Meski baru masuk dalam Rancangan Undang-undang, RUU Permusikan terlau bising dari musik itu sendiri bagi beberapa musisi. Pasal 5 dalam drafnya dianggap karet.
Jakarta, Lontar.id – Sekarang sudah tahun 2019, dan rasa-rasanya pemerintahan ini membawa peradaban kita makin mundur. Lirik lagu pun berpotensi untuk disensor.
Saya sendiri menyukai lagu-lagu yang dilantukan Iwan Fals. Lirik-liriknya yang kritis, mengantarkan masa kuliah saya hingga semester tua, menjadi aduhai sekali.
Sabar, sabar, sabar dan tunggu, itu jawaban yang kami terima. Ternyata kita harus ke jalan, robohkan setan yang berdiri mengangkang.
Lagu Bongkar itu bikin kita sadar bagaimana realitas politik tidak berubah sama sekali. Janji melulu. Politisi-politisi bahkan sudah lama jatuh, namun pikirannya masih tetap ada: licik.
Untuk apa sih, bapak-bapak yang terhormat di dewan perwakilan rakyat itu ngurusin lirik-lirik lagu band-band di tumpah darahnya?
Kejadian ini mengingatkan saya pada dua presiden sebelumnya.
Orde Lama
Orde ini banyak yang agungkan. Saya juga jadi salah satu orang yang takjub kalau Indonesia pernah dipimpin orang revolusioner macam Bung Karno.
Pidatonya menggelegar. Pikirannya besar. Kata-katanya metaforik sekaligus mematikan. Namun kekurangannya adalah, ia memenjarakan musisi.
Kenapa musti dipenjarakan kalau bisa ditegur saja dan dilarang bermusik untuk sementara? Tidak bisakah masalah diselesaikan secara baik-baik tanpa membuka pintu bui?
Dari 100 tahun musik Indonesia karangan Dennie Sakrie, disimpulkan kalau Soekarno sudah tepat sekali mengambil langkah melarang musik barat untuk tumbuh saat Soekarno-Hatta memimpin.
Alasannya, karena memang budaya yang harus masuk saat itu harus difilter. Semuanya murni gerakan politik dan tendensi soal kebudayaan sedang bergejolak. Namun, yang perlu diketahui, Bung Karno tidak benci budaya Barat.
Meski begitu, masih kurang bisa diterima, kalau hanya karena berekspresi bebas kemudian tidak menggangu orang, maka dianggap subversif.
Pada era Bung Karno berkuasa, ada fenomena yang tak bisa dielakkan yakni budaya Barat masuk ke Indonesia. Bung Karno menilai, hal itu bisa merusak serta meracuni jiwa dan budaya bangsa Indonesia.
Ia khawatir jika budaya asli Indonesia sebagai kekayaan bangsa, lambat laun akan terpinggirkan dan punah ditelan budaya Barat yang gemerlap.
Maka dari sana, lahirlah sebuah manifesto yang diproklamirkan pada perayaan Hari Proklamasi 17 Agustus 1956 yakni Manipol USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
Sebab kebijakan itu, Koes Bersaudara atau yang akrab disapa Koes Plus, harus masuk bui pada 29 Juni 1965. Mereka dipenjara di Penjara Glodok, Jakarta Pusat, tanpa proses proses pengadilan.
Memang, dalam setiap penampilannya, kakak beradik itu menyanyikan lagu-lagu milik The Beatles dan Elvis Presley. Lalu tanpa alasan yang jelas, mereka dibebaskan begitu saja pada 29 September 1965.
Setelah kejadian itu, puluhan tahun setelahnya, Dikutip dari CNN Indonesia saat mewawancarai Yok Koeswoyo, ia cuma berpesan agar pemerintah jangan lagi mengekang karya musisi.
“Kami ini betul-betul cinta Nusantara. Itu sebabnya kami menyampaikan pesan melalui musik. Kami ingin menanamkan rasa memiliki, rasa mencintai, menjelaskan bahwa Indonesia itu kaya raya. Sampai lautnya aja bukan lautan, tapi kolam susu. Itu harus dimengerti.”
“Kita saja bisa tahu data-data Pentagon, masa musik dilarang? Sekarang era keterbukaan kan, jadi blak-blakan saja.”
Orde Baru
Beda dari Orde Lama, Orde Baru malah terbuka dengan musik Barat, namun anehnya, pada masa itu, lirik-lirik menyentil dan mengkritik disensor.
Salah satunya Iwan Fals. Bapak dari Galang itu bikin panas Istana Kepresidenan dengan lagu Mbak Tini. Judul dan liriknya dituding mengganggu stabilitas nasional.
Saat itu Iwan Fals sedang konser di Gedung Olahraga, Pekanbaru, Riau, pada April 1984. Dia membawakan lagu Mbak Tini. Setelahnya, Iwan harus berurusan dengan aparat keamanan karena dituduh menghina Ibu Negara Tien Soeharto dan Presiden Soeharto.
Pada masa Soeharto berkuasa, memang kritik-kritik begitu sensitif. Tak banyak orang yang berani dengan lantang untuk melakukan protes keras.
Dalam acara Kick Andy, 5 Februari 2010, Iwan mengungkapkan kalau “Mbak Tini” menceritakan perempuan mantan pekerja seks komersial (PSK) yang membuka warung kopi.
Dia memiliki suami mantan preman bernama Soehardi yang bekerja sebagai sopir truk. Soehardi di-PHK dan kembali menjadi preman. Mereka bercerai dan Tini juga kembali menjadi PSK.
“Waktu di panggung saya ubah Soehardi jadi Soeharto,” kata Iwan.
Dampaknya, Iwan dibawa ke Korem 031 dan diinterogasi selama 12 hari. Interogator bertanya mengapa Tini. Mereka berpikir, itu adalah akronim dari Tien dan Soehardi.
“Saya juga bingung menjawabnya. Mungkin iya, mungkin tidak. Saya malah sibuk nangis saja karena yang bertanya seram-seram,” kata Iwan.
“Seperti dikatakan Iwan sendiri, setelah interogasi 12 hari itu, Danrem 031 Kolonel Sutjipto, tak menemukan bukti bahwa lagu itu mengganggu stabilitas nasional,” tulis Tempo, 5 Mei 1984.
Reformasi
Setelah dua orde itu tumbang dan masuk pada era demokrasi dan kebebasan berpendapat, DPR-RI ingin mengesahkan undang-undang yang berpotensi mengganggu para musisi.
Lewat RUU Permusikan, para musisi rentan dijerat pasal karet. Setidaknya ada dua pasal yang cukup mengusik musisi, yakni pasal 5 dan 50.
Pada pasal 5, ada poin yang mengatakan kalau membawa pengaruh negatif budaya asing, atau merendahkan harkat dan martabat manusia, maka hal itu dilarang.
Sementara pasal 50, menegaskan kalau poin-poin yang menyangkut di pasal 5, bisa menjarat musisi masuk dalam pidana penajara atau bisa juga didenda.
Setelah ini, mari kita berpikir lebih jauh, bagaimana nasib musisi yang mirip-mirip Koes Plus atau Iwan Fals jika nantinya RUU ini terbentuk menjadi undang-undang yang sah?
Sisi baik dari RUU ini, ada beberapa poin yang dinilai bisa mencerahkan jalan rezeki para musisi.
“Bukan hanya memastikan setiap musisi mendapatkan hak atas setiap karya ciptanya, RUU Permusikan juga bisa memastikan setiap musisi yang sudah menerima haknya tidak melupakan kewajibannya membayar pajak.”
“Karena itu, RUU ini nantinya akan kita bahas lintas Komisi melibatkan Komisi III dari sektor penegakan hukum, Komisi X dari segi hak yang diperoleh para musisi, maupun Komisi XI dari segi penerimaan negara dan pemanfaatan karya musik di dunia perbankan,” urai Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, lewat rilis yang diterima Lontar.id.
Patut ditunggu, apakah RUU ini akan menjadi undang-undang sah tanpa ada revisi sama sekali tepat di poin 5 dan 50? Jika memang tidak bisa dan poin itu melenggang mulus, maka candaan Rocky Gerung bisa jadi kenyataan.
“Saya di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, atau biasa diplesetkan menjadi Pura-pura Demokrasi,” kata Rocky dalam beberapa kesempatan. Ya, negeri ini barangkali sedang ber-Pura-pura Demokrasi.