Jakarta, Lontar.id – Sebab kasus Audrey, anak Pontianak, sudah menjadi santapan media, saatnya barangkali kita harus bersikap. #JusticeForAudrey atau keadilan bagi Audrey yang masih berumur 14 tahun, yang masih berseragam SMP, harus terus digaungkan. Ini lanjutan dari esaiku sebelumnya.
Pemangkukepentingan harus disentak, bahwa ada sikap yang keliru pada mereka. Atur damai bukan jalan yang pas untuk Audrey. Secara serius, ini di luar dari moralitas yang bisa diatur sedemikian rupa di meja keluarga.
Bukan apanya. Pengeroyokan Audrey sudah jelas diatur, jauh dari hari-hari menyedihkan yang dialami Audrey sekarang. Tubuhnya lebam. Kronologinya penyiksaannya sangat pedih jika dibaca. Kejahatan ini terstruktur. Lagipula, siapa kira-kira yang bilang kalau perbuatan pelaku bukan kejahatan?
Kita boleh saja beranggapan, kalau permaafan adalah jalan keluar yang paling baik. Keluarga Audrey lebih tahu, bagaimana harusnya pelaku bertanggung jawab. Kita adalah orang-orang luar yang cuma bisa menyikapi kasusnya.
Bahkan jika kasus Audrey nantinya akan ditutup dengan kata maaf, setelah kita berusaha untuk menyeret pelakunya agar dihukum setimpal, tidaklah masalah. Namun, apakah hukum harus selamanya tidak jelas dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hanya bisa mencari jalan tengah saja dengan kata maaf pada Audrey-Audrey yang mungkin akan muncul setelah ini?
Tidakkah KPAI atau Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar berpikir, bahwa manusia yang tergolek lemah butuh bantuan hukum yang tegas bagi pelaku pengeroyoknya? Mengapa yang dipikirkan adalah pelaku dan bagaimana korban dan pelaku saling menerima saja seperti tidak sedang terjadi apa-apa?
Sejarah Indonesia dipenuhi dengan kekerasan. Baik itu dilakukan para elite dan pelbagai lapisan masyarakat hingga paling bawah. Kita semua tidak sadar, bahwa mengutuk tidak selamanya baik, daripada bergerak masif membangunkan penguasa yang tidur kalau kebijakan yang ia buat jadi tanda bahaya.
Satu contohnya, Soekarno dan Soeharto dulu banyak dihujat. Soeharto dibilang penjagal, antek asing, dan korup. Ia tidak tumbang saat dihujat. Pemuda-pemudi saat itu bersatu untuk mengubah sistem dan mengkritiknya habis-habisan. Soeharto jatuh.
Begitu sejarah Indonesia dipertontonkan untuk kita sekarang belajar. Lantas apa hubungannya dengan kondisi di atas? Buka mata lebar-lebar dan lihatlah bagaimana jalan keluar atas kasus pengeroyokan Audrey yang dilakukan KPAI.
Di Instagram sendiri, kita bisa melihat kekerdilan sesama kita begitu vulgar. Terduga pelaku dihujat dan diviralkan melalui hashtag #JusticeForAudrey. Omong-omong, yang tersebar di dunia maya, benarkah itu pelakunya? Jangan sampai kita semua gegabah, dan kepalang menghujat, lalu mematikan masa depan orang lain.
Kita semua bahkan tidak sadar, kalau seakan-akan itu adalah jalan keluar yang paling baik dari semuanya. Mengapa kita tidak mengumpulkan kekuatan untuk mengubah dan memberi tahu penguasa kalau hukum buatannya itu merugikan banyak pihak.
Ada semacam kengerian yang makin hari makin bertambah, setelah banyak sekali video yang beredar, tentang bagaimana senior-senior di sekolah memukuli adik kelasnya. Anak lelaki, juga anak perempuan, tak luput dari serangan.
Kita semua memviralkannya, mengintimidasi pelaku kekerasan, tapi lupa bahwa hal begitu harus diselesaikan secara hukum. Tangan-tangan mulus tak baik dikotori dengan cara barbar. Atau memang pemangkukepentingan kita sengaja memelihara kekerasan?
Aku kasih contoh, bagaimana keharuan kita yang kerap dimanfaatkan media dan menjadi ceruk pasar tersendiri bagi pebisnis, tidak berlaku di Amerika. Di sana, hukum tetaplah hukum, meski banyak juga bolongnya.
Suatu ketika, seorang pria Muslim di Amerika Serikat (AS), ayah dari kurir pizza yang tewas dibunuh, mengampuni dan memeluk Trey Alexander Relford.
Seorang pria muslim itu bernama Abdul Munim Sombat Jitmoud. Adegan itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Meski begitu, meski mengharukan kelihatannya, hukuman 31 tahun penjara dijatuhkan pada terdakwa.
Terdakwa pun menangis, sebab ayah dari korban yang ia bunuh, memeluknya dan memaafkannya. Jitmoud mengatakan, bahwa dia melakukannya dengan semangat Islam.
”Islam mengajarkan, bahwa Tuhan tidak akan bisa memaafkan seseorang sampai orang yang dianiaya mengampuni orang itu (penganiaya),” kata Jitmoud kepada WKYT, media afiliasi CNN.
”Pintu kesempatan bagi Tuhan untuk memaafkannya terbuka. Jadi, jangkau Dia. Anda memiliki babak baru kehidupan baik yang akan datang,” katanya kepada Relford.
Pada bulan April 2015, putra Jitmoud—Salahuddin Jitmoud—sedang mengirim Pizza Hut terakhir. Anak Jitmoud bekerja sebagai kurir makanan cepat saji tersebut.
Namun, korban dirampok dan ditikam hingga tewas di sebuah kompleks apartemen di Lexington, Kentucky. Jasadnya ditemukan tergeletak di sekitar kompleks. Tiga orang ditangkap dalam kejahatan tersebut.
Namun seorang juri atau hakim hanya memilih untuk mendakwa Relford. Pejabat mengatakan, Relford merencanakan perampokan tersebut, namun dia menolak tuduhan membunuh Jitmoud.
Relford dijatuhi hukuman 31 tahun penjara setelah mengaku bersalah. Di situlah Jitmoud mengatakan kepada Relford bahwa dia memaafkannya atas nama Salahuddin dan ibunya yang meninggal dua tahun sebelumnya.
”Sudah dua tahun tujuh bulan menderita disertai banyak mimpi buruk,” kata Jitmoud kepada CNN. ”Apapun yang terjadi padamu berasal dari Allah. Biarkan orang percaya menaruh kepercayaan mereka kepada Dia.”
Relford yang mendapat maaf dan pelukan lembut dari ayah korbannya tidak bisa berkata banyak. ”Tidak banyak yang bisa saya katakan. Saya minta maaf tentang apa yang terjadi hari itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikannya pada Anda,” ujarnya.
Jitmoud mengaku tidak menyalahkan Relford. ”Saya marah pada setan, yang menyesatkan Anda dan menyesatkan Anda untuk melakukan kejahatan yang mengerikan,”
”Saya tidak menyalahkan Anda. Saya tidak marah pada Anda. Saya memaafkanmu.”
Jitmoud mengatakan bahwa dia lebih sering membaca Alquran untuk menemukan kedamaian. Setelah dijatuhi hukuman, Jitmoud mengatakan bahwa dia berbisik ke telinga Relford.
“Lakukan perbuatan baik saat keluar dari penjara,” katanya.
“Yakinlah bahwa Allah mengampuni.”
Contoh di atas bukan soal agama apa yang dominan mengajarkan kasih sayang. Bukan. Maaf bahkan terbuka luas untuk siapapun yang yang bersalah. Tetapi membiarkan hukum takluk dengan maaf, adalah hal yang berbeda lagi.
Sebaiknya, mari kita terus menyebarkan kisah di atas. Permaafan boleh saja, tetapi hukum harus dijalankan. Sebab, Audrey masih belia dan rentan ditambah bebannya dengan hukum. Mari fokus untuk mengubah pelaku lewat hukum, berhenti untuk menghakimi dia, karena kita bukan hakim. Beri ruang untuk hakim buat menyelesaikan kasus ini.
Secara pribadi, saya bersama Audrey. Saya berdiri untuk #JusticeForAudrey. Baca esai lanjutannya di sini.