Jakarta, Lontar.id – “Saya lomboki mulutmu kalau sampai kau keluar sebentar malam. Belajarko!” Dalam bahasa Makassar, kalimat ini sungguhlah keras. Digertak sedikit, nyali saya ciut. Kakek mendidikku memang keras dan berdampak sampai sekarang.
Gertakan, cubitan, dan pukulan kerap memborondong tubuh saya secara bertubi-tubi. Perlakuan ini lantas tak membuat diriku cengeng. Belakangan aku tahu, itu pola pendidikan yang pas pada anak seusiaku bahkan yang jauh sebelumku.
Di dalam langgar, praktik kekerasan juga kerap terjadi. Aku, jika mengaji dulunya, kerap dihantam sebilah lidi kalau salah dalam menyebut ayat suci atau bermain-main sewaktu mengaji. Ada juga istilah diepe’.
Kupikir, dunia ini tidak begitu menarik lagi, karena setiap kesalahan harus diselesaikan dengan cara dihajar atau bentuk kekerasan lain. Orangtua dan keluargaku menyayangiku. Wujud kekerasan, menurut mereka, adalah bentuk lain dari bahasa kasih sayang.
Logikanya, ia tidaklah akan membunuhku kalau aku berbuat salah. Hanya diperangati untuk tidak keliru dalam hal yang sama pada kemudian hari.
Sampai pada satu saat, aku harus mengerti kalau pendidikan macam begitu harus dihentikan atau dikurangi. Aku terlalu banyak kasihan pada adikku, jika berbuat salah, maka harus aku hajar dan meninjunya karena menyimpang dari norma yang sudah disepakati dari komune kecil yang kita telah bangun.
Aku tidak ingin adikku merasa apa yang kurasa sewaktu aku kecil, lagipula tak baik menjadi kakak yang otoriter dan berwajah garang. Anak-anak kecil jadi tidak ekspresif jika sudah begitu. Anak-anak tidak bisa menyampaikan pendapatnya dengan lega serta jujur.
Wajah anak sekarang memang masih lugu dan polos. Tetapi bukan berarti kita harus terus menerus memberikannya pemakluman. Aku tidak mengerti pada anak-anak bajingan yang berkeliaran di luar sana, yang meneriman kebebasan yang terlalu luas, maka melakukan hal yang semena-mena.
Tunggu, jangan bicara soal perlakuan amoral dulu pada pengendara motor yang pulang malam. Dalam dunia pendidikan saja, mereka sering meresahkan dan mengundang emosi jiwa dari sikap yang ditunjukkannya.
Buktinya adalah, saat perlakuan brengsek yang dilakukan seorang murid pada gurunya di Makassar. Bayangkan, bersama orangtuanya, ia mengeroyok gurunya. Apa salah gurunya? Lagipula guru itu bukanlah sesosok musuh yang harus dikalahkan atau dibasmi di medan pertarungan.
Jika perlakuan kayak begitu saja dimaklumi, bagaimana dengan perlakuan yang lain? Kerap aku bertanya-tanya dalam satu kesempatan, apa yang salah dari kita? Mengapa kita harus memaklumi perbuatan keji macam begitu? Jika kita tidak boleh membalas, maka biarkan hukum yang berbicara. Ini amoral.
Dalih hukum dan perlindungan anak selalu membawa pandangan bahwa nanti, kalau anak itu dihukum, maka masa depannya akan buram. Seorang anak haruslah diperhatikan pula masa depannya jika sudah begini.
Jika boleh bertanya, apa sudah ada data bahwa kekerasan pada anak yang dilakukan seperti orang tuaku dulu, membuatku menjadi buruk muka dan masa depan? Tidak. Jika mereka bilang, dalih ketakutannya itu benar-benar ada dan terbukti, mana data konkretnya?
Negara ini, Indonesia, terlalu sering bermain ilusi. Ilusi negara Islam, ilusi komunisme, dan ilusi-ilusi lainnya. Belajar seharusnya dibimbing, bukannya dilarang. Kita sebaiknya harus punya seorang atau banyak, untuk mengontrol sikap kita, jika bahasa hukum impor dari Belanda itu sulit dimengerti.
Potensi anak-anak untuk berbuat beringas karena dilindungi aturan yang ketat bisa menjadi buah simalakama. Kita semua bingung. Apa pasal? Dikerasi, orangtua atau guru bisa dilapor polisi. Anak yang keras pada orangtua dan gurunya, maka bebas dari hukuman dan dilindungi.
Pertunjukan macam apa ini? Mengapa media kita sangat jarang menyosialisasikan bagaimana bentuk dan tubuh hukum yang disepakati Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan negara, bagi anak-anak? Begitu banyak anak brengsek yang melenggang bahagia, dan orangtua yang bajik kemudian dinilai jahat, karena mencubit atau memukul seorang anak.
Terlalu banyak pemakluman di negara ini, sampai kita lupa, bahwa Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada periode 1966-1977, membuat satu keputusan berani untuk melawan anak bajingan.
Berita Kompas, 5 November 1971, mewartakan seorang siswa yang tidak lulus, bersama beberapa tukang pukul berambut gondrong, memukuli gurunya sampai cidera.
“Guru berinisial RSP itu tidak dapat melarikan diri karena diancam dengan golok,” tulis Kompas dalam medio itu.
“Maka, tentu saja saya turun tangan langsung. Tidak bisa keadaan begitu dibiarkan berkepanjangan,” ujar Ali dikutip dalam otobiobiografi Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH.
Saking semangatnya Ali, ia segera memerintahkan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, mengusut tuntas kasus tersebut. Selanjutnya mereka bekerja sama dengan polisi.
Dia juga mengimbau para guru untuk mengadukan setiap penganiayaan yang dialami mereka. “Telepon gubernur, jika ada guru dipukuli murid,” tulis Kompas.
Bahkan guru saat itu, mendapat bekingan penuh dari Ali kalau ada murid yang macam-macam di sekolah dan kurang ajar pada gurunya. Tidak bisa dibayangkan apabila guru takut pada murid.
Bagi Ali, guru harus dihormati oleh murid-muridnya, orangtua murid, dan masyarakat. “Laporkan saja kepada saya jika ada yang menghalang-halangi tindakan para guru. Saya akan bereskan! Ini sudah merupakan konsensus saya dengan Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo,”seru Ali saat itu.
“Tak ada pilihan lain selain daripada menegakkan kembali wibawa guru. Hanya orang tua yang bodoh, yang tak tahu diri yang selalu membela anak-anaknya yang jelas tidak benar.”
“Saya tak ada kompromi lagi. Setiap anak yang melanggar hukum akan ditindak,” tegas Ali.
Alhasil, sebab kerja sama Ali dan Kapolda Metro Jaya, Brigjen Widodo, sesuai informasi yang tertera pada Kompas, 6 November 1971, siswa SMA Filial di Rawasari berinisial T yang memukul gurunya, telah ditahan dan akan diproses secara hukum.
Setelah kejadian itu, dibentuklah POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) di Jakarta. “Setelah saya menunjukkan sikap tegas begitu, meredalah dan turun jumlah kejadian kenakalan anak-anak sekolah itu,” pungkas Ali.
Kali ini bukanlah kekerasan murid ke guru. Kini, kekerasan pemudi pada pemudi lainnya di Pontianak. Kasus ini benar-benar bikin hati terkoyak dan ngeri. Maaf saja jika kronologinya tak kutuliskan di sini. Audrey dikeroyok 12 orang siswi SMA karena persoalan lelaki.
Dilansir dari berita yang beredar, kakak sepupu korban adalah mantan pacar pelaku. Entah bagaimana, pelaku kemudian emosi dan bersiasat untuk menghajar Audrey yamg masih SMP. Menurut Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, komentar di media sosial pemicunya.
KPPAD berharap, persoalan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan, karena dengan adanya proses hukum, maka akan memberikan dampak pada kemudian hari kepada anak di bawah umur.
Secara insting, hukuman keras memang bisa menimbulkan masalah baru dan dendam. Aku percaya itu. Kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Lantas bagaimana caranya, jika kekerasan sudah melewati ambangnya, lantas masih harus dimaklumi? Apa efek jera yang patut para pelaku terima?
KPPAD punya anggaran besar untuk belajar bagaimana cara agar anak-anak berhenti meremehkan kejahatan. Kejahatan tetaplah kejahatan. Tidak baik diremehkan. Kita semua harus berhati-hati untuk mencegahnya. Lalu apa setelah perdamaian dilakukan?
#JusticeForAudrey kemudian mengemuka di media sosial. Menurut khalayak, sudah sepatutnya pelaku pengeroyok Audrey dihukum. Audrey sudah cedera berat. Ini sudah masuk kejahatan yang tidak ringan, dan soal berat atau tidak, bisa jadi perdebatan setelahnya.
Kita sendiri masih akan berdebat soal hukum ihwal anak. Hanya akan berdebat. Sebab kita semua masih bingung. Kekerasan akan melahirkan kekerasan yang baru. Bisa juga tidak. Hukum yang adil bisa membuat orang takut melakukan hal yang sama. Begitu logikanya.
Lantas jika tidak diberi hukum setimpal, akankah kejahatan tidak lahir di tempat lain dengan modus yang sama? Bisa iya, bisa tidak. Jangan sampai akan ada Audrey yang lain. Sementara pelaku, bisa dengan enteng katakan: lakukan saja. Toh, kalau dilakukan, akan ada atur damai. Kita tidak akan dipenjara, karena masih ada KPPAD.
Jangan sampai kita membela yang benar-benar salah dan akan melahirkan kesalahan baru dari apa yang kita perbuat. Inti dari keduanya adalah mencari jalan keluar yang kurang mudaratnya. Tetapi apa boleh dikata, kita semua masih berdebat soal kebingungan. Satu mengasihani pelaku, satunya lagi mengasihani korban. Kesempatan berbuat jahat kian terbuka lebar, karena ada celah hukum untuk lolos.
Baca pandangan terbaruku soal Audrey, di sini.