanders, dan para pendukungnya menginginkan lebih banyak sosialisme diterapkan, Amerika Serikat tidak akan mungkin menyamai Denmark.
Namun saat kala krisis yang bersifat fundamental, kesempatan akan perubahan menjadi terbuka. Kadang, kesempatan ini sengaja dimanfaatkan untuk mengubah arah tindakan yang hendak diambil. Misalnya, pasca-tragedi Fukushima tahun 2011 lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel memutuskan, secara tiba-tiba, akan menghentikan ketergantungan Jerman pada energi nuklir. Ada pula perubahan revolusioner yang terjadi hampir secara tidak sengaja, seperti runtuhnya Tembok Berlin.
Penelitian ilmu sosial telah lama menunjukkan bahwa perubahan sosio-politik biasanya terjadi secara tiba-tiba: suatu sistem sosial cukup stabil untuk kurun yang lama, hingga sebuah kejutan eksternal mengganggu dan menjadi katalis perubahan.
Bisa saja coronavirus adalah kejutan eksternal tersebut, mengubah beberapa aspek kehidupan kita secara fundamental. Daripada kembali ke keadaan pra-coronavirus, beberapa perubahan dapat menjadi permanen. Dalam tiga aspek kehidupan ekonomi kita, perubahan yang diakibatkan oleh coronavirus dapat bertahan jauh lebih lama daripada yang diantisipasi saat ini.
1. Perjalanan bisnis
Perjalan bisnis kerap dianggap penting bagi kesuksesan dan efektivitas dalam menjalankan suatu perusahaan. Tentu benar bahwa pertemuan tatap muka membantu membangun suatu hubungan dan kepercayaan, yang kerap penting dalam kesuksesan suatu proyek. Namun kini banyak perusahaan dan organisasi lainnya yang dipaksa untuk secara radikal mengurangi atau menghentikan perjalanan bisnis, dan mereka mungkin menyadari bahwa ini bukanlah hal yang penting – selama hal itu bisa dipadankan dengan kegiatan sejenis.
Dengan banyaknya karyawan yang kini harus mengandalkan panggilan Skype atau Zoom daripada terbang ke belahan bumi lain untuk melakukan pertemuan tatap muka, mereka mungkin menyadari bahwa telekonferensi adalah sebuah alternatif yang cukup baik: pilihan yang lebih fleksibel, ramah bagi mereka yang telah berkeluarga, serta lebih ramah lingkungan. Sementara itu, para bos akan melihat potensi penghematan anggaran yang drastis. Maka pada masa depan, kita mungkin akan melihat skenario perjalanan bisnis menjadi jauh lebih sedikit daripada sebelumnya.
2. Bekerja jarak jauh
Pengaturan kerja yang fleksibel semakin dan terus meluas. Tapi kerja dari rumah secara ekstensif dianggap buruk bagi kita, karena ada kecenderungan kita akan bekerja lebih lama.
Perusahaan pun tidak luput dengan meningkatnya biaya koordinasi dan manfaat kritis berada di antara sesama kolega yang hilang, seperti membangun hubungan dan semangat tim.
Atas dasar inilah terdapat tanda-tanda semacam kembalinya tren ruang kerja/kantor secara fisik: beberapa pelopor bekerja secara jarak jauh telah meminta karyawan mereka untuk kembali ke kantor.
Namun dengan bekerja jarak jauh yang menjadi suatu keharusan untuk saat ini, baik para pemimpin maupun karyawan harus membangun kompetensi dan memutuskan bagaimana cara bekerja secara efektif pada masa ini. Orang-orang terpaksa harus menjalankan rutinitas baru, dan perusahaan harus mencari jalan agar para kolega dapat tetap berinteraksi di luar rapat formal secara daring. Hubungan kerja yang baik berperan penting bagi inovasi dan ketahanan suatu organisasi. Tentu kita masih terus mencari apa yang akan menggantikan dispenser air untuk saat ini – tempat para kolega bertemu, bergosip, dan berinovasi.
Coronavirus bisa saja memaksa kita untuk menjadi lebih baik dalam bersama-sama bekerja secara jarak jauh, yang dalam jangka panjang dapat menjadi alternatif bekerja di perkantoran di pusat kota.
3. Disrupsi industri
Banyak industri yang telah mengalami disrupsi signifikan sebelum coronavirus menyerang. Langkah-langkah yang diambil untuk melawan coronavirus akan mempercapat pergeseran seismik ini. Layanan streaming, misalnya, mengancam model bisnis pembuatan dan distribusi konten yang telah lama ada, dan posisi Amazon sebagai disruptor super semakin terasa di berbagai industri.
“Ekonomi diam di rumah” terbentuk oleh coronavirus yang secara dramatis akan mempercepat pergeseran dari lama ke baru, membuat pertanyaan-pertanyaan seputar konsentrasi pasar dan kemungkinan akan regulasi menjadi semakin penting.
Perubahan juga akan datang baik dari sisi permintaan maupun suplai. Semakin banyak orang yang akan menggunakan layanan ini, mulai menyukainya, dan akhirnya menjadi pelanggan setia. Sisi suplai pun akan berubah. Perusahaan lama akan semakin lemah dan mungkin tersingkirkan, sementara para disruptor akan terus menanamkan modalnya dari posisinya yang semakin menguat.
Di sektor-sektor lain, perubahan juga akan terjadi secara dramatis dan mungkin untuk selamanya. Misalnya, pendidikan tinggi telah lama lamban dalam bertransisi ke ruang pembelajaran secara daring, tapi kini mereka terpaksa memberikan perkuliahan secara daring, perguruan tinggi kemungkinan tidak akan kembali secara total ke status quo sebelumnya. Ada kesempatan besar melalui pendidikan secara daring – terutama dalam hal pangsa pasar pelajar yang baru dan biaya yang lebih rendah akibat skala ekonomi.
Perubahan terjadi akibat “ledakan”, dan coronavirus mungkin adalah bagian dari kejutan eksternal kritis yang mengubah beberapa aspek dalam kehidupan kita tersebut. Kita boleh saja berpikir perubahan yang ada saat ini hanya bersifat sementara, tapi bisa saja perubahan tersebut malah akan bersifat permanen.
Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Johann Fortwengel, Senior Lecturer, King’s Business School, King’s College London
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.