Lontar.id – Apa jadinya jika Stadion kebangaan PSM Makassar, Mattoanging, dimaki-maki. Lalu masih ada yang membelanya setengah mati dan berkata “ini stadion kebangaan saya,” kawan?
Jika itu ditujukan kepada saya, maka akan saya jawab dengan sederhana: silakan maki stadionnya, tetapi yang elok. Khusyuk. Nanti memilih kalimat makiannya bisa menyinggung orang yang tidak punya hubungan apa-apa.
Satu waktu, saya menemukan satu pranala yang membuat saya terkejut. Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, berkata kalau Mattoanging adalah satu-satunya stadion beratap seng di dunia.
Isi kalimatnya jelas. “Coba lihat seng-sengnya. satu-satunya stadion di dunia yang punya atap seng itu Makassar.” Ia menyampaikan itu secara terbuka dua kali.
Membaca ucapannya itu, saya mendukung. Memang Mattoanging sudah seharusnya ditampilkan secara jujur. Misalnya: catnya sudah kusam, kursinya butut, dan yang lebih menyakitkan dan menjijikkan.
Tak perlu lagi stadion seperti itu diromantisir. Untuk apa? Gagah-gagahan? Kalau memang sudah jelek dan kuno, mengapa harus diperhalus lagi? Sudahlah.
Kita tidak paham majas. Meromantisir Mattoanging hanya akan membuat kita lelap, tidak tertantang untuk menghadapi masa depan, janji politik selanjutnya, dan lain-lain. Akhirnya kita patuh. Selesai.
Memangnya apa sih kekurangan Makassar? Kota itu sudah besar. Makanannya enak-enak. Mayoritas perempuannya, mahal-mahal maharnya. Budayanya dikenal sampai segala penjuru Indonesia.
Lalu kenapa membangun stadion saja harus menunggu bertahun-tahun? Saya berpikir, ini karena ulah saya juga yang masih membanggakan stadion Mattoanging tercinta.
Misalnya, ketika dimaki, saya jadi cepat tersingggung. Dulunya saya sering membalikkan kata-kata kerumunan yang sering menyinggung kandang Pasukan Ramang.
“Biar jelek, tapi itu stadion kami. Itu neraka bagi lawan-lawan PSM dulunya.”
Iya, neraka. Sekarang apa? Lawan-lawan PSM sudah pandai mencuri poin di sana. Tak ada ketakutan lagi. Sebab, boro-boro berkualitas, kita juga kalah saing dalam kuantitas di kota-kota lain.
Akhirnya kita menerima saja, sambil membangun drama-drama di kepala, bahwa kita lebih hebat. Sebab dengan keterbatasan, PSM masih bisa diperhitungkan di kancah internasional.
Akhirnya orang-orang menerima dengan kalimat “tawwa, bisaji juara PSM, meski…” Kenapa mesti ada meski? Kenapa kita tidak membesarkan kekuatan PSM sendiri?
Alangkah baiknya, jika, “PSM hebat. Sisa stadionnya yang mau dibenahi karena sudah peyot. Macam gak ada uang dan kekuatan politik saja di kancah nasional.”
Saya memimpikan, suatu saat, para suporter membuat koreo atau berdemonstrasi untuk menuntut orang-orang berduit, membangun satu stadion megah.
Mereka menyampaikan pesannya di televisi lewat chant, spanduk, atau apa saja. Sampai semua orang tahu, bahwa orang-orang tajir di Makassar memang tidak peduli dengan sepak bola.
Lalu pelan-pelan semua orang bercerita. Jika pejabat kunjungan, ke mana saja, pejabat kota lain nyinyir. “Kota dunia, Pak? Yakin? Kota dunia tapi stadionnya kayak cagar budaya? Tidak malu, Pak?”
Sampai beban memalukan itu menghantui semua masyarakat Makassar. Mereka marah-marah dan terus menekan pemangkukepentingan sambil memaki, “apaji? Jangan cuma janji terus! Kalau janji, saya juga bisaji!”
Akhirnya. Pencinta sepak bola di Makassar, ada yang berteriak. Ada yang meyakinkan investor tentang untung rugi. Ada yang mengawasi pembangunan stadion. Bekerja sama membangun satu monumen yang akan selalu diingat.
Sebelum itu terjadi, mari berpikir jika PSM juara, nama siapa yang diangkat? Siapa yang mau membingkai dirinya di situ? Siapa yang memanfaatkan juaranya? Jika benar ada yang begitu nantinya, saya cuma bisa nyinyir.
“Janmeki cari muka. Ka untuk stadion saja, tidak mauki disusahi. Mau ambil enaknya saja. Giliran stadion dan jabatannya dimaki, saling lempar kesalahan, tidak tersinggung, kayak orang kehilangan malu.”