Lontar.id – Wajah media kerap menampilkan kota kelahiran saya, Makassar, sebagai tempat yang beringas. Saking mengerikannya, pos-pos polisi pun bisa terbakar akibat ulah demonstran.
Leluhur barangkali mengajarkan kita untuk angkat senjata saja jika sudah dipermalukan orang. Tetapi jika tidak dipermalukan, tidak diganggu lalu mengusik ketenangan orang, itu namanya bodoh. Orang Makassar menyebutnya: tolo.
Siri atau budaya malu sudah gencar diajarkan oleh tetua selama saya kecil hingga sekarang. Adat membuat Makassar, sampai sekarang, masih hidup. Jika tiada, niscaya ia hanya menjadi sebuah kota untuk kerja dan tidur saja.
Jika ada sebuah keributan yang seharusnya bisa senyap dan tenang, entah itu dilakukan suporter bola dan lain-lain, dengan bangga pelaku-pelaku itu mendabik dadanya dan berkata: ini Makassar, bos!
Saya kira itu hal yang keliru. Kita tidak pernah bangga dengan kekerasan. Perantau dari Makassar, akan terusir dengan sendirinya jika mengaku sukunya paling baik, berdikari, dan chauvinis. Kita butuh orang lain, tetapi ada aturannya, ada prinsipnya.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di tanah Daeng, saya atau kami terbiasa untuk berbicara apa adanya. Senang dengan kejujuran.
Akhir-akhir ini, wajah Makassar, yang saya lihat, lebih teduh dan sikapnya melunak. Tak ada demonstran yang ekstrem di sana. Kalau dulu iya. Presiden Jokowi berhasil mengubah wajah Makassar. Ia membuat saya terheran dan berujar, “ini Makassar ya?”.
Sekarang, biar ada dugaan korupsi dan kejahatan-kejahatan elite pemerintah atau pimpinan organisasi, semua sepakat diam. Dulunya, seluruh elemen mahasiswa turun ke jalan.
Maka dari itu, saya ingin berterima kasih kepada Pak Jokowi, karena berhasil menenangkan demonstran di Makassar. Tetapi pertanyaan yang akan saya ajukan adalah: sampai kapan kita harus tenang?
Suatu waktu, saya pernah berbicara dengan almarhum Anwar Amin, seorang pustakawan tua yang lebih banyak menyimpan buku dan majalah-majalah dari tahun 70 sampai 80-an.
“Kenapa ya mahasiswa sekarang sudah tidak sekritis dulu?”
Jika ia masih hidup, ia akan saya ceritakan alasannya seperti di atas. Dengan intelegensi di atas rata-rata, ia pasti akan tergelak sambil mengisap sebatang lisongnya dan menyesap kopi yang ia jual di perpustakaannya.
Tidak ada lagi kemacetan karena demonstrasi. Tidak ada lagi makian pada demonstran seperti, “kau ini bikin macet saja. Apa gunanya kau demo begitu? Kayak pemerintah saja mau dengarko!”
Sekarang di era Pak Jokowi, ekonomi tumbuh pesat menurutnya. Makassar macet karena kendaraan dan melajunya infrastruktur. Saya berpikir, duh, kok Makassar macet? Sambil tetap memuji kebijakan itu.
Orang-orang yang tidak ingin berkorban sama seperti orang-orang ingin kaya tanpa berusaha. Pohon-pohon di pinggir jalan ditebang untuk pelebaran jalan, kita mengeluh, tetapi itu untuk kita juga agar tidak macet.
Banyak bangunan di Makassar, terbangun atas proses melabrak aturan. Belakangan, itu menjadi masalah. Tinjauan soal lingkungan dan segala macam, jadi berantakan.
Semua terbangun diawali dari transaksi di bawah meja. Mereka tidak pernah peduli kota dan daerahnya bagaimana menciptakan kenyamanan, sebab mereka dan konco-konconya sedang kelaparan. Hanya itu yang mereka pahami.
Kita lebih konsumtif sekarang. Apa saja bisa kita makan, biar teman dan sahabat kita embat juga. Kita tidak berani berpuasa jabatan, makan, dan lain-lain, demi prinsip dan malu yang leluhur kita pegang kuat-kuat.
Akhirnya kita kehilangan seluruh yang kita cinta demi kepentingan satu atau dua orang. Akhirnya kita akan terus memuji dan tepuk tangan dengan pemimpin penggunting pita. Sebab kita hanya butuh makan. Bukan kehormatan.
Tetapi yang terpenting sekarang adalah, sesuai omongan Menteri Kelautan dan Perikanan andalan kita semua, Susi Pudjiastuti, di masa depan konflik terjadi bukan lagi karena ideologi atau politik, melainkan tentang ketahanan pangan.
“Konflik masa depan bukan lagi tentang ideologi atau politik, tapi tentang ketahanan pangan. (Dan) ikan itu menjadi sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak bangsa dalam memperbaiki dan menjaga sumber daya manusia kita,” ujar Susi dalam suatu wawancara di Yogyakarta.
Akhirnya kita kehilangan laut yang disayangi dan dicintai setengah mati. Laut yang di mana moyang orang Makassar berjuang menerjang ombak, kini ditimbun habis-habisan dan dibuangi sampah plastik dan banyak lagi.
Nelayan-nelayan akhirnya pergi melaut di tempat yang jauh dan menantang. Sebab di sekitar Losari, sudah tak ada spot yang baik untuk menjala. Air sudah berwarna hitam dan berbau busuk karena limbah rumah tangga dan lain-lain.
Perlahan-lahan, ikan kian sulit didapat sebab pelaut dan nelayan kita sudah tidak lagi tangguh. Perlahan-lahan nelayan tua akan menjadi kakek-kakek dan tak bisa menciptakan penerusnya dikarenakan malu.
Lalu nantinya seseorang dari luar datang, bisa berambut pirang, hitam, atau apa saja, dengan kesederhanaan, berdagang kepada kita. Kita menerima dengan tangan terbuka, sebab kita malas dan pasif. Sebab cuma itu yang kita bisa. Tak ada perlawanan lagi. Kita dikuasai.
Saya tidak membayangkan, sepuluh atau duapuluh tahun lagi, akan jadi orang-orang kalah di tanah kelahiran sendiri. Makassar bersalin rupa, dan anak-anak akan mendesak orangtuanya dengan pertanyaan: apa itu siri na pacce?
Dan saya ingat, pernah suatu kali, Aksa Mahmud berujar di hadapan pemuda, di balai kampusnya. “Nenek moyang kita itu pelaut. Bukan orang kantoran.”