Lontar.id – Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI periode 2019-2024 mengajukan lima Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif. Salah satunya adalah RUU Ormas.
Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi, menjelaskan, revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), perlu mendapatkan perhatian DPR RI periode 2019-2024 ini.
Pasal yang menurutnya perlu mendapatkan perhatian untuk direvisi, adalah izin pengadilan untuk membubarkan ormas.
“Pemerintah perlu memberikan keleluasan izin untuk pendirian ormas,” tegasnya melalui rilis tertulis, Senin (2/12/2019).
Kecuali, lanjutnya, ada ketetapan pengadilan yang membuat ormas tersebut memang tidak boleh berdiri, karena bisa merusak keutuhan NKRI.
Hal lain yang juga diajukan oleh Fraksi PPP adalah RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol. Kata dia, ini merupakan insiatif Fraksi PPP, yang dibahas sejak dua periode lalu, namun selalu menghadapi berbagai persoalan.
Pada periode kali ini, Fraksi PPP akan mengintensifkan lobi dan komunikasi dengan fraksi lain untuk membangun kesepahaman agar RUU ini bisa dibahas dan diajukan menjadi RUU usulan DPR.
“RUU Larangan Minuman Keras ini diinisiasi Fraksi PPP karena selama ini melihat banyaknya korban akibat miras (menimbulkan korban jiwa, kejahatan, hingga bisa merusak rumah tangga), selain itu minuman keras memang secara jelas dilarang dalam Alquran,” lanjutnya.
Selanjutnya adalah RUU tentang Destinasi Wisata Halal. Achmad Baidowi meyakini, wisata halal akan menopang tumbuhnya dunia pariwisata Indonesia.
Berdasarkan prediksi, pada 2026 mendatang akan ada 230 juta wisatawan muslim global dengan pengeluaran mencapai USD300 milyar (GMTI 2019). Hal ini, menurutnya, merupakan potensi yang perlu dikelola.
Wisata halal akan membawa daya tarik tersendiri bagi wisatawan muslim, karena mereka mendapatkan jaminan layanan, produk, dan standar halal selama berwisata sesuai dengan ajaran yang mereka yakini.
“Indonesia tertinggal dalam industri halal, karena banyak negara yang justru bukan mayoritas muslim telah menawarkan wisata halal dan meraih keuntungan dari wisatawan muslim.
Perlu diingat, wisata halal bukan berarti membuat pekerja wisata berjilbab dan berpeci. Namun cukup menyediakan alternatif halal dalam layanan mereka. Kita perlu sosialisasi intensif tentang definisi wisata halal tersebut,” bebernya.
RUU lain yang diajukan adalah tentang Ekonomi Syariah, yang merupakan sektor penting bagi perekonomian nasional, di tengah era ketidakpastian ekonomi global, atau sering disebut era VUCA – vulnerable, uncertain, complex dan ambiguous.
“Data dari GIEI 2018/2019 menyebutkan permintaan dunia terhadap produk halal mencapai USD2,1 triliun pada tahun 2017, dan terus meningkat menjadi USD3,0 triliun pada akhir 2023,” lanjutnya.
Dia menyebut, selama ini yang menikmati pasar yang signifikan ini adalah Brazil untuk daging halal, UAE untuk modest fashion, dan Malaysia untuk keuangan syariah.
Sementara, munculnya model bisnis baru di era digital yang berlandaskan syariah, seperti Fintech Syariah, e-commerce khusus produk halal, dan aplikasi hotel syariah, membutuhkan payung hukum di level undang-undang.
“Tanpa adanya payung hukum yang jelas, Indonesia hanya dijadikan sebagai penonton perkembangan masif model bisnis syariah yang makin kompleks,” tegasnya.
RUU lain yang dinilao tidak kalah penting, adalah tentang Pemberdayaan Anak Yatim dan Anak Terlantar, yang pada 2018 lalu jumlahnya mencapai 4,5 juta jiwa.
Achmad menilai, negara harus hadir untuk memberikan perhatian, pemenuhan hak-hak dan pemenuhan kesejahteraan, sehingga lebih terarah guna menyongsong masa depan mereka.
Untuk mewujudkan itu, harus ada skema yang jelas dalam hal pembinaan dan penanganan bagi anak Yatim dan anak terlantar.
“Apalagi ada terdapat potensi kerawanan sosial yang akan ditimbulkan oleh anak yatim dan terlantar jika tidak dibina dan diberdayakan. Sehingga perlu aturan setingkat UU agar semua elemen masyarakat dan negara memberikan perhatian kepada anak yatim tersebut,” tutupnya.