Jakarta, Lontar.id – Sidang lanjutan perkara perintangan penyidikan dengan terdakwa Lucas kembali berlanjut di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (14/2/2019). Kali ini, saksi ahli yang dihadirkan adalah Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Prof Said Karim, dan guru besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir.
Dalam persidangan, Prof Said Karim membeberkan beberapa kejanggalan penyidik KPK dalam menjerat Lucas sebagai tersangka dugaan merintangi penyidikan terhadap mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.
Menurut Said Karim, sadapan KPK tidak bernilai hukum karena perkaranya berbeda. Hal tersebut diungkapkan Said Karim saat menjawab pertanyaan salah satu penasihat hukum Lucas, Aldres Napitupulu. Aldres mempertanyakan sadapan yang dimiliki KPK terkait perbincangan seseorang yang diduga Lucas. Menurut Aldres, sadapan itu diperoleh KPK dari proses penyidikan Eddy Sindoro.
“Perekaman ternyata ada sprindik, tetapi untuk orang lain? Saya merekam a, sprindik maupun sprindik belum ada, sprindik b sudah dan saya lakukan perekaman a. Apakah dibenarkan, apa kekuatan alat bukti?” tanya Aldres.
Said Karim mengatakan, penyidik tidak bisa begitu saja melakukan perekaman dan penyadapan untuk kepentingan perkara lain.
“Dilakukan proses perekaman dan penyadapan, kemudian digunakan untuk perkara orang lain. Sesuai putusan MK itu, sifatnya khusus berkenaan dengan perkara tertentu, tidak bisa dipertukarkan. Itu tidak bisa dilakukan. Demikian yang terjadi, nilai pembuktiannya tidak bernilai hukum,” ujarnya.
Prof Said Karim juga menganggap, langkah penyidik KPK dalam menjalankan kewenangannya belum maksimal untuk menangkap Eddy Sindoro.
Menurutnya, pasal merintangi proses penyidikam KPK sebagaimana Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor haruslah menimbulkan akibat secara nyata. Dimana, akibat perbuatan itu, aparat penegak hukum mengalami hambatan, sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Baca Juga: Terbantahkan, Lucas Tak Pernah Bantu Eddy Sindoro ke Luar Negeri
Mengenai standar maksimal bagi penyidik kata Said Karim, dalam kaitannya sesuai Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor, bahwa penyidik telah memakai seluruh kewenangan yang ada padanya. Contohnya, melakukan pemanggilan terhadap saksi-saksi atau tersangka, lakukan pencegahan, jemput paksa, menerbitkan surat DPO, dan Red Notice.
“Jika syarat di atas belum dijalankan, maka (penyidik) belum dapat dikatakan maksimal. Kalau menurut saya, dia (penyidik) memiliki kewenangan, tapi dia tak menggunakannya kewenangannya, maka itu masuk lalai, dan tidak melaksanakan kewenangannya secara optimal,” kata Said Karim.
Said Karim menjelaskan, Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor tersebut terbatas atau merupakan ketentuan khusus yang bisa dipergunakan dalam penanganan kasus atau perkara korupsi. Karena itulah pasal tersebut dimasukkan dalam UU tersendiri. Tetapi bagi Said, berdasarkan pemahaman hukum dan literasi hukum yang dia baca selama ini, Pasal 21 bukan masuk delik formil tapi delik materiil.
Diketahui, Lucas sebelumnya didakwa bersama-sama dengan Dina Soraya telah merintangi penyidikan mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro. Lucas diduga menyarankan Eddy Sindoro selaku tersangka untuk tetap berada di luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia.
Eddy Sindoro telah ditetapkan menjadi tersangka dugaan suap panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution. Dugaan suap tersbeut terkait pengurusan sejumlah perkara beberapa perusahaan di bawah Lippo Group
Keaslian Rekaman Kembali Disoal
Tim penasehat hukum Lucas juga mempertanyakan ke Said Karim tentang alat bukti yang dipergunakan dalam perkara dengan penggunaan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor, termasuk originalitas bukti elektronik yang dipergunakan.
Said membeberkan, alat-alat bukti sebenarnya sudah diatur dalam Pasal Pasal 184 ayat (1) yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Seluruh jenis alat bukti tersebut harus terbuka dan dibuktikan dalam persidangan keabsahannya. Menurut dia, kalau ada satu keterangan saksi misalnya berbeda dengan tiga keterangan saksi atau alat bukti lain maka keterangan satu saksi tidak bisa dipergunakan.
Sehubungan dengan alat bukti elektronik, Said menyatakan, penegak hukum termasuk hakim di pengadilan haruslah mengujinya dengan digital forensik dan disertai keterangan ahli forensik.
Baca Juga: Ahli Digital Forensik Pertanyakan Kekuatan Alat Bukti Rekaman KPK
Majelis hakim, tutur Said, wajib menilai bagaimana cara perolehan alat bukti tersebut termasuk rekaman elektronik dan originalitasnya.
“Menurut saya, kalau hakim ragu-ragu dengan bukti-bukti yang diajukan, maka haruslah terdakwa yang diajukan di persidangan bisa dibebaskan oleh majelis. Lebih baik majelis membebaskan terdakwa dari pada menghukumnya,” kata Said.