Jika Anda cinta sepakbola Indonesia, maka belum afdal jika asing dengan Luciano Leandro.
Jakarta, Lontar.id – Jika di radio atau di stadion Mattoanging, pada tahun 90-an, nama Luciano Leandro kerap dielu-elukan. Baik saat mencetak gol atau baru memasuki gelanggang.
“Luciiaanooooo Leandro…”
Jika namanya sudah disebut, publik akan bergemuruh, tiupan terompet terdengar dan teriakan yel-yel akan berakhir dengan kata “oi”.
Lelaki asal Brazil dengan rambut bergelombang ini, sewaktu datang ke PSM Makassar, langsung diplot di lini tengah. Biasanya juga di sisi sayap, juga di depan.
Cara pria yang akrab disapa Luci ini bermain bola, cukup menarik. Kekuatan serta visi bermainnya sangat baik. Ia lihai. Ia juga mampu bekerja sama dengan tim. Soal sepakan akurat, Luci jagonya. Pelbagai teknik ia praktikkan saat berkostum Pasukan Rmaang.
Jika memang kurang baik, sampai sekarang pasti namanya sudah tersisih dari legenda PSM. Namun, sayangnya tidak. Ia sudah jadi darah, daging, dan jenama tersendiri di PSM.
Ingat Luciano Leandro, ingat PSM Makassar. Hal itu kemudian ditambah dengan monumen yang kian menguatkan kalau Luci dan Makassar sudah sejiwa dan tak bisa dipisah. Ia membangun Hotel Makassar di Brazil.
Tidak hanya membuat monumen di Tanah Samba. Luci juga tergolong punya sikap yang ramah bagi para masyarakat Makassar. Susah untuk tidak membuat publik Makassar tidak mencintainya, meski ia sama sekali belum pernah membawa PSM juara.
Dari PSM ia kemudian meniti karier di Persija Jakarta. Pada musim 2000-01, Luciano Leandro jadi salah satu taring Macan Kemayoran. Performanya menanjak tajam. Ia jadi buas seperti macan kelaparan.
Tahulah jika kelaparan, siapapun yang berpotensi untuk disantap, maka ia akan koyak. Di final, Luci dkk melawan klub yang membesarkannya, PSM Makassar. Di sana, PSM koyak-moyak diterkam dengan skor 3-2.
Persija jadi kampiun. Kenangan manis sudah terpatri dalam sejarahnya bersama warga Jakarta. Namun, bencikah warga Makassar meski Luci membantu Persija menumbangkan Juku Eja?
Tidak. Nama Luci tetap harum sebagai pemain di Tanah Daeng. Ia jadi pemain asing yang paling diingat dan dielu-elukan publik Kota Anging Mammiri.
Setelah gantung sepatu dari sepakbola Indonesia, Luci pergi ke Brazil. Ia menghabiskan waktunya di sana seperti mengurus bisnis, menghangatkan keluarga, dan lainnya.
Loyo Tukangi PSM
Cukup lama menetap di kampungnya, Luciano kembali. Oleh manajemen PSM serta sosok Sumirlan, ia dipanggil kembali untuk menukangi PSM Makassar. Namun, sayang sinarannya tak sama saat menjadi pemain dulu.
Skuat yang ia pegang tak mampu bertaji di kancah sepakbola nasional, Torabika Soccer Championship (TSC) pada 2016. Beberapa kali, Ayam Jantan dari Timur keok di tangan seterunya. Luci cuma bisa bertahan tiga bulan di Makassar. Tragis.
Luci bisa menerima keputusan bahwa ia didepak oleh klub yang ia cintai. Dalam sebuah wawancara dengan Bola, ia mengaku kalau ia sulit sekali beradaptasi dengan pemain, serta mengolah permainan seperti yang PSM inginkan.
“Saya sulit bertindak tegas ke pemain, karena mereka juga belum mendapatkan pelayanan yang maksimal dari klub. Tapi, sudahlah, saya berharap ke depan PSM bisa lebih baik.”
Apa yang kurang maksimal? Luci enggan menanggapi kata itu secara gamblang. Pastinya, persoalan itu kompleks. Luci menuturkan, kalau pemain yang datang ke PSM, bukanlah kemauannya. Ia hanya serius memantau Alex Silva dari sejak lama, yang didatangkan PSM.
Formasi 4-3-2-1 dari Luci belum bisa membuat PSM perkasa bahkan dengan sederet pemain dengan nama besar seperti Ferdinand Sinaga, Muchlis Hadi, dan Maldini Pali.
Alex, pemain yang ia kenal dan sering disebut-sebutnya juga dalam beberapa kesempatan terlihat padu dalam sesi latihan dan laga uji coba. Tetapi, cedera membekapnya dan mengubah permainannya, apalagi sikapnya dalam tim membuatnya sempat bersitegang dengan Maldini Pali.
Hal ini menjadi satu dari sekian alasan sekaligus implikasi buruknya kondisi skuat yang dikelola Luciano. Ujung tombak tampak doyong dan kurang bergairah. Seperti orang yang sedang sakit.
Di lini tengah lain lagi. PSM di bawah Luci, mampu beberapa kali memenangkan penguasaan bola. Ada nama Rasyid Bakri, Rizky Pellu, Syamsul Chaeruddin. Kurang kuat apalagi? Sayangnya, lagi-lagi, lini tengah bukan eksekutor seperti ujung tombak yang disiapkan PSM saat itu.
Setidaknya itulah beberapa alasan yang dibeberkan Luci, serta amatan pertandingan yang sudah Lontar ikuti sejak 2016 silam.
Persipura Jadi Pesakitan Klub Kasta 3
Setali tiga uang, Luci juga didera masalah lagi di klub Mutiara Hitam. Bersama skuatnya, ia keok dari klub Liga 3, Persidago Gorontalo. Kekalahan ini, makin menyakitkan, sebab membuat Persipura harus tersingkir dari Piala Indonesia.
Kekalahan itu bisa dibilang menyakitkan. Alasannya, Persipura sudah menang 2-1, namun skor tandangnya tidak mampu menutup selisih gol. Saat bermain di Gorontalo, Persipura dikalahkan tipis dengan skor 1-0.
Saat ditanya soal kekalahan, Luciano Leandro enggan menyalahkan siapa-siapa. Ia mengakui kekuatan bertahan Persidago dengan memainkan sepakbola negatif. Buktinya, Persidago tidak jadi bulan-bulanan gl anak asuhnya.
“Kegagalan mencetak tiga gol bukan disebabkan permainan Persidago. Kami tidak ingin mencari alasan. Kami hanya kurang beruntung, walau mendapat banyak peluang,” ucap Luciano.
“Sekarang kami fokus memperbaiki kekurangan agar ke depannya bisa lebih baik lagi. Waktu persiapan yang kami punya juga cukup.”
Secara tidak langusng, pelatih Persidago Romi Malanua, mengakui apa yang diucapkan Luci. Tingkat disiplin pemainnyalah yang membuat Persipura sulit mengembangkan permainan.
“Persipura sangat mendominasi sekali, tapi kami sangat beruntung, dan juga kami berusaha dengan baik sesuai dengan kemampuan. Kali ini keberuntungan ada di pihak kami,” ujar Romi.
“Awalnya kami sudah mengatakan, datang ke sini tidak membawa target. Kami hanya ingin berlatih dan belajar dari tim sekelas Persipura, tetapi di lapangan hasilnya lain. Anak-anak juga punya daya juang dan kemauan tinggi, sehingga bisa lolos ke fase selanjutnya.”
Cukup diketahui, Persipura memang agak turun “mesin” sejak tahun lalu. Tercatat, 12 kekalahan yang dideranya sebelum mengakhiri Liga 1 musim 2018.
Trek tersebut tentu saja buruk, karena semenjak 2009, Persipura tak pernah selemah itu di hadapan klub liga Indonesia, baik papan atas apalagi papan bawah, terlebih kasta rendah.
Di sinilah letak kesulitan yang harus dibenahi Luciano. Jika ia sukses membawa Persipura keluar dari tekanan tren buruknya, ia bisa mencatatkan namanya dengan harum. Jika tidak?
Tentunya asumsi akan menguar, kalau Luci cuma pandai mengolah si kulit bundar, tetapi tak mampu memimpin si pengolah kulit bundar di lapangan. Belum terlalu dini bukan untuk mengucap: Sudahlah Luci, kau cuma cocok jadi pemain bola, bukan pelatih.