Lontar.id – Kabupaten Bulukumba sedang ramai dibicarakan. Kali ini tentang pernikahan sedarah serta hubungan intim anak sekolah. Sebagai seorang lelaki yang berdarah Bulukumba, jelas saya malu.
Orang-orang kepalang membesarkan daerah itu dengan: top lagi namanya Bulukumba. Mungkin itu terdengar biasa, tetapi itu membahayakan jika kita hanya melihatnya dari permukaan saja.
Membayangkan Bulukumba dikenal karena dua perbuatan itu, seperti mendengar kalimat-kalimat bernada, “oh di daerah ini perempuannya gampangan” atau “di daerah ini, lelakinya kasar, bajingan, dan tak bertanggung jawab.”
Sebagai orang Kajang, satu daerah di Bulukumba, Sulawesi Selatan, saya kerap menghadapi persoalan stereotip. “Ih, bahaya, nanti saya diguna-guna.” Padahal, tidak semua lelaki dari Kajang itu picik dan menyelesaikan masalah dengan santet.
Intinya, hal-hal yang menyangkut pelabelan serta gender itu, ibarat paku tajam yang telanjur melengket di batok kepala kita. Karena kita manusia, bukan hantu, kita harus mencabut pakunya.
Menurut data yang dihimpun SAFEnet, kasus-kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO) di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Pada 2017 ada 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya.
Jika isu ini terus diproduksi dan hanya dikupas saja kulit luarnya, bukan tidak mungkin ada label baru untuk orang Bulukumba atau daerah itu sendiri. Menyedihkan.
Padahal, saya selalu mengabarkan hal-hal yang baik untuk Bulukumba saat saya di rantau. Kawan-kawan saya di Jawa, seperti Bandung dan Jakarta, tertarik menyambangi Bulukumba.
Tetapi saya tidak sangup menahan arus deras informasi. Jurnalisme harus jujur menyebut nama daerah. Sementara pembaca diwajibkan berpikir jernih dan bijak untuk melepaskan kekejian dan tempat tinggal.
Demikianlah. Soal liburan, saya menjelaskan dengan apik, kalau di Bulukumba itu memang jauh dari Makassar. Perjalanan ke sana makan waktu tiga, empat, sampai lima jam. Lelah akan tuntas jika melihat pantainya.
Selama di perjalanan, saya memastikan pelancong takkan bosan, karena dia atau mereka bisa singgah di beberapa kabupaten untuk makan atau berwisata di beberapa kampung yang akan dilewati.
Dengan berat hati, hati saya was-was jika nanti ada cibiran tentang perempuan di kampung saya bisa ditarik, sebab saudaranya saja bisa menikahi mereka. Saya takut akan muncul streotipe, meski itu belum tentu akan terjadi.
Akhir-akhir ini saya harus berpikir soal bagaimana keadaan sekarang dan efeknya nanti. Saya punya beban moral dan dalam keadaan genting begini, rasanya saya tidak bisa bersantai.
Dan…
Oh ya, saya tahu. Mari kita berhenti untuk menghujat pelaku atau korban. Ada hal penting untuk kita perbaiki bersama agar kejadian seperti di atas tak terulang.
Bagaimana menurutmu jika kita semua mengajak orang-orang terdekat untuk tidak nakal, sebab semakin kejamnya era industri teknologi ini. Minimal, jangan rekam videomu yang tidak penting untuk ditonton.
Sebab bahaya, warga maya sekarang hanya bisa memaki dan menyebarkannya tanpa ampun. Viral dulu. Minta maaf kemudian. Video tanpa teks punya tafsir sendiri, lalu bagaimana jika teksnya ditambah?
Semisal, ada video lelaki dengan perempuan tanpa busana. Tanpa teks. Lalu video itu entah mengapa tersebar. Orang jahil menambahi teks ngawur pada video. Orang-orang jadi marah dan mengutuk.
Kalimat apa saja yang membuat dirinya jadi lebih baik di mata orang lain, disemburkan. Lalu video itu berpindah usai terunduh dan teksnya diubah dengan kalimat provokatif.
Siapa yang akan bertanggung jawab jika sudah begitu? Maka sebaiknya, bekali diri untuk tidak bermain-main pada era yang orang-orang Indonesia sekarang lebih gemar baca berita yang bombastis.
Kedua, kritisi kebijakan yang perlu untuk diubah. Sesuai dengan kasus pernikahan sedarah, kenapa kita tidak protes dengan sistem dalam kementerian agama yang masih lemah?
Sudah tahu incest tidak diperbolehkan dalam agama dan negara. Lantas mengapa pernikahan mereka dilanggengkan? Jika toh ada data palsu, mengapa tidak diselidik dulu?
Janganlah kita harus selalu menghajar korban dengan terbuka di media sosial. Memaki korban dengan tolol dalam kamar saat sendirian berbeda jika dilakukan di media sosial.
Akhir kata, hanya itu yang bisa saya sampaikan. Dalam kepala saya, hanya itu. Jika ada yang ingin menambahkan dan memberi wejangan soal agama, itu boleh. Soal moral, bisa.
Anda harus ingat, kampung halaman, suku, atau jenis kelamin Anda, bisa jadi akan dicibir kalau Anda tidak menghambat laju informasi yang mengerikan ini.