Timnas senior Vietnam belum lama ini masuk dalam 100 besar peringkat FIFA, tepatnya di urutan 99. Entah mengapa, Indonesia masih belum bergeser dari angka ratusan. Ia cuma hebat masalah penonton sekarang.
Jakarta, Lontar.id – Saya selalu bingung, saat melihat kurangnya animo penonton untuk menonton pertandingan tim nasional muda seperti di Eropa.
Sebut saja Spanyol. Di timnas U-23-nya beberapa tahun silam, sewaktu Cristian Tello, Morata, Asensio jadi pemain, orang londo itu tidak banyak menonton mereka di stadion dalam helatan besar seperti Piala Eropa.
Padahal, saya begitu tertarik untuk menontonnya. Toh, timnas Spanyol muda selalu menelurkan pemain berbakat yang akan mengisi klub-klub besar di penjuru dunia.
Saya makin bingung karena sikap tidak nasionalis orang-orang Spanyol itu. Tak lama, saya bertanya pada teman saya dengan kalimat begini.
“Kira-kira kenapa ya, di luar sana, laga timnas muda Spanyol itu sepi penonton. Padahal, itu laga bergengsi, dan menarik buat ditonton?”
Teman saya lalu menjawab, “ya iyalah. Karena timnas mudanya tidak akan memberikan poin apa-apa di peringkat FIFA. Kecuali timnas senior, pasti mereka akan total dan dukung mati-matian.”
Saya jadi paham ucapannya. Barangkali sistemnya sudah terbentuk dengan baik, mulai dari hulu ke hilir, plus orang-orangnya manajemen dan pemainnya bekerja begitu profesional.
Uniknya, kita di Indonesia, jadi maniak untuk timnas mulai segala usia. Masyarakat Indonesia memang pecinta bola. Buktinya, saat perhelatan Asian Games 2018.
Baca juga: Drama Itu Bernama Robert Alberts dan Madura United
Saat itu, tercatat ada total 133 ribu orang menonton pertandingan dari lima pertandingan yang dilakoni Garuda Muda belum lama ini.
Ada tren yang positif dalam laga ke laga saat timnas bermain. Saat Timnas Indonesia U-23 melibas Chinese Taipei dengan skor 4-0 dalam Grup A, di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, pada 12 Agustus 2018.
Jumlah penonton laga tersebut mencapai 26.054 orang. Setelahnya, penonton meningkat menjadi 28.250 orang, saat Tim Garuda Muda kalah 1-2 dari Palestina di Stadion Patriot.
Jumlah terbanyak ada saat Tim Garuda Muda bermain di laga ketiga, tepat 17 Agustus-an. Menghadapi Laos, tim asuhan Luis Milla menang 3-0 di depan 29.255 penonton yang hadir langsung di hari libur nasional.
Intinya, lolos tidak lolos, menorehkan rekor baik atau tidak, juara atau jadi pecundang, skuat Garuda Muda tetap seksi di mata pecinta Timnas Indonesia. Mayoritas memandang begitu.
Sama halnya dengan Timnas Indonesia senior. Publik juga menuntut banyak pada mereka. Gelaran AFF, tiap diselenggarakan, pasti selalu menjadi perhatian serius.
Meski kadang mengecewakan, Timnas Indonesia senior, selalu mendapat tempat yang baik pada masing-masing dada kita yang gemar menonton bola dan kemajuan timnas.
Lantas mengapa kita tidak bisa seperti Vietnam yang bisa menerobos 100 besar peringkat FIFA? Tak usah jauh-jauh dulu ke Eropa, ya?
Begini. Barangkali, kita semua lupa bahwa pertandingan yang seharusnya punya nilai lebih adalah Timnas Indonesia senior. Dukungan harus total di sana.
Alasannya tak lain karena jika wajahnya bagus di mata Asia, otomatis hal itu akan memerbaiki klasemen Indonesia di peringkat FIFA.
Patut diingat, kalau Garuda Muda bukannya tidak menarik. Namun, tujuan kita bukan untuk menaikkan pamor skuat Garuda Muda, namun skuat nasional kita.
Timnas Indonesia junior didesain untuk mempersiapkan para pemain muda itu untuk masuk ke timnas senior. Minimal, membuat mereka punya pengalaman di kancah Asia.
Banyak terlihat, jika pemain timnas muda buruk, maka buruk pulalah persepakbolaan Indonesia. Jika timnas senior yang menyedihkan, kita masih bisa mendabik dada kalau timnas muda Indonesia setidaknya bikin bangga.
Yang penting terhibur, bukan?
Kedua, kita masih sibuk bertengkar untuk hal-hal yang tidak penting dalam persepakbolaan di Indonesia. Ujung-ujungnya, kita dimanfaatkan orang-orang yang menunggangi kemarahan kita.
Masih baik kalau bawa perubahan. Kalau tidak? Lihat saja federasi macam PSSI. Sebagai federasi, ia sudah benar. Tapi kebijakannya, salah kan ya? Dan selama bertahun-tahun kita tidak bisa memutus kesalah itu. Yang penting masih bisa nonton bola, sudah enak.
Lalu tiap jelang kongres hobi sekali ribut-ribut. Lalu muncul penengah, yang kualitasnya sama saja dengan yang dilerai. Isu yang dibawa masih sama saja dan terbilang usang: mafia.
Coba cek batin dan isi kepala, apakah pribadi kita yang mau dibesarkan atau negara? Karena selama beberapa tahun terakhir, isi PSSI tidak berubah. Semuanya masih diisi orang lama. Ehe ehe ehe.
Dalam satu wawancara bersama legenda PSM Makassar, Budi Wijaya atau Keng Wie, bilang kalau banyak pemain sekarang sudah tidak menanamkan malu jika kalah.
Mereka harus melihat seberapa besar gaji dulu, setelah itu fasilitas, lalu prestasi klub bahkan timnas. “Beda waktu masih sama Ramang. Kita benar-benar berpikir untuk menang. Di kandang, tidak boleh musuh ambil poin.”
Sayangnya sekarang, Indonesia sudah berkali-kali dipermalukan di tumpah darahnya sendiri. Stadion kita memang makin bagus, tapi tren kita semakin maju malah semakin jauh dari sejarah leluhur pesepakbola kita.
Dipeluk pelbagai persoalan yang kompleks, membuat Timnas Indonesia sudah begitu lama mencicipi juara pesta sepakbola internasional. Terakhir, ia menjadi juara SEA Games 1987 dan 1991. Setelahnya? Hanya untuk ditonton saja, dan membiarkan pialanya diboyong tetangga.
Bertahun-tahun ini sepertinya kita cuma diajarkan jadi penonton, bayar uang tiket, menangis karena kalah atau dicurangi, dan sebagainya. Kita kurang diajar bagaimana cara bertarung seperti pendahulu kita.