Bagaimana kalau klub kita dimaki balik? Dituduh curang saja itu menyakitkan dan bisa bikin kita bertengkar mulut.
Jakarta, Lontar.id – Media sosial riuh. Para pengikut dan akun yang saya ikuti, banyak membahas soal mafia bola dan pengaturan skor di Liga 1 2018.
Dalam momen itu, PSM disimpan sebagai pesakitan yang menerima gempuran dari pelbagai macam untuk menerima kekalahan. Ia diciptakan sebagai klub yang terzalimi.
Saya sedih? Jelas. Klub yang saya bela, klub tanah kelahiran saya, klub yang selalu saya harapkan untuk melenggang mulus dalam kompetisi apapun, disebut telah dicurangi.
Bagaimana tidak sedih, bung. Klub andalan saya itu, isinya sudah bagus. Materi pemainnya tidak mewah amat, tapi mereka seperti punya semangat bermain yang tak kenal kendor.
Saya senang melihat pemain berjuang hingga menetes darahnya. Senang sekali. Itu artinya, ada cinta dan tanggung jawab yang mereka emban. Begitupun suporter yang selama ini terbang ke sana-ke mari. Mengikhlaskan dana dan waktunya terbuang demi kebangaannya.
Baca juga: Jika PSM Kehilangan Huruf P dan S
Masam muka kita kalau mereka sama sekali tidak bertarung. Tanpa semangat dan kekuatan, seperti tidak dibayari gajinya, tidak makan sehari, atau apalah yang biasa membuat pekerja ogah-ogahan gawai.
Lalu saat semua hal yang memberatkan mereka diterabas, datang sesuatu yang tak kasat mata, yang menghancurkan mereka dari dalam. Bak guna-guna, atau doti kata orang Makassar, mereka semua dilemahkan. Duh…
Premis itu berasal dari informasi yang sudah disemburkan para pentolan pengurus sepakbola yang tidak penting benar saya tahu namanya. Nanti ia dapat panggung lagi. Hehe.
Informasi itu bisa benar, bisa juga salah. Loh loh loh, kok bisa begitu? Saya kasih satu contoh saja, fanatisme itu membutakan dan bikin kita seperti kuda.
Kuda? Maksudnya? Iya, kuda. Kaca matanya dipakai dan cuma melihat satu hal saja. Suara dari lain hal dianggap siuran angin. Cepat hilang. Dan, “apa sih? siapa sih dia? hih! bagusan juga gue ke mana-mana.”
Apakah yang kita lihat sekarang? Pertama, mereka yang terhukum dipercaya sebagai pembawa informasi yang benar sebenar-benarnya. Hal yang harus ditanya, apakah mereka tidak bohong?
Sulit benar saya tahu bagaimana para bandit-bandit sepakbola itu bermain. Sampai di sini, ketika boroknya terbuka di tahun politik, apakah suaranya itu benar atau dipaksa untuk benar oleh perangkat-perangkat yang tiba-tiba dibentuk?
Ini yang menjadi pertanyaan saya selama ini. Fanatik itu, bung, membuat pikiran kita tidak gampang menerima kebenaran yang datang dari orang lain. Kita bebal sekali untuk masalah ini.
Barangkali untuk urusan informasi yang sudah kepalang tercekoki pada kita, kita kurang awas dengan asas praduga tak bersalah. Bung, selalu ada praduga pada sebuah kasus. Maka dari itu, berhentilah menyalahkan seseorang, apalagi status hukumnya masih tersangka.
Kita bahkan belum pernah bertanya, mengapa informasi itu begitu gampang keluar. Mengapa intrik itu mudah sekali terbaca. Mereka semua digolongi mafia, dan bukan preman gang tukang palak dekat rumah kita, yang mudah terendus praktik kriminilnya. Kok mudah begitu tertangkap?
Kedua. Jika toh suporter menyalahkan Persija dengan membabi-buta, atas dasar apa? Pernahkah Persija meminta klubnya untuk bermain curang demi piala? Saya kira tidak, bagi suporter yang lurus cara berpikirnya.
Kecuali suporter Persija yang agak miring, itu mungkin. Masa iya, klub tua macam begitu, mau saja melihat klubnya bikin intrik kotor demi piala. Ini kan tidak benar.
Lalu kita tampil sebagai pendukung yang paling heroik dan merasa klub kita paling suci. Dari premis yang tersebar, apalagi pengakuan Krishna Murti, klub kita dibesar-besarkan. Enak betul pujian itu, ya, teman-teman.
Siapkah kita dengan konsekuensi kalau klub yang kita cintai disumpaserapahi, dicacimaki, dan seluruh saudara kita para suporter PSM, diumpat dengan kalimat-kalimat kotor? Tentu saja tidak, toh, bung?
Makanya, berhentilah untuk mencaci-maki. Apa susahnya bertanya baik-baik atau diskusi dengan suporter yang klubnya sedang tersandung masalah soal mafia-mafiaan, agar permasalahan kelir?
Intinya, selalu ada potensi PSM terpuruk. Sebab, dalam industri sepakbola, tidak ada idealisme. Semua berdasar kepentingan. Kalau memang ada idealisme, sudah dari dulu Joko Driyono dan komplotannya diturunkan paksa dari PSSI.
Baca juga: Sejarah Pasukan Bainea dan Persamaannya dengan Inong Balee
Nyatanya? Mayoritas voters terkesan menerima saja, meski bejibun berita soal PSSI sarang mafia dan tersebut aktor-aktor kotor di baliknya. Apa memang voters lebih pintar dari kita-kita alias para suporter?
Waktu akan terus bergulir. Kesempatan-kesempatan untuk mengambinghitamkan PSM Makassar, berdiri tegak di depan sana. Kita tidak pernah tahu, kapan PSM kita ini akan terperosok, dan seberapa kuat mental kita untuk dihujani sampah busuk dari jari dan mulut orang lain.
Yang kita tahu, PSM itu bersih dan tidak cacat. Yang kita tahu, sepakbola adalah palagan perang yang nyata. Mau sampai kapan sepakbola nuansanya seperti konflik pilkada? Mau sampai kapan adu mulut, kemudian saling hantam, lalu saling bunuh, terus dipupuk?
Jika bung, marah. Tahanlah. Redamlah. Sebab ini cuma premis saja.