Lontar.id – Membaca kisah tentang mendiang Isa dan Ramli, yang menghebohkan media sosial sebab pernikahan yang tidak direstui karena uang panaik yang kurang, membuat saya sedih.
Ada dua alasan mengapa saya bersedih: pertama, Isa bunuh diri karena minum racun rumput menurut Ramli–teman kawin larinya (silariang); kedua, berita itu menyebutkan karena persoalan panaik, Isa bunuh diri.
Saya bingung, ingin marah tetapi persoalannya kompleks. Sayangnya, banyak orang yang tidak peduli dengan hal itu. Kesukuan dihujat dan perempuan Sulawesi dilabeli dengan tidak-tidak secara serampangan. Stereotip parah.
Banyak berita yang hanya menyodorkan sebuah drama, tanpa harus mengajak kita mengerti mengapa persoalan itu jadi membesar. Media memainkan perannya dengan sangat apik di sini.
Sebagai lelaki asal Makassar, saya setuju dan tidak setuju dengan adat itu. Saya belum menikah dan merasa tradisi memberatkan. Tetapi, setiap tantangan punya kenikmatan jika sudah dilewati.
Sangat jarang atau mungkin tak pernah saya dapati, media mengulas bagaimana dampak positif uang panaik. Cuma dampak negatifnya seperti Isa. Hasilnya kita merem dari berita positif sebuah tradisi.
Satu waktu, saya pernah bercerita dengan satu kawan saya yang kemarin baru saja menikah. Ia lelaki dan memberi panaik untuk keluarga istrinya sebesar Rp50 juta.
Acara berlangsung elegan dan besar. Ia tidak bisa menghindar dari adat itu. Ia menikmati seluruh prosesi. Mengeluh? Ia mengeluh, tetapi porsinya sedikit.
“Kautahu, keluarganya meminta Rp75 juta di awal. Saya bilang, uang saya cuma Rp50 juta. Kalau tidak ingin kurang sampai Rp50 juta, maka saya lepas anaknya dan membatalkan pernikahan. Ini berat.”
Saya bertanya lagi.
“Akhirnya, setelah dirembukkan keluarga calon istri saya, mereka akhirnya menerima. Saya mengikhlaskan uang itu. Inilah jodoh saya, yang dalam hati saya rasa patut untuk diperjuangkan. Harga segitu pantas.”
Teman saya seorang pekerja keras di Jakarta. Tak pernah merasa akan jatuh miskin setelah menikah. Prinsipnya, pernikahan akan melebarkan rezeki istri dan dirinya.
Setelah pembicaraan itu, saya bertamu ke rumah istri teman saya di Makassar. Ini teman kedua. Kami makan siang di rumah mertuanya. Di sana, istri teman saya memasak bakso, nasi goreng, udang asam manis dan nasi hangat.
Kami makan ramai-ramai. Setelah makan, kami berkumpul di ruang belakang, meminum segelas kopi, duduk sembari ngudud di bawah pohon mangga.
Mertua kawan saya itu, pemilik rumah, menanggapi panaik sebagai sebuah tradisi di Sulawesi Selatan. Mertuanya orang berada tetapi bergaya sederhana. Tak tampak potongan orang gede darinya.
“Jadi begini, uang panaik itu cuma untuk mengetes saja. Ya, kalau anak kita sudah baku suka, mau bagaimana lagi?”
Kami yang lebih dari lima orang di sana, menyimak pembicaraan itu dengan takzim.
“Tidak bagus juga kalau datang ke rumah melamar, langsung diterima. Ada juga enaknya itu, dia datang, kemudian kembali lagi. Di situ seninya.”
Soal panaik yang mahal, ia merasa sah-sah saja.
“Begini, seorang perempuan yang kautaksir itu disekolahkan dan dirawat baik-baik oleh orang tuanya. Kalau harganya mahal, ya wajar.”
Benar juga. Masa saya mengeluh dan orang tuanya tidak? Setidaknya, itu jadi cambukan agar lelaki bertanggung jawab lebih besar karena ia akan melewati bahtera bernama rumah tangga.
Bukan berarti kalau panaik-nya sedikit, lelakinya tidak bertanggung jawab ya. Ini yang perlu diluruskan. Panaik itu instrumen. Analoginya, setelah makan kita, biasanya ada makanan penutup.
Dalam buku menu, kita bisa membuka-melihat-tidak memilih atau memilih; atau tak membuka menu sama sekali. Orang-orang yang sanggup untuk membeli makanan penutup, akan merasa puas setelah makan.
Orang-orang yang tidak sanggup dan tak terbiasa, pasti akan merasa sah-sah saja tak melakukannya. Lagi pula, kalau sudah kenyang, mengapa harus makan lagi? Makan itu wajib, ya.
Kita tidak akan mati jika ada atau tidaknya panaik di muka bumi ini. Kita bisa memilih jalan hidup yang kita mau. Semua soal selera dan kesanggupan.
Kelirunya, ketika orang-orang yang tidak pernah makan makanan penutup, kemudian melabeli orang yang berkecukupan secara berlebihan. Jika begitu, saya boleh menjawab: saya yang punya uang, situ yang repot.
Sederhananya hal begitu tidak perlu diintimidasi karena tidak merugikan kita secara langsung. Itulah mengapa kita tidak bisa mengembangkan diri sendiri karena kekuatan kita hanya dipusatkan untuk mengurus orang lain.
Atau jawaban lainnya, “kalau kau tidak bisa makan seperti saya, jangan makan atau cari makanan yang lain.” Dunia beserta masyarakatnya sudah membentuk kelas-kelasnya sendiri kok.
Kita terus-menerus memakai perasaan cinta dan kasih sayang yang terlalu berlebihan. Melankolistik. Kita lupa, kalau ada tembok bernama realita yang sanggup menghancurkan perasaan.
Lain hal dengan kawan saya yang lain. Ia menikah hanya mengeluarkan Rp5 juta. Pernikahannya di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Ia berpesan kalau lelaki seharusnya tidak takut untuk menikah.
“Jangan karena uang panaik, kau takut menikah sama orang Bugis-Makassar.”
“Menikah itu ibadah. Percayalah. Kalau semua perempuan Bugis-Makassar mahal panaik-nya, sudah pasti orang-orang di Sulawesi Selatan punah, kawan. Hehe.”
Dulunya, sewaktu melamar, ia percaya diri. Tak mau memaksakan kehendak kalau uangnya harus banyak dulu baru datang melamar. Spontan saja, karena ia sudah siap dan bertekad besar.
“Saya ditanya sama mertua saya, ‘berapa uangmu di situ. Nak’ saya jawab Rp5 juta. ‘Oh, itumo saja, Nak. Menikahmi.‘ Tidak ada kesulitan. Saya bisanya segitu. Saya bersyukur.”
Sebelum berdiskusi tentang pernikahan dengan begitu banyak teman yang sudah menikah, saya mengutuk adat dan tidak pernah mau menikahi orang Sulsel.
Setelah banyak berdiskusi, saya percaya kalau tidak semuanya orang Sulawesi mematok mahar tinggi. Akan mudah, asal kita pandai bernegosiasi dengan calon mertua dan percaya kalau pernikahan adalah ibadah.
Batu saja bisa bocor dengan setetes air yang terus-menerus jatuh padanya, apalagi aturan yang lentur. Akhirnya, semoga kita menjadi lelaki yang beruntung.
Beruntung dalam artian, yang jika tidak punya uang panaik, kita dipertemukan dengan perempuan yang ringan maharnya; yang jika punya uang panaik, dipertemukan dengan perempuan yang pantas dipinang.
Intinya, pernikahan kita takkan disulitkan, oleh suku apa pun, di mana pun, agama apa pun. Jadi mari berdoa dan berusaha, kawan-kawan!