Kita terbiasa mendengar cerita yang belum utuh, karena hasrat kita memang lebih besar untuk berbicara. Kita lebih senang berprasangka, daripada bertanya. Banjir bandang di Sulsel membuktikan hal itu.
Jakarta, Lontar.id – Banyak sekali doa-doa yang membubung ke langit pada masyarakat yang daerahnya menjadi terdampak banjir bandang di Sulsel. Bisa dilihat dari media sosial.
Saya merasa, kita tidak pernah sendiri. Selalu saja ada tangan-tangan baik yang tersembunyi di balik kesulitan yang kita hadapi. Namun, ada juga tangan, jari, dan muluh jahat di balik musibah yang kita hadapi.
Rumah-rumah mengalir bersama air bah di beberapa titik banjir di Sulsel. Kayu penyanggahnya rontok dihantam arus deras air bercampur lumpur. Menyedihkan sekali.
Hal-hal yang tidak bisa dilepaskan dari musibah, yang saya pelajari, ada dua. Pertama, mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Saya ingat lirik Ebiet G Ade jadinya.
Lagu itu jadi tombak penghunjam nurani, kalau sudah diguncang musibah. Meski mendayu, lirik itu tajam. Ia mengaduk emosi dan memaksa kita untuk sadar diri.
Sadar diri. Ya. Sudah terlalu banyak hasrat kita untuk menyeragamkan pandangan kalau kita semua harus jadi kota. Gedung julang atau berpetak-petak rumah avant garde harus ada di desa kita.
Sebab hasrat kita, orang dari kota berbondong-bondong datang. Melihat hutan, yang dipikirnya cuman uang, bisnis besar, dan keuntungan yang timpang. Sayang sekali.
Akhirnya, batang-batang pohon di hutan-hutan lalu disensor atau dikapak. Akarnya dicerabut dari tanah. Tanah itu masih subur, namun sudah tidak bisa menyerap air lagi seperti dulu. Longsor jadi gampang terjadi.
Bukan cuma masyarakat. Pemerintah yang kemaruk juga masuk dalam objek yang disinggung Ebiet G Ade. Izin tambang yang mengabaikan lingkungan, tak lagi diperhatikan. Labrak aturan.
Salah satu data dari Walhi Sulsel di Gowa, di Tinggi Moncong, sebanyak 11 orang dengan diperiksa Polres Gowa dengan tuduhan penyerobotan dan pengrusakan lahan. Sebelumnya terdapat 2 orang warga Gowa juga mengalami kriminalisasi terkait pengelolaan hutan.
Namun bisakah kita bertanya-tanya, selain yang ditangkap merusak lingkungan itu, adakah yang masih melakukan tugasnya dan dibekingi pemerintah dengan dalih menambah pendapatan asli daerah?
Baca juga: Habis Awkarin Terbitlah The New Ahok
Menjaga Mulut dan Jari
Sempat viral, foto seorang ibu yang menggendong anak di tengah tingginya banjir. Hal itu menimbulkan pilu di beranda media sosial selama beberapa hari belakangan.
Begitulah ibu. Ia tidak rela melihat anaknya celaka, apalagi sampai membahayakan nyawanya. Hal itu dipotret oleh Ananda Dina di tengah-tengah banjir.
Tak lama kemudian, datang komentar yang menambah derita keluarga Dina di instagram. “Tidak usah jepret foto sana dan sini. Tolong itu ibu dan anaknya yang terjebak banjir.”
Lelaki itu menulis kalimatnya dalam bahasa Makassar. Entah mengapa, saya agak syok, karena ia menulis tiga tanda seru dalam komentarnya. Whait, what? Menyuruh kok seperti itu?
Meski begitu, Dina yang notabene mahasiswi Universitas Indonesia ini, tidak membalasnya secara reaktif. Paling tidak, ia tidak memberi energi negatif kepada orang di sekitarnya untuk merisak akun yang tega berbuat begitu.
Dina cuma menjelaskan secara lugas dan lengkap tanpa berlebihan sama sekali, kalau perempuan itu adalah ibunya. Sementara anak yang di gendongan ibunya itu adalah ponakannya.
Dijelasi pula, kalau ia tidak menolong, karena Dina tidak tahu berenang. Ia juga dalam keadaan takut berat saat memotret pose ibunya yang sedang memeluk batang pohon untuk bertahan.
Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi Dina saat itu. Ia kesulitan meminta tolong di tengah hujan. Ponselnya juga basah. Ia tidak sempat lagi mengetik. Tubuhnya pasti dingin dan perasaannya muram campur aduk.
Namun begitulah kita, terlalu cepat menyimpulkan satu buku yang belum pernah dibaca. Hanya melihat judulnya saja, kita sudah merasa paling tahu dari yang sudah membaca.
Netizen yang budiman dan kawan-kawan sekalian, bisakah menghentikan segala tindak-tanduk macam begitu saat musibah menyelimuti seseorang? Bisakah kita menahan cerca lewat jari dan suara; dan memilih menggemakan semangat bagi korban?
Baca juga: Jalan Sunyi dan Mutasi Umar Septono
Kasih Ibu Panjang, Musibah Itu Pendek
Ibu Dina berpulang tak lama setelah ia menyelamatkan cucu yang sekaligus ponakan Dina. Setelah penyelamatan itu, Dina menjelaskan lewat akun instagramnya kalau tidak ada yang aneh setelah kejadian itu.
Namun, keluhan tiba-tiba datang. Sore kemarin, penglihatan Ibu Dina perlahan gelap. Tak berselang lama, ia meninggal dunia. Setelah ia menyelamatkan cucunya, ia pergi ke pangkuan Tuhannya, sembari memeluk doa para seluruh masyarakat yang mendoakannya.
Hari ini, Ibu Dina, sudah dikebumikan. Kata Dina, penguburan Ibunya dilaksanakan di Luwu sehabis salat Duhur. Saya jadi yakin, kalau sisa kekuatan orang tua adalah garda terdepan dalam menyelamatkan tubuh kita yang sebenarnya masih kuat ini.
Dari kejadian Dina, ponakannya, dan ibunya, saya ingat kejadian yang mirip. Tragedi itu belum lama terjadi. Di Sulsel juga, tepatnya di Selayar, pada awal Juli 2018.
Foto seorang ibu bernama Rini Nurianti (29) dan putranya, Abizar Arfan Raqila (2) mendadak viral di tengah ombak besar yang menjilat geladak kapal KM Lestari Maju di perairan Selayar sebelum tenggelam.
Dalam foto itu, Rini memeluk anaknya. Mereka berdua memakai pelampung di tengah gelombang cuaca yang menakutkan. Ia sudah siap sedia untuk menyelamatkan anak dan calon anaknya. Saat itu Rini juga hamil tua (enam bulan).
Namun, takdir berkata lain. Mereka meninggal setelah merasa akan aman dalam bebatan pelampung di tubuhnya. Mayat Rini dan anaknya ditemukan di tempat terpisah.
Sebelumnya, Suami Rini, Muhlis, mengaku kalau ia sudah sudah menelpon istrinya. Saat sedang menuju pelabuhan dalam keadaan panik, dia pun masih terus berkomunikasi dengan istrinya.
Kepanikan Muhlis sedikit terlepas, saat Rini dan anaknya diketahui sudah pakai pelampung. “Dia bilang sudah dapat pelampung, jadi saya bilang pakai dan tetap tenang jangan melompat,” kata Muhlis.
Tetapi mau bagaimanapun, alam terlalu kuat untuk dilawan. Keluarga kecil Muhlis lebih dulu pergi ke tempat yang paling jauh. Menggapainya, hanya bisa melalui doa-doa yang dipanjatkan.
Tanpa mau mengorek kisah sedih itu, setidaknya, kita bisa mendoakan orang tua kita masing-masing. Dan menyadari, kalau kita ini sebenarnya lemah sekali tanpa sokongan ibu, bapak, dan keluarga di sekeliling kita.
Semoga mereka yang pergi diberi tempat yang baik. Sementara yang ditinggalkan dikuatkan dan bisa memetik pelajaran terbaik dari tragedi besar yang sudah menimpanya.
Aamiin