Seorang pelajar kembali bikin panas media sosial. Diawasi orangtuanya, ia memukuli petugas kebersihan di sekolahnya.
Jakarta, Lontar.id – Sesudah seorang guru bernama Nur Kalim di SMP PGRI Wringinanom dilecehkan muridnya, kini hadir lagi kelakuan sejenis.
Kelakuannya bisa dibilang kurang ajar, atau apalagi namanya yang bisa disematkan pada murid yang tidak menghargai orang yang lebih tua beserta status sosialnya yang melekat?
Di hadapan orangtuanya, murid di SMP Negeri 2 Takalar, menghantam Faisal Daeng Pole, lelaki berumur 38, petugas kebersihan di sana, menggunakan sapu bergagang besi.
Murid itu berbuat keji di hadapan orangtuanya, dan atas restu orangtuanya pula. Awalnya, lima siswa mendatangi Daeng Pole kemudian menghinanya dengan sapaan binatang.
Kesalahan pertama. Apakah Daeng Pole itu binatang? Tidak, ia manusia. Sama seperti yang membaca tulisan ini. Ia manusia yang mencari rezeki di sekolah, yang dalam nalar sehat, tak pantas untuk dimaki-maki.
Dalam kronologi yang diungkap polisi di Takalar, saat itu Daeng Pole tengah membersihkan sampah di luar kelas. Tiba-tiba datang lima siswa yang mengejeknya.
“Dia dikatai pegawai anjing, pegawai najis,” kata Kapolres Takalar, AKBP Gany Alamsyah .
Serendah itukah Daeng Pole? Dalam pelbagai sumber, tak ada yang salah sebelumnya dari Daeng Pole. Ia mencari nafkah dengan riang, tiba-tiba disapa dengan kalimat yang sepatutnya terlontar dari mulut begundal yang ingin duel.
Daeng Pole lalu marah. Kesal. Ia datangi siswa yang diketahui berinisial I itu, kemudian menamparnya. Tamparan yang barangkali bagi sebagian pelindung anak-anak badung, tidak boleh dilakukan.
Ya, di negeri ini, hal tampar-menampar dan kekerasan lainnya memang masih jadi perdebatan. Tak peduli kau mau dimaki seperti apa, yang penting anak harus dijaga. Jika kautampar seorang murid, akan ada satuan khusus mirip korps yang akan membela mati-matian.
Benarkah sikap mereka? Jelas benar. Mereka punya teori yang cukup bejibun. Mereka juga belajar banyak hal. Buku-buku soal perlindungan anak disantapnya, dan ilmunya segunung untuk melindungi anak bandel.
Lalu siapa yang salah jika begitu? Yang salah adalah, yang dibela dan pembela. Pembela tidak mengajari batasan dan adab, kedua adalah yang dibela, mereka tidak paham, sampai mana batas pembelaan itu melekat padanya. Pokoknya guru atau siapapun petugas di sekolah, tak boleh main tangan.
Sebab tak boleh main tangan, murid akan bermain dengan kekerasan dan tajam lidahnya. Toh, jika ia pukul dan caci orang, siapapun, tak ada penjara di hadapannya. Hukum punya kolong. Anak kecil bisa bermain-main dalam kolong. Ia dilindungi oleh umurnya sendiri.
Lanjut pada kisah. Usai digampar, siswa berinisial I ini pulang dan langsung melapor atas kejadian yang dirasa sudah menyakiti hati dan tubuhnya pada ayahnya.
“Tak lama kemudian, orang tua siswa tersebut mendatangi korban di sekolah, kemudian orang tua siswa tersebut langsung memerintahkan anaknya beserta temannya sebanyak tiga orang, untuk memukul korban,” ujar Kapolres Takalar, AKBP Gany Alamsyah.
Dalam video yang beredar, tampak ada peleraian dari orang-orang di sekolah. Disusul teriakan, dan murid-murid yang takut untuk memisahkan pengeroyokan itu.
Dalam keterangan tambahan Daeng Pole oleh polisi, orangtua I malah sempat melayangkan pukulan sebanyak 5 kali. Anak dan orangtua sama-sama brutal dan doyan lihat orang lain susah.
Setelah ada laporan, apakah ada permintaan maaf yang sudah ditunggu-tunggu publik, yang finalisasinya terbaca sejak awal karena akan ada damai di antara mereka? Tidak ada.
Publik yang memantau kasus ini dari jauh bisa bilang, “aih, saya salah tebak.” Kita jadi tahu, tak pernah ada hukuman yang bikin jera para murid. Apa maaf bikin jera? Bisa jadi. Apa kekerasan balik bikin jera? Bisa jadi. Lalu solusi apa dong?
“Mereka sudah sering katai saya dengan panggilan anjing dan kata kasar lainnnya,” kata Daeng Pole sewaktu di Mapolsek Galesong Selatan, Jalan Poros Takalar-Gowa, Kabupaten Takalar, kemarin.
“Tetapi kemarin ini sudah keterlaluan. Guru-gurunya saja sudah banyak mengeluh dipanggil anjing sama mereka,” kata Daeng Pole.
Hal ini juga didukung oleh komentar Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Takalar, Hamzah. “Siswa ini terbilang nakal di sekolah. Para guru juga mengeluh karena ada yang dikatai anjing sama mereka.”
“Prestasi mereka pun tidak ada di sekolah. Yang mereka tonjolkan hanya kenakalan mereka.”
Ya, guru seakan tidak berdaya oleh makian yang dilontarkan muridnya. Sebab apa? Belum tahu. Tren menunjukkan, dikerasi sedikit saja, maka pintu penjara sudah menganga di hadapan para guru, jika orangtua murid keberatan dan melapor ke polisi atau perlindungan anak.
Pada akhir kata, dengan kalimat yang bikin meleleh, Daeng Pole bilang, “Saya datangi mereka, lalu saya bilang saya ini bukan anjing. Saya ini orang-orang baik, kasihan,” terangnya.
Haruskah Guru Dibekingi Seperti KPK?
Kadang-kadang dalam beberapa kasus, saya cemburu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika ada yang menyentil KPK, maka garda terdepan adalah pemimpin negara. Ia bersama instrumennya bisa melindungi KPK.
KPK tidak sendiri tentunya. Ada masyarakat yang bisa berdiri di jalan-jalan kalau KPK sudah dirasa dilemahkan oleh bandit-bandit atau kebijakan yang diambil supremasi hukum membuatnya loyo.
Seperti dalam kasus yang dialami Novel Baswedan. Setelah penyiraman air keras yang diarahkan ke wajahnya dan akhirnya merusak matanya, masyarakat jadi awas.
Aksi massa di jalan-jalan beberapa kali mengecam tindakan yang dialami oleh Novel. Kata banyak kepala dalam kesatuan aksi, Novel jangan dikriminalisasi atau Novel harus senantiasa dilindungi.
Memang politis. Sebab senjata kalimat-kalimat garang sedang diarahkan pada pucuk tertinggi negara untuk segera ambil bagian dalam penuntasan kasusnya. Damai? Boro-boro ada damai.
Kasus itu malah didorong untuk segera dituntaskan dengan segera mencari pelaku dan kepastian status hukum pada mereka yang terlibat dalam penyerangan.
Semua elemen bisa garang jika KPK dilemahkan, tapi kenapa pada guru tidak? Apa posisi guru tidak selezat KPK yang bisa dibolak-balik akan terendus bau politik di dalamnya?
Begitulah. Hal-hal seperti ini harus disadari. Dulu ada yang sadar, namanya Ali Sadikin. Namun, entah mengapa, sekarang kasus guru kurang seksi untuk diangkat. Posisinya tidak bisa menggetarkan pemangku kepentingan tertinggi. Lagipula, dulu belum ada hashtag di media sosial untuk mengelaborasi kasus ini hingga didengar pemerintah.
Jauh sebelum ramai pemukulan guru dan pegawai kebersihan sekolah ini, dulu di Jakarta, terjadi kejadian serupa. Saat itu era Orde Baru. Zamannya orang harus bertindak hati-hati.
Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada periode 1966-1977, dibuat geram bukan main. Ia dapat kabar kalau ada seorang guru yang dikeroyok dan dipukuli oleh murid.
Berita Kompas, 5 November 1971, mewartakan seorang siswa yang tidak lulus, bersama beberapa tukang pukul berambut gondrong, memukuli gurunya sampai cidera.
“Guru berinisial RSP itu tidak dapat melarikan diri karena diancam dengan golok,” tulis Kompas dalam medio itu.
“Maka, tentu saja saya turun tangan langsung. Tidak bisa keadaan begitu dibiarkan berkepanjangan,” ujar Ali dikutip dalam otobiobiografi Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH.
Saking semangatnya Ali, ia segera memerintahkan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengusut tuntas kasus tersebut. Untuk penanganan lebih lanjut, Ali berkoordinasi dengan kepolisian.
Dia juga mengimbau para guru untuk mengadukan setiap penganiayaan yang dialami mereka. “Telepon gubernur, jika ada guru dipukuli murid,” tulis Kompas.
Bahkan guru saat itu, mendapat bekingan penuh dari Ali kalau ada murid yang macam-macam di sekolah dan kurang ajar pada gurunya. Tidak bisa dibayangkan apabila guru takut pada murid.
Bagi Ali, guru harus dihormati oleh murid-muridnya, orangtua murid, dan masyarakat. “Laporkan saja kepada saya jika ada yang menghalang-halangi tindakan para guru. Saya akan bereskan! Ini sudah merupakan konsensus saya dengan Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo,”seru Ali saat itu.
“Tak ada pilihan lain selain daripada menegakkan kembali wibawa guru. Hanya orang tua yang bodoh, yang tak tahu diri yang selalu membela anak-anaknya yang jelas tidak benar.”
“Saya tak ada kompromi lagi. Setiap anak yang melanggar hukum akan ditindak,” tegas Ali.
Alhasil, sebab kerja sama Ali dan Kapolda Metro Jaya, Brigjen Widodo, sesuai informasi yang tertera pada Kompas, 6 November 1971, siswa SMA Filial di Rawasari berinisial T yang memukul gurunya, telah ditahan dan akan diproses secara hukum.
Setelah kejadian itu, dibentuklah POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) di Jakarta. “Setelah saya menunjukkan sikap tegas begitu, meredalah dan turun jumlah kejadian kenakalan anak-anak sekolah itu,” pungkas Ali.
Dalam Menguak Tabir Kusam: Kumpulan Essey Permasalahan Pendidikan, M.S Abbas mencatat pada dekade 1970-an, banyak guru mengalami tekanan di sekolah. Hal ini terjadi terutama menjelang masa kenaikan kelas.
“Pemukulan atau penusukan tetap saja menjadi kekhawatiran para guru di sekolah, karena bila saat yang menegangkan itu datang, yaitu saat kenaikan kelas, tak sedikit pula sekolah yang meminta polisi untuk berjaga-jaga,” tulis Abbas.
Jika sudah begitu, apakah kita mau kembali pada zaman Ali memerintah? Jangan-jangan, nanti kita juga yang takut dengan prasangka akut: Tidak, ah. Saya tidak mau kembali ke zaman Orba. Hak asasi dan perlindungan anak harus tetap ada. Sebab di Eropa, hukumnya begitu.