Ignas Kleden menyebutkan sastra di tingkatan tertentu melukiskan kecenderungan-kecenderungan utama dalam masyarakat. Dalam arti sadar-tidak sadar, sengaja-tidak sengaja, teks bisa saja mengungkapkan atau menutupi kecenderungan yang sedang marak di masyarakat.
Bahkan, sebuah cerita disebutkan Ignas Kleden, bisa saja menggambarkan situasi kejiwaan seorang individu, yang sekaligus menjadi metafor bagi keadaan masyarakat secara luas.
Ajo Kawir dalam novel Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas karangan Eka Kurniawan, misalnya, adalah personifikasi ketakutan masyarakat yang mengalami ”impotensi” terhadap rezim pemerintahan yang totaliter.
Lenyapnya ”akal sehat” masyarakat di hadapan negara, ditandai dari ”mati-rasanya” kemaluan Ajo Kawir pascamenyaksikan pemerkosaan dua orang polisi terhadap seorang perempuan gila.
Secara olok-olok, jika bukan metafor, tokoh polisi memerkosa perempuan gila bernama Rona Merah di awal-awal novel itu, mengandaikan suatu pemaknaan yang kurang lebih sama dengan kecenderungan umum negara memberlakukan warganya sebagai the other.
Bisa disinyalir pula nama Rona Merah dalam novel ini merupakan kata ganti yang dipakai Eka demi melukiskan sikap negara terhadap komunisme: ambivalen, intimidatif, semena-mena, dan mengolok-olok.
Sebagai perempuan, Rona Merah juga memperagakan posisi perempuan dan laki-laki dalam struktur kekuasaan masyarakat patriarkis. Dari sini, melalui perempuan gila, Eka seolah-olah mendengungkan kembali analisis Michel Foucault tentang kecenderungan negara dalam memberlalukan warganya berdasarkan tilikan episteme yang disepakati negara.
Ihwal ini pula yang menjadi dasar mengapa dalam novel ini, Rona Merah menjadi warga asing dan diasingkan dari lingkungan sehari-hari, persis seperti Foucault menerangkan relasi pengetahuan dengan disiplin atas tubuh dalam jaringan kekuasaan negara.
Bila mengikuti keseluruhan cerita Seperti Dendam-nya Eka, yang paling terang ditemukan adalah usaha Ajo Kawir dalam ”membangkitkan” kembali burungnya.
Beragam cara sudah ia lakukan, mulai dari memajang poster perempuan seksi di kamar mandi, terapi lebah, mendatangi pelacur, hingga menggosokkan cabai rawit di kemaluannya. Namun, nahas, burung Ajo Kawir tetap saja sulit ngaceng. Mati suri.
Maka, menarik mencermati tingkah jenaka Ajo Kawir yang lama kelamaan mengambil jarak dari burungnya. Penjarakan ini sekaligus memberi peluang Ajo Kawir memberlakukan burungnya sebagai subjek mandiri.
Itulah sebabnya, Ajo Kawir menganggap burungnya sebagai kawan yang layak diajak berbicara. Dalam beberapa kesempatan, walaupun ia sudah tahu tidak akan bersuara, Ajo Kawir sering mengajak burungnya berdialog.
Tapi, tanpa disadari, proses itu menjadi cara Ajo Kawir mengatasi inhibisi yang dialami dirinya. Tak dinyana, burungnya yang impoten menyebabkan dirinya mengalami lonjakan spiritualitas sampai ia menjadi orang laiknya sufi.
Sulit menolak untuk dikatakan bahwa novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas masih relevan untuk membicarakan konteks masyarakat kiwari. Suasana yang terbangun dalam novel ini seolah-olah berserdawa di tengah alam politik kebangsaan belakangan ini.
Suasana teks dengan para pembaca, dengan berhasil menjadi otonom bercerita, tanpa sekadar menjadi inskripsi pengarang, seolah-olah itu menjadi corong tempat mengasalkan suaranya.
Itulah sebabnya, teks yang telah berubah menjadi suasana dapat dilekatkan kepada keadaan kekinian, terutama bagaimana politik ibarat keadaan psikologis Ajo Kawir yang mengalami berbagai kendala akibat kemaluan yang impoten.
Selama 32 tahun alam demokrasi mengalami mati suri. Persis seperti burung Ajo Kawir. Secara alegoris itu menunjukkan hilangnya ”akal sehat” dalam kehidupan yang serba tenang dan damai. Anehnya, kehilangan akal sehat ini, justru ambivalen ketika direfleksikan kepada keadaan sekarang yang berbeda jauh dari 32 tahun silam.
Reformasi, bagi bangsa ini adalah penanda bangkitnya impotensi ”akal sehat” selama lebih tiga dekade. Sekonyong-konyong, seluruh saluran lubang diciptakan demi menyalurkan hasrat bersuara. Praktis, terbebasnya kekangan berekspresi dan bersuara—terutama dipengaruhi kemajuan teknologi media sosial— di sisi lain malah menurunkan derajat ”akal sehat”.
Singkatnya, secara kualitatif kualitas rasional ”akal sehat” kalah dari serbuan kuantitatif suara maya netizen.
Menjelang Pilpres, politik mendadak menjadi narasi banyak orang. Sampai-sampai keriuhan politik ikut menyeret filsafat dan sastra di tengah gelanggang perdebatan. Itu semua dilakukan atas nama ”akal sehat”.
Namun sayang, lantaran terlampau riuhnya alam demokrasi, kejernihan ”akal sehat” hanya menghasilkan noise dari pada voice. Habitat ”akal sehat” yang diperjuangkan filsafat dan sastra selama ini dilecehkan melalui retorika dan puisi seolah-olah banting harga.
Kedalaman ”akal sehat” dalam filsafat karena dipoles dengan cara retoris, hanya bisa mengajak orang-orang membuat suara gaduh (noise) dari pada keugaharian berpendapat (voice).
”Akal sehat” yang mempersyaratkan dialog terbuka, tidak ditemukan lantaran senantiasa menggunakan cara massifikasi yang diletupkan demi mendapatkan pengikut-pengikut—sisi negatif demokrasi.
Cara itu persis dilakukan para kaum Sophis pada masa Sokrates dulu. Ia menggunakan kata-kata bersayap agar terkesan sophisticated, tapi sebaliknya tidak mencerahkan sama sekali.
Sementara puisi dan doa—seperti dilakukan Fadli Zon dan Neno Warisman—belakangan ini hanyalah gimmick, tinimbang suara hati yang bisa menggugah ”akal sehat”.
Puisi-doa elit partai ini sama halnya kaum Sophis, menipu dan berkepentingan. Ia tidak lahir dari permenungan panjang seperti sastrawan mengalaminya, melainkan datang dari kepraksisan politik yang penuh saling sikut.
Pseudo-filsafat dan pseudo-sastra yang diperagakan belakangan ini sudah pasti bukanlah asal dari mana voice itu bakal datang. Sebab mereka tidak sama sekali mewakili siapa-siapa.
Di dalam suara gaduh yang mereka ciptakan, malah sebaliknya mengimpotensi peluang masyarakat menemukan ”akal sehatnya” kembali. Ibarat Ajo Kawir, nyatanya ”akal sehat” bangsa ini belum benar-benar merdeka.
Syahdan, jika politik bukan wadah ”akal sehat” merekah, lalu di mana dan siapakah yang bakal membayar tuntas ”akal sehat”, hingga pungkas?
Tulisan ini ditulis oleh Bahrul Amsal, Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Teknologi Sulawesi.