Lontar.id – Belakangan sosial media saya ramai oleh postingan penolakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Aksi penolakan juga disertai ajakan untuk ikut serta mendukung gerakan tersebut dengan cara menandatangani petisi penolakan RUU P-KS pada laman change.org.
Beberapa orang dari teman saya bereaksi mendukung, beberapa yang lain menolak, selebihnya ada yang masih mempertanyakan. Dalam kasus ini, saya berada pada posisi mempersoalkan kembali penolakan terhadap RUU P-KS itu.
Munculnya gerakan penolakan terhadap RUU P-KS karena adanya anggapan jika RUU P-KS melanggengkan perzinahan, menyetujui seks bebas dan pelacuran. Alasan lainnya, RUU itu membahas relasi kuasa berbasis gender, yang berarti lelaki boleh berhubungan badan dengan sesama lelaki, asal suka sama suka.
Sebelum membahas beberapa alasan penolakan di atas, sebelumnya mari kita memahami dan memikirkan ulang filosofi mendasar dari konsep Rancangan Undang-Undang ini agar tidak melebar ke pembahasan yang tidak nyambung dengan konsep kekerasan seksual.
Kekerasan seksual secara umum dapat dimaknai sebagai serangan atau invansi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.
Adapun pengertian kekerasan seksual dalam RUU adalah segala perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa/atau relasi gender, yang dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Jadi sebenarnya filosofi mendasar dari RUU ini adalah perlindungan terhadap korban, laki-laki ataupun perempuan terhadap kekerasan seksual.
Oleh sebab itu, menjadi tidak nyambung ketika dikatakan RUU ini melegalkan perzinahan. Sebab salah tempat membahas perzinahan dalam kerangka kekerasan seksual.
Selain itu, dalam RUU P-KS tidak ada yang menyebutkan adanya perlindungan terhadap kasus perzinahan. Jika alasannya tidak ada pengaturan tentang hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama sehingga maknanya berarti pelegalan perzinahan, maka kita perlu kembali pada konsep awal- arti kekerasan seksual.
Perzinahan tidak termasuk dalam kekerasan seksual, perzinahan justru sudah dibahas dalam pasal 284 KUHP.
Maka sesungguhnya tidak nyambung jika membahas zina begitupun dengan seks bebas pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Alias, Bung Rulang Bawa Bakso, Gak Nyambung Ferguso.
Alasan lain yang tidak kalah lucu dari alasan seks bebas dan zina, yakni RUU P-KS disinyalir mendukung LGBT. Dalam petisi Tolak RUU Pro Zina dituliskan, “Relasi yang dibahas adalah relasi kuasa berbasis gender, artinya lelaki boleh berhubungan badan dengan sesama lelaki, asal suka sama suka.”
Apa hubungan antara relasi kuasa berbasis gender dengan hubungan badan sesama lelaki? Relasi kuasa berbasis gender di sini yang dimaksud adanya ketimpangan kekuasaan antara subjek yang menyebabkan munculnya kekerasan seksual.
Belum lagi jika kita melihat alasan lain yang lebih menggelikkan. Misalnya disebutkan dalam petisi, RUU P-KS bisa merusak bangsa karena Ibu yang memaksa anaknya memakai kerudung boleh melapor karena dianggap melakukan kekerasan seksual.
Dari segi pemaknaan bahasa, petisi Tolak RUU Pro Zina itu sudah gagal, baik dalam tataran konsep, alih-alih dalam tataran filosofis. Belum lagi jika kita ingin membahas lebih lanjut dari segi Hak Asasi Manusia dan persoalan lain yang lebih kompleks.
Jangan-jangan saat kita berkoar-koar menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, di saat yang sama kita sebenarnya telah melakukan kekerasan terhadap otak kita yang tak digunakan sesuai fungsinya.