Ada satu pelatih yang akan selalu dirindukan beberapa klub besar di Indonesia, yakni Miroslav Janu. Namanya besar di sepakbola, dan akhirnya, di sepakbola pula kariernya berakhir selamanya.
Jakarta, Lontar.id – Miroslav Janu pernah memberi warna bagi persepakbolaan di Indonesia. Selain formasi andalan 4-4-2 yang jadi andalannya, ia juga merupakan sosok yang tangguh.
Saat itu, sewaktu melatih Persela, ia dirundung masalah yang jadi hal yang sangat biasa di Indonesia, yakni penunggakan gaji. Hebatnya, ia menerimanya dengan lapang dada dan tak kapok.
Asal tahu saja, Miro berkali-kali menghadapi kejadian seperti itu. Terakhir, hingga ia meninggal, Persela Lamongan-lah yang dikabarkan berutang gaji padanya sebesar Rp700 juta. Sebab itu ia hengkang pada musim 2011-2012.
“Mereka (manajemen Persela) tidak mau angkat handphone, tidak mau berkomunikasi. Mereka bohong di koran, mereka juga bohong kepada La Mania,” keluh Miro pada Oktober 2012.
Meski begitu, Miro tetap mempertahankan gaya kepelatihan yang disiplin dan keras baik pada Persela dan klub-klub lain yang ia latih. Ia tidak pernah lembek pada sepakbola Indonesia yang menghantamnya.
Itu di Persela. Kalau di Arema, masalahnya lain lagi. Di Malang, Miro melatih dengan gigih dan disiplin. Karena kemampuannya itu, ia pernah membawa Singo Edan jadi runner up di ISL.
Saat Miro masih melatih Arema Malang, Noh Alam Shah, Kapten Arema saat itu, bentrok dengannya. Alasannya, Miro gemar menyalahkan para pemainnya saat Arema kalah.
Kondisi itu sejalan, setelah tahu pemain-pemain Arema belum dibayar gajinya selama lima bulan serta sejumlah bonus kemenangan.
Tetapi, ia tetap menuntut para pemainnya untuk bersikap profesional, hingga akhirnya kompetisi Indonesia Super League [ISL] 2010-2011 bubar.
Miro, dalam beberapa kabar, tak pernah gentar dengan pandangan lain para pemain. Sebab sikapnya itu juga, Arema finis di peringkat kedua ISL pada akhir musim tersebut.
Sementara di PSM, pria kelahiran 8 November 1959 ini menemukan anak emas yang kemudian menjadi legenda di PSM, yakni Syamsul Chaeruddin.
Selain mengorbitkan Syamsul, di PSM pula, formasi 4-4-2 dipopulerkan. Pemain PSM saat itu juga bagus-bagus benar, sebut saja nama Oscar Aravena, Cristian Gonzales, Jack Komboy.
Lewat tangan dingin Janu dan kerja sama apiknya bersama manajer Erwin Aksa, PSM menjadi klub yang ditakuti saat itu. Namun sayangnya, Janu tetap gagal membawa PSM juara akibat kalah bersaing dari Persik Kediri pada Liga Indonesia 2003.
Setelah itu, ia lagi-lagi mengalami nasib yang kurang beruntung. Persebaya berhasil menggondol gelar di Divisi Utama Liga Indonesia. PSM gagal jadi jawara.
Hal ini pula yang kerap dirindukan para pendukung PSM Makassar sekarang, karena sedang mencari pelatih sepeninggal Robert Alberts. Munafri sampai bingung untuk mencari siapa suksesor dari meneer. Dalam waktu dekat, Munafri berjanji akan mengumumkannya.
Akhirnya, di Persebaya Divisi Utama, ia menutup mata selama-lamanya pada 24 Januari 2013 sebab sakit. Awalnya ia mengeluh nyeri di dadanya. Pada pukul sepuluh pagi, Janu lantas dibawa ke RSI Jemursari untuk dirawat intensif.
Walau sakit, ia tak pernah mengeluh di lapangan, apalagi sampai menunjukkan gelagat lemah di hadapan para pemainnya. HAl itu didukung dengan pernyataan Uston Nawawi, kapten Persebaya DU, waktu itu.
Saat Persebaya DU menjalani pemusatan latihan di Bali, Miro masih terlihat baik-baik saja. “Saya tak tahu coach (Janu) mempunyai riwayat sakit jantung. Di lapangan ia tak pernah mengeluh,” tutur Uston, dikutip Juara.net.
Satu hal yang selalu dibanggakan Janu di sepakbola Indonesia, “Kami (di Indonesia) memiliki stadion dengan kapasitas 25.000 penonton, tapi selalu penuh. Dalam hal ini, sepakbola Indonesia memang gila,” tandasnya di Jihocesky Fotbal, media sepakbola Ceko, sewaktu menjadi asisten pelatih Slavia Praha.