Lontar.id – Cuplikan video singkat, ulama karismatik Nahdlatul Ulama (NU), Kyai Haji Maimun Zubair (Mbah Moen) jadi perbincangan hangat di kalangan politisi.
Musababnya, ia mendoakan Prabowo Subianto Capres nomor urut 2, jadi Presiden. Sementara Jokowi tepat berada di samping Mbak Moen, duduk manis sambil ikut larut dalam doa. Acara tersebut bertajuk Berdzikir untuk Indonesia Maju di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
Setelah cuplikan video singkat itu viral di media sosial, muncul klarifikasi dari Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Rommy Romarhurmuziy.
Rommy menjelaskan bahwa Mbah Moen salah mengucapkan nama Jokowi menjadi Prabowo. Bahwa yang dimaksudkan oleh Mbah Moen adalah mendoakan Jokowi terpilih kembali sebagai presiden pada periode kedua bersama dengan KH. Ma’ruf Amin (Jokowi-Amin).
Memang diketahui kalangan NU, berada di barisan pendukung Jokowi-Amin. Apatah lagi, dua partai Islam yang mewakili kalangan NU yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa, jadi penyokong kemenangan petahana di Pilpres 2019. Demikian juga dengan Ma’ruf Amin tokoh penting di NU, sebagai Rais Aam PBNU.
Yang harus diketahui, meski kalangan NU, mayoritas berada di Kubu Jokowi-Amin, apakah lantas semua keluarga besar mengalihkan dukungan ke petahana?
Meski berada dalam satu komunitas Islam terbesar dengan mazhab pemikiran yang sama, namun soal pilihan politik terkadang berbeda. Hal itu dianggap wajar karena berangkat dari paradigma berpikir yang tak sama.
Seperti contoh di kalangan NU, yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Farros, KH. Irfan Yusuf cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari berada di pendukung Prabowo-Sandiaga.
Dia ditunjuk oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) untuk menjelaskan dan menerjemahkan visi-misi Prabowo-Sandiaga kepada masyarakat.
Dukungan KH. Irfan Yusuf terhadap Prabowo-Sandiaga, menyiratkan bahwa keluarga besar NU tidak sepenuhnya berada di kubu Jokowi-Amin dan membuka peluang Prabowo menggrogoti basis NU sedikit demi sedikit.
Apalagi ketika tim BPN mampu mengapitalisasi cuplikan video Mbah Moen yang menyebutkan Prabowo jadi presiden, bukan tak mungkin basis NU ramai-ramai berada satu basis dengannya.
Berebut Simpati
Sebelumnya, Prabowo juga pernah mendatangi Mbah Moen untuk meminta dukungan politik terhadap tokoh karismatik NU itu. Prabowo disambut meriah olah para santri dengan pasukan Green Crown AL Anwar Marching Band, saat ia tiba di pondok pesantren.
Kedatangannya di lingkungan basis NU, menyiratkan bahwa Prabowo tetap membutuhkan dukungan dan simpati dari kelompok Islam itu. Karena ia sadar jumlah pemilih di sana cukup besar membantu memenangkan dirinya bersama Sandiaga.
Momen politik memang dijadikan sebagai ajang untuk mendatangi berbagai tokoh dan para ulama, politik berebut simpati ini kadang jadi senjata ampuh merangkul semua dukungan dari pelbagai kalangan.
Mengingat kelompok Islam dan menguatnya politik identitas semakin besar, maka mau tak mau menggaet mereka adalah salah satu kunci memenangkan pemilu 2019.
Saya mengamati peta perpolitikan akhir-akhir ini, kelompok Islam mulai menguat memainkan peran mempengaruhi kebijakan politik. Mereka bersatu di bawah komando para ulama dalam memberikan anjuran-anjuran untuk memilih pemimpin yang bisa berjalan bersama dengan Islam.
Apakah kemudian ini dapat disebut sebagai kebangkitan kembali Islam ataukah hanya sekadar euforia belaka di momen politik?
Jawabannya bisa saja berbeda. Orang yang menyakini bahwa ini adalah masa kebangkitan politik islam, akan membenarkannya.
Karena pasca reformasi gerakan 212 menjadi tonggak sejarah, di mana kelompok-kelompok Islam mampu bersatu dan bergerak bersama dengan satu isu. Gerakan ini kemudian terakumulasi menjadi Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF), dan pada akhirnya mengeluarkan ijtimak ulama mendukung Prabowo-Sandi sebagai capres dan cawapres.
Penulis: Ruslan