Nilai yang dibangun dari dulu dalam dunia sepakbola adalah klaim bahwa sepakbola cuma hanya milik lelaki.
Jakarta, Lontar.id – Jack Angel, nama suporter perempuan Persija Jakarta, dalam jurnal yang ditulis Emily Nurulhuda, sempat menjadi sasaran maskulinitas lini sosial.
Dengan judul Memahami Pengalaman Komunikasi Suporter Perempuan Jak Angel Dalam Usaha Menegaskan Eksistensi Di Dunia Sepakbola, tercatat kalau eksistensi Jak Angel sebagai suporter Persija, tidak secara utuh mendapat dukungan dan pandangan positif dari masyarakat.
Seringkali, lewat suara informan dalam jurnal yang diterbitkan pada tahun 2012 lalu tersebut, seringkali mendapatkan protes, cibiran, ejekan, fitnah yang mengarah pada bentuk prasangka.
Selain itu, mereka kerap menerima komunikasi buruk dengan masyarakat dikarenakan pada dasarnya, masyarakat masih belum bisa menerima kehadiran partisipasi perempuan dalam sepakbola.
Untuk menghilangkan kesan negatif masyarakat itu, para informan disebut berulang kali mengadakan kegiatan yang bersifat positif dan selalu berusaha berperilaku baik dan sopan dengan masyarakat.
Semuanya untuk meraih penghargaan dari masyarakat dan mengubah paradigma pada umumnya kalau tidak semua perempuan citranya buruk jika menjadi suporter sepakbola.
Kini zaman sudah berubah. Perlahan-lahan, suporter perempuan mendapatkan tempat di pelbagai media, baik di televisi dan pemberitaan yang lain. Mereka tanpa malu lagi berjingkrak dan berkoreo bersama dengan lelaki.
Baca juga: 23 Pemain Timnas U-22 yang Terpilih Ikut AFF 2019
Dalam sebuah wawancara dengan The Macz Girl beberapa tahun yang lalu, saya masih ingat, mereka dengan bersemangat berbicara tentang klub kebanggaannya.
Klub itu adalah PSM Makassar. Lewat wawancara yang ditemani oleh eks pentolan The Macz Man, Andi Shyam Paswah atau Coklat, Lontar membahas soal ketertarikan para perempuan tentang sepakbola.
Namanya Andi Tenri Ajeng. Kami berbicara dalam satu kesempatan di sebuah warung kopi di bilangan Jl. Cumi-cumi, Makassar. Orangnya ramah, dan tampak sekali siap dengan pertanyaan. Begitupun Coklat.
Dalam obrolan itu disebut, kalau Macz Girl lahir memang sudah agak lama. Barulah pada medio saat Alfred Riedl melatih PSM Makassar, mereka menunjukkan eksistensinya secara terbuka.
“Kalau soal pendukung sepakbola dari perempuan, khusus Macz Man lewat Macz Girl, sudah ada sejak lama. Namun, kali ini yang mudi-mudi baru muncul,” terangnya.
Memang dalam Macz Girl sendiri, medio 2015, ada banyak sekali pemudi. Baik yang masih sekolah, serta yang sedang berkuliah. Mereka yang menggemari klub bola lokalnya berlomba-lomba masuk ke sektor Macz Man.
“Jadi Macz Girl sendiri bukan sektor. Melainkan perkumpulan perempuan yang dijadikan wadah. Untuk sama-sama membesarkan nama perempuan.”
“Kita mau buktikan, kalau stadion itu bukan tempat yang angker bagi perempuan. Buktinya, kita semua (Macz Girl) bisaji nonton sepakbola dengan nyaman dan asyik,” beber Ajeng.
Baca juga: Diduga Lecehkan Perempuan, Simic Dapat Masalah di Australia
Bahkan tak tanggung-tanggung, oleh Coklat, Ajeng diberi kesempatan untuk membuktikan totalitas kecintaannya dengan menjadi dirigen suporter saat PSM bertanding.
“Sekadar untuk membiasakan, dan memperlihatkan eksistensi perempuan, kalau stadion memang sudah benar-benar aman, dan sepak bola tidak selalu identik dengan maskulinitas,” beber Coklat.
Mindset yang terbangun beberapa tahun yang lalu, menurut Coklat, memang membuat sepakbola terkesan maskulin. Para perempuan masih malu dan takut untuk menonton sepakbola.
Apalagi ekosistem di stadion, dulunya, disebut masih kurang ramah. Kini, semuanya terbantahkan. “Buktinya, para perempuan sudah tak malu lagi menunjukkan dirinya di stadion.”
“Itu makanya kami mendorong untuk membesarkan perempuan lewat Macz Girl, sebab perempuan bisa lebih ekspresif daripada lelaki,” tambahnya.
Lain hal dengan Red Gank, pendukung PSM Makassar. Suporter perempuan yang dinamai Red Gank Nona, tiap tahun kian bertambah. Kahar Madjaya, anggota Red Gank mengungkapkan hal itu.
Dulu, pada medio 2012, anggota Red Gank Nona ditaksir tak sampai 100 orang. Kini, pada 2019, para suporter perempuan meningkat hingga 300 kepala.
“Itu sudah termasuk seluruh zona dan sektor,” ujar Kahar.
Soal alasan mengapa jumlahnya berkembang signifikan, ia melanjutkan kalau para perempuan dinilai tertarik dengan euforia di stadion.
“Euforianya yang bikin mereka tertarik masuk, itu yang saya analisis.”
Baca juga: Gelap Terang Luciano Leandro
Soal apakah mereka khidmat menonton sepakbola atau sekadar jingkrak-jingkrakan, Kahar menilai kalau itu tergantung situasi.
“Kalau misalnya situasi tidak mendukung, pasti jingkrak saja, tapi kalau situasinya enak pasti kita jingkrak sambil sesekali fokus nonton pertandingan juga,” tandasnya.
Lantas dengan pelbagai bukti tersebut, apakah perempuan masih akan didiskriminasi dan dikucilkan dalam dunia sepakbola, sementara ruang eksistensi mereka makin terbuka lebar?
Semoga saja tidak.