Kawan Soe Hok Gie, Rahman Tolleng, meninggal dunia pada Selasa, 29 Januari 2019, pada pagi buta pukul 05.25 WIB di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta. Ia akan disemayamkan di Jalan Cipedes Tengah 133, Bandung, Jawa Barat.
Jakarta, Lontar.id – Lelaki kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, 5 Juli 1937 itu telah pergi. Ia meninggalkan beberapa cerita menarik soal dunia perpolitikan Indonesia. Ya, Rahman Tolleng, yang pernah menggugat Bung Karno, kini menghadap Sang Pencipta.
Dalam dunia pergerakan kaum muda pada masanya, Rahman tidak bisa dilepaskan dalam sejarah. Ia aktif menggerakkan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) untuk menjatuhkan Orde Lama.
Sejak kecil, Rahman mulai jatuh cinta pada politik. Sewaktu ia di Bone, Sulawesi Selatan, pada tahun 1945, hampir setiap petang ia memandang sekelompok pemuda yang baris-berbaris. Dari sana dorongan untuk mencintai Indonesia lalu berjalan.
Tak sampai di situ, Profesor Robert W. Hefner, dalam buku Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, tercatat kalau Rahman Tolleng adalah satu di antara pemikir paling brilian dari generasi `66.
Rahman adalah seorang sosialis. Sama seperti Soe Hok Gie, yang merangkul PSI dan tentara sebagai kekuatan politik untuk mendongkel Orde Lama dan ikut membangun Orde Baru.
Namun siapa sangka, waktu berjalan, Rahman mendekat pada kekuasaan lalu bertolak belakang dengan pemikiran Soe Hok Gie?
Dalam catatan sejarah yang ditulis John Maxwell dengan judul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Gie secara radikal pernah menolak penunjukkan 14 perwakilan mahasiswa untuk duduk dalam kursi MPRS/DPR-GR.
Mahasiswa itu dari KAMI. Sementara Gie berpikir, bahwa mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai kekuatan moral daripada kekuatan politik.
Gie mau, ketika perjuangan mahasiswa telah membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, ada baiknya mahasiswa mundur dan kembali pada dunia akademik, dan tidak seharusnya mengharapkan imbalan berupa jabatan.
Dari buah kekesalan itu, Hok Gie dan Kakaknya, Soe Hok Djin alias Arief Budiman, mengkritik para mahasiswa yang masuk dalam sistem baru secara politik praktis, lewat siaran Radio Ampera.
Salah satu siaran Radio Ampera yang mengkritik KAMI adalah siaran pada tanggal 5-6 April 1967 dengan judul siaran “Awas Penyakit Pahlawan Gadungan”.
Isi kritikannya didominasi soal perilaku mahasiswa yang mengharapkan imbalan atas perjuangannya, termasuk mengharapkan posisi di parlemen.
Puncak dari kritik Gie adalah mengirimkan hadiah natal dan lebaran 1969 bagi 12 mahasiswa perwakilan mahasiswa di parlemen. Secara tidak langsung, Ayah dari Pendiri Gojek, Nadiem Makarim, yaitu Nono Anwar Makarim, serta dan Rahman Tolleng, jadi penerima.
Nono Anwar Makarim adalah Pemimpin Redaksi Harian KAMI, sedangkan Rahman Tolleng adalah teman seorganisasi Hok Gie di Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos).
Rahman sendiri masih mendaku sosialis dan kader PSI terbaik menurut Ali Moertopo seperti dilansir dan dikutip dari wawancara dw.de.
“Dalam arti longgar, saya masih Sosialis. Longgar artinya tidak dogmatis lagi pada Marxisme, karena sudah banyak perubahan. Tetapi jurang antara kaya dan miskin sekarang kan tidak berubah, bahkan semakin dalam.“
“Saya kira memperbaiki kehidupan rakyat miskin itu apakah bukan cita-cita Sosialisme? itu memang longgar. Tapi saya tidak akan memakai teori pertentangan kelas. “
Kondisi Berbalik
Pada 15 Januari 1974, kerier politik Rahman berbalik. Dia dituduh terlibat dalam demonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka.
Rahman tak sendiri, ia bersama sejumlah intelektual dan pemimpin mahasiswa. Atas tuduhna itu, mereka ditahan selama 16 bulan di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta, dan dibebaskan tanpa proses peradilan.
Sejak saat itulah, ia mulai tersingkir dari panggung politik. Selain di-recall sebagai anggota DPR, dia juga kehilangan jabatan di DPP Golkar dan DPP
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Lepas dari politik praktis, bersama Gusdur, ia mendeklarasikan lahirnya Forum Demokrasi (Fordem), yang selama bertahun-tahun menjadi wadah bagi sebagian aktivis prodemokrasi.
Lambat laun, Fordem menjadi kekuatan politik baru usai Soeharto tumbang. Fordem mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden alternatif menggantikan Soeharto. Alhasil, dari kerja keras Fordem dan seluruh elemen masyarakat, Gus Dur bisa menggantikan BJ Habibie.
Fordem menghilang, namun kutipan Rahman soal politik menegaskan seperti apa posisinya. “Perjuangan politik adalah perjuangan nilai,” tandasnya.
Selamat jalan Rahman, jasa-jasamu akan kami kenang.