Jakarta, Lontar.id – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH), adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Lembaga yang di pimpin oleh Yan Christian Warinussy ini, turut menyoroti meningkatnya aksi kekerasan di Teluk Bintuni.
Menurut catatan Yan Christian Warinussy, meningkatnya tindakan kekerasan terhadap warga Papua, khususnya di Teluk Bintuni. Sejak perusahaan raksasa asal Inggris berdiri di Teluk Bintuni, yaitu British Petroleum (BP).
Insiden kekerasan meningkat signifikan semenjak perusahaan British Petroleum berdiri di Teluk Bintuni. Aksi kekerasan tersebut kata Yan Christian Warinussy berapa perselisihan dengan kontraktor, keamanan BP, antar karyawan, pencemaran lingkungan dan pertanahan.
Baca Juga: Dari Logam Hingga Migas: Ironi Negeri Penghasil Bahan Baku ‘Mutan Avengers’.
“Berdasarkan data yang kami pegang, peningkatan kekerasan yang terjadi di sekitar 40 persen di Teluk Bintuni,” beber Warinussy
Insiden kekerasan tersebut, berbanding lurus dengan peningkatan pengamanan LNG Tangguh British Petroleum. Perusahaan cangkang Inggris ini menghabiskan anggaran yang cukup besar untuk membayar pihak keamanan.
Pada 2010 BP telah mengeluarkan uang sebanyak 670.000 US Dollar dan 2016 267.000 US Dollar secara cash untuk aparat. Namun belum diketahui, anggaran yang digelontorkan untuk militer.
Pihak keamanan ini bertugas untuk melakukan berbagai aktivitas berupa spionase terhadap warga, aktivis anti penambangan hingga melakukan tindakan kekerasan. Spionase dan aksi kekerasan di Teluk Bintuni, menjadikan daerah ini sangat rawan untuk ditinggali oleh masyarakat.
Permasalahan lain juga yang timbul adalah persoalan ketenagakerjaan. Perusahaan British Petroleum melanggar perjanjian, bahwa masyarakat Papua akan dipekerjaan 50 persen. Namun kenyataannya tidak demikian, juga banyak warga Papua bekerja sebagai buruh kasar.
Berdasarkan laporan tahunan yang dibuat oleh Panel Penasihat Tangguh – yang salah satunya beranggotakan Tom Daschle, seorang Mantan Senator Amerika Serikat, Gary Klein, seorang pensiunan diplomat, dan Augustinus Rumansara, seorang warga asli Papua yang menjadi Kepala Bank Pembangunan Asia, menuliskan sebuah laporan tahunan terhadap BP.
Laporan tersebut menunjukan bahwa perusahaan minyak raksasa tersebut tidak memenuhi target ketenagakerjaan. Saat ini tidak lebih dari 50 persen tenaga kerja diisi oleh masyarakat Papua. Itu pun istilah “Papua” ternyata tidak murni orang Melanesia, namun masyarakat transtransmigran dari berbagai wilayah di Indonesia yang menetap di Papua selama kurang lebih 10 tahun.