Indonesia bisa juara tanpa pemain asing sama sekali di AFF U-22 2019 kemarin. Kabar baik untuk sepakbola kita.
Jakarta, Lontar.id – Kemarin publik Tumpah Darah sempat was-was kalau Indonesia ditahan imbang saja. Itu belum kalah loh. Sebab, memang niatnya kita harus juara.
Gol pertama yang dilesakkan pemain Thailand lewat sundulan, sempat bikin saya sendiri patah aral. Dalam hati saya bilang, kita kalah lagi di final.
Tetapi waktu belum habis. Saya salah. Saya benar-benar keliru soal menggebu-gebunyanya optimisme pemain muda yang dimiliki Indonesia, saat bertarung melawan Thailand.
Gol Sani Rizki, membuka mata saya kalau tropi juara masih ada di depan mata publik Indonesia dan tinggal sedikit lagi diboyong serta diajak foto dan dicium-cium sama sembarang lelaki keringatan.
Gol Sani itu bagus. Skema permainan sewaktu anak asuh Indra Sjafri kebobolan juga tak berubah. Jika saya bisa berbicara, mentalnya benar-benar sudah sampai taraf VIP alias tak gampang goyah.
Setelah tertinggal, lini tengah Indonesia makin hidup dan seperti dipecut. Aliran bola pemain tengah menuju ke pemain depan sulit sekali untuk dibendung.
Lihat saja skema serangan sewaktu Sani belum melepaskan tembakan dan masih menggiring bola dari sayap kiri. Pemain tengah Indonesia dan pemain depan maju ke depan dan mencari posisi terbaik.
Saking percaya dirinya, Sani langsung melepaskan tembakan yang keras dan terarah ke sudut kiri gawang Thailand. Ternyata, tembakan itu mengenai pemain belakang Thailand.
Saat terpantul, kiper Thailand sudah cukup sulit untuk mengatur posisi badannya secara konstan dan menggamit bola yang liar. Kiper Thailand mati langkah saat itu. Gol. Sorakan bergemuruh pada menit 58.
Baca juga: Untuk Bung, Kawanku yang Menjadi Suporter PSM Makassar
Tak lama berselang, Indonesia terus-terusan menggempur pertahanan Thailand. Tak seperti yang saya lihat pada laga-laga selanjutnya, Thailand seakan tak bisa berkutik untuk menghentikan pemain-pemain Indonesia mengembangkan permainan.
Di sini, saya lihat Thailand sudah kalah kelas. Mungkin kau juga berpikir sama denganku. Dari sisi kanan, umpan dari Luthfi Kamal disundul oleh Osvaldo Haay. Gol kedua tercipta.
Begitulah hingga babak kedua berakhir, tak ada yang memikat dari permainan Thailand selain tertekan habis-habisan dengan skuat Garuda Muda yang diampu Indra Sjafri.
Saya atau bahkan kita boleh beranggapan kalau Indonesia tidak sedang dalam masalah apa-apa dalam sepakbola mudanya. Tim senior malah, yang kerap mengecewakan.
Pekik revolusi mental yang digaungkan Bung Besar kita, Soekarno, haruslah diingat-ingat. Apakah mental kita akan selamanya mesti bergantung dengan kekuatan asing, jika memang kita bisa berdiri sendiri?
Pada hari-hari sesudah ia berbangga kalau tanahnya sudah merdeka, Bung Besar kita berpidato di Jakarta, pada 17 Agustus 1957. Pidatonya dinamai Satu Tahun Ketentuan (A Year of Decision).
Secara garis besar, Bung Karno ingin bangsa ini berhenti untuk mendaku dirinya adalah bangsa yang lemah. Berhenti untuk berpikir, kalau kita semua bangsa terbelakang dan terjajah.
Revolusi mental, katanya, adalah bergerak maju selangkah dari hari kemarin. Berpikir ulang, menimbang-nimbang, menajamkan visi dan misi negara, kemudian melaksanakan kata-kata itu seperti yang disampaikan Rendra dalam puisinya.
“Kita sekarang ini berada dalam tingkatan kedua daripada Revolusi, yaitu tingkatan nation-building. Tingkatan pertama daripada revolusi kita, ialah tingkatan memecahkan belenggu, tingkatan pemerdekaan, tingkatan liberation.”
“Nation-building membutuhkan bantuannya revolusi mental! Karena itu, adakanlah revolusi mental! Bangkitlah! Ya! Bangkitlah, bangkit dan geraklah ke arah pemulihan jiwa. Menyadari kembali cita-cita nasional, menyadari kembali cita-cita sosial, menjadi manusia baru.”
Ada satu masukan dari Bung Karno untuk terus menatap timnas Indonesia lebih baik lagi. Apa itu? Katanya ya, untuk menjalankan revolusi mental, harus dijalankan Gerakan Hidup Baru.
Program itu mengentaskan rakyat Indonesia dari buta huruf. Gerakan ini juga mengajak semua manusia Indonesia agar selalu menjunjung tinggi gotong-royong, menjalani hidup dengan sederhana, sehat dan bersih.
Ini sebuah ajakan yang sama sekali tidak sesederhana untuk ditulis. Mengapa? Sebab kita semua belum berani mendorong dan memberi masukan ke PSSI untuk merenovasi pikiran kolot pemimpinnya.
Apa itu pikiran usangnya? Tidak lain adalah, terlalu membesarkan pemain naturalisasi, bahwa ia lebih baik dari pemain-pemain asli tanah Ibu Pertiwi. Itulah yang dianggap kemewahan dari sebagian orang.
Baca juga: Memaknai Siri’ Lewat Pujian Krisnha Murti Terhadap PSM
Saya atau bahkan kita paham, watak industrialisasi sepakbola memang rentan untuk membunuh karakter pendahulu kita. Nilai jual klub atau biar dianggap bergengsi dan menarik sponsor, maka digaetlah pemain asing.
Memang itu perlu. Sangat perlu malah. Tulisan ini tidak naif-naif amat untuk menolak pemain asing. Selama ia baik dan bisa membawa Indonesia maju, mengapa tidak?
Sampai di sini, kita perlu benar berguru pada Indra Sjafri. Cara menanamkan Gerakan Hidup Baru yang barangkali diubah namanya olehnya, untuk membesarkan kita semua di mata Asia. Kita bisa tanpa pemain asing.
Semoga program ini dirasa dan cepat digaungkan tuan-tuan pembesar PSSI kita, kalau ini kabar yang memuaskan dan bisa dipraktikkan sedini mungkin agar kita bisa melepas dahaga juara di Asia.
Jangan sampai, Indra Sjafri tersisih oleh waktu atau sengaja disisihkan demi kepentingan yang lebih besar. Saya tidak bisa membayangkan kalimat Pak Harto sebelum lengser keprabon, juga dituturi Indra Sjafri.
“Saya ingin memastikan Indonesia aman saat saya mundur. Saya cuman mau bilang, tidak mudah memimpin negara ini.”
Lalu maukah timnas Indonesia senior mempraktikkan teori Bung Karno dan Indra Sjafri sedini mungkin? Bahwa Garuda Muda bisa tanpa pemain asing sama sekali.
Bung! Revolusi mental itu nyata dalam dunia sepakbola.