Jakarta, Lontar.id – Ayah dari Kota Makassar, anggap saja bekerja sebagai gubernur, atau wali kota, atau pemimpin negara, atau siapa saja politisi-politisi mapan yang kaukenal, dibuat pusing karena tak mampu membeli sepatu baru merek Stadion Barombong untuk anaknya.
“Nak, sepatumu itu, Stadion Mattoanging, masih bisa dipakai. Jangan lihat tampilannya. Solnya belum bolong, kan? Pakailah dulu, meski kulitnya robek, masih bisa ditambal kan? Abaikan kawan-kawanmu.”
Jika Kota Makassar, asal dari klub sepak bola PSM itu bisa diberi ruh atau nyawa, barangkali ia murung.
Ayah dari Makassar senang berdagang dan pergi jauh dari dirinya sendiri. Ia melanglang buana ke mana saja. Melihat rumah tangga orang lain.
Ayah dari Makassar selalu berbangga diri kalau ia lebih dari cukup dan lebih baik dari orang lain. Suatu ketika, di acara pelaminan, ayah dari Makassar mendabik dada kalau ia penderma untuk calon mantu saudaranya.
Baca juga: I Lagaligo dan Islamisasi Sastra Bugis
“Aku hendak lebih baik dari tetangga kita. Keluargaku lebih baik daripada keluarga mereka. Buktinya, aku memberi mahar yang besar untuk acara pernikahan ponakanku, sementara keluarga yang lain tidak sama sekali.”
Ayah Makassar ingin menunjukkan pada dunia, kalau ia adalah pejantan yang tangguh. Pamornya tak boleh turun cuman karena ia tak mampu membayar katering dan hotel. Ayah Makassar menganggap itu adalah simbol harga diri.
Di kursi-kursi tamu pelaminan, ia dapat tepukan tangan yang meriah, setelah memberi petuah nikah anak saudaranya. Ayah Makassar masuk koran. Fotonya ada di mana-mana, bahkan di halaman pertama sebuah surat kabar terkemuka. Ayah Makassar jadi pergunjingan tetangganya.
Ayah Makassar juga mencintai revolusi industri. Ia menciptakan sebuah gedung yang mengisap matahari di Losari. Seperti vacum cleaner. Hebat bukan? Setiap Maghrib, gedung buatan Ayah Makassar menyedot suara dan mata tetangganya, dan seperti biasa: digunjingkan.
Ayah Makassar juga sangat mencintai film percintaan. “Film action itu mengajarkan sebuah kekerasan. Kekerasan tidak diperbolehkan dalam film. Ayo, berontaklah demi menutup film itu turun dari layar bioskop, agar kita semua tahu, kita adalah orang-orang yang penuh cinta dan kasih sayang dan cinta damai.”
Baca juga: Tuntut PSM untuk Introspeksi, Bukan Menang Melulu
Kemudian Ayah Makassar tenar lagi. Banyak rumah tangga iri dengan Ayah Makassar. Ayah Makassar memang pandai bersiasat dan mengutarakan perasaan-perasaanya yang tak mampu ditebak.
Di sebuah warung sop konro dekat Karebosi, di dalam sebuah tenda dan di atas kursi kayu yang panjang. Orang-orang bercerita ihwal patung macan sepak bola yang membesarkan Ayah Makassar, dirobohkan. Nama macan bola itu adalah Ramang.
Ayah dari kampung lain, sampai mengkerut dahinya karena Ayah Makassar dikira sudah lupa pada siapa yang membesarkannya. Mereka bertanya-tanya, apakah Ayah Makassar itu ingin mengikuti Malin Kundang? Naudzubillah, nanti ia dikutuk jadi batu.
Lalu Ayah Makassar lagi-lagi masuk koran. Pergunjingan itu sampai di telinga Ayah Makassar. Tahu begitu, juru tulis menanyainya dengan pertanyaan yang cukup telak. “Mengapa Anda merobohkan patung Ayah Anda?”
Ayah Makassar menjawab, “Ayahku tetap di hati. Patungnya lebih baik dipindahkan, karena di tempatnya akan dibangun pusat belanja. Patung tetaplah patung bukan? Ayolah, aku lebih paham sejarah dari pada kalian.”
Lama-kelamaan, Ayah Makassar makin melupakan siapa-siapa yang membantunya sewaktu keluar dari rahim ibunya. Ayah Makassar tak ingat, siapa yang memberinya popok, siapa yang menyusuinya, dan siapa yang menyekolahkannya.
“Barangkali aku sudah pikun. Tapi, kok aku tahu kalau aku ini pikun? Aduh, berpikir itu sulit ya?” Itulah senandika Ayah Makassar, setiap hari di atas tempat tidur yang empuk, sebelum ia minum obat penenang yang membuatnya melupakan satu hal penting setiap hari.
Baca juga: Kalender Seksual dalam Serat Centhini
Lama-lama Ayah Makassar mendapat kabar, kalau anaknya dirisak di sekolahnya. Baru saja, Ayah Jakarta, tetangganya di sebelah rumahnya, membeli sepatu untuk Jakarta, mereknya stadion BMW. Sepatunya bagus. Ayah Kalimantan juga.
“Huu, dasar Makassar, punya sepatu butut. Ayahmu kan hebat, mengapa tak menyuruhnya membeli sepatu sih? Lihat nih, kita dibeliin ayah kita sepatu baru. Seharusnya kamu itu minta sama ayah kamu, Makassar,” ujar Jakarta pada Makassar yang memamerkan kemegahannya.
Kata-kata teman Makassar di sekolah itu, sungguh mengguncang batin Makassar. Makassar sampai tidak bisa makan. Di kamar, ia mengurung diri. Pembantu-pembantunya sudah berbicara pada legislator-legislator soal bagaimana cara agar Makassar mau makan. Sebab di televisi, legislator pandai memberi masukan.
Tetapi, legislator-legislator itu setelah diberi tahu, hanya menjawab, “Sebentar, saya akan jawab pertanyaanmu itu, wahai pembantu Makassar.” Pembantu Makassar mengangguk-angguk.
Setelah makan siang, legislator tak kunjung menjawab. Mereka tertidur lelap, setelah makan di kantin yang hampir bangkrut karena mereka sebenarnya belum punya uang. Alhasil, mereka berutang dan berjanji membayar setelah gajian.
Sampai pada waktu yang tak ditentukan, pembantu-pembantu Makassar tak lagi ingin berkeluh kesah pada legislator. Ia capek. Kerjaan legislator cuma tidur setelah mendengar keluhan-keluhannya.
Pembantu-pembantu Makassar langsung melapor pada Ayah Makassar. Ayah Makassar mengerti. Ayah Makassar tidak marah, karena Ayah Makassar paham, sifatnya baik dan tidak kasar.
Akhirnya, Ayah Makassar punya inisiatif untuk memanggil Makassar dan menyuruhnya untuk keluar kamar. “Ayo, Nak. Sudah beberapa hari kamu tidak makan. Apa kamu tidak lapar?”
Baca juga: Ihan Bumbu Andaliman, Makanan Batak yang Harus Dilestarikan
“Aku akan makan, kalau Ayah mau membelikanku sepatu baru!”
“Baiklah, Nak. Kalau begitu, ayo keluar. Aku menyiapkan makanan untukmu.”
“Makanan apakah itu, Ayah?”
“Makanan khas keluarga kita. Simbol keluarga kita.”
“Apa itu?”
“Baklave.”
Akhirnya Makassar keluar kamar dengan semringah meski bibirnya pucat karena tidak makan selama sehari. Makassar sedang puasa tampaknya, namun Makassar enggan bercerita pada ayahnya, sebab ia takut dirinya jadi riya.
Dengan lahap, Makassar, Ayahnya, dan pembantu-pembantunya makan sekardus baklave. Ada pelbagai macam varian rasa. Enak betul penganan itu.
Baca juga: Misteri Panglima Burung di Kalimantan
“Para pembantuku yang baik, masih ada beberapa kardus baklave di dalam lemari. Kalian ambil saja, dan bawa untuk anak kalian. Biar mereka senang. Jika ditanya, buah tangan dari siapa, bilang saja dari Makassar.”
Makassar tersenyum sambil memeluk ayahnya. Ia berterima kasih, kalau ayahnya sudah sangat perhatian. Pembantu-pembantunya juga. “Terima kasih Tuan. Akan kusampaikan pada anak-anak, kalau ini adalah oleole dari Makassar.”
Di hadapan pembantunya, ia berdiri dan mengelap mulutnya pakai sarung tangan putih. Ia berujar dengan mantap pada Makassar. “Makassarku sayang, hari ini kita akan beli sepatu. Apa kamu senang?”
“Serius? Wah, Alhamdulillah. Kalau begitu, akan kuberitahu temanku jika Ayah akan membelikanku sepatu baru. Sekalian kupanggil teman-teman wartawan untuk mengabarkan kabar bahagia ini.”
“Silakan, Nak.”
Baca juga: Bambu Gila, Tarian Mistis yang Diberi Mantra
Tak butuh waktu lama, di hadapan para wartawan, Ayah Makassar bilang, kalau ia akan membeli sepatu baru untuk anaknya.
“Bukannya aku miskin, tapi aku membiasakan Makassar untuk hidup sederhana. Sepatunya memang sudah butut, tapi Makassar masih bisa memakainya.”
“Teman-temanku para pewarta. Kini, Aku akan membeli sebuah sepatu untuk Makassar. Mereknya Stadion Barombong. Aku sudah mempersiapkan segalanya untuk itu. Aku tak ingin anakku mati kelaparan karena dicemooh oleh teman-temannya.”
Usai bercengkrama, para pewarta pulang dan menulis dengan baik. Semua pesan dari Ayah Makassar tersampikan dengan lugas dan bernas.
Hari itu juga, Ayah Makassar dan Makassar, pergi berkendara malam naik kendaraan pintar untuk membeli sepatu. Namun sayang, di jalanan, macet sudah berjam-jam karena jalanan makin sempit setelah produksi kendaraan meningkat.
“Kita pulang saja dulu, ya. Biar kita pesan online saja sepatunya. Lihat saja kemacetan sekarang, Nak. Ini sungguh menjengkelkan.” Ayah Makassar sudah lelah di jalanan.
“Ini juga bisa menjadi alasan, kalau sebaiknya aku jangan dulu memberikan sepatu baru untuk Makassar,” Ayah Makassar membatin. Ayah Makassar putar haluan.
Sampai di rumah, ia memberi penawaran untuk Makassar. “Bagaimana kalau kita melebarkan jalan saja dulu, Nak? Biar kita berdua bisa pergi membeli sepatu dengan cepat untukmu.”
Baca juga: Mencintai Agama Mencintai Jakarta
Makassar setuju. Itu adalah ide yang bagus. “Tapi janji ya, Ayah. Nanti, kalau jalanannya sudah diperlebar, Ayah belikan aku sepatu. Aku iri dengan teman-temanku soalnya.”
“Iya, Nak.”
Sudah tengah malam. Waktunya ia minum obat tidur. Sebelum terlelap, ia berdoa, “Semoga aku bisa memberi sepatu buat Makassar. Semoga aku tidak lupa pada diri sendiri. Semoga aku tidak lupa kalau aku punya anak. Semoga. Semoga. Semoga.”
Pagi datang dengan cepat. Di depan kamar ayahnya, Makassar berdiri dengan gagah bersiap ke sekolah. “Ayah, apa Ayah mau membelikan aku sepatu?”
“Tunggu, Nak. Apakah Ayah pernah menjanjimu sebelumnya?”
Sekujur tubuh Makassar getir. Sejak saat itu, Makassar tak ingin malam menjalar di mata ayahnya. Makassar tak ingin ayahnya tertidur. Namun, itu hal yang mustahil. Sebab ayahnya adalah manusia biasa yang butuh istirahat.
“Aku takut menjadi anak yang durhaka,” ujar Makassar dalam hati. Ia tersenyum di hadapan ayahnya yang baru saja melupakan sesuatu hal yang penting dalam hidupnya.