Lontar.id – Di Argentina, orang-orang masih bersedih. Negaranya ditaklukkan Brazil dalam Copa America 2019. Padahal, Argentina sudah trengginas dalam menyerang.
Argentina membawa pulang titel juara 3 setelah berhasil mengandaskan langkah Cile dengan skor 2-1. Capaian itu sudah sangat baik, daripada tidak mendapatkan apa-apa sama sekali dalam perjuangan.
Tetapi mereka tak peduli. Mereka masih marah hingga kini, cuma karena Messi. Mereka ingin menyandingkannya bersama seorang lelaki tambun yang pernah dijuluki “Si Tangan Tuhan” karena gol spektakulernya.
Kelak Messi bisa membawa Argentina juara, masih menjadi harapan nomor satu di negeri Albiceleste. Mereka tak peduli siapa yang akan mendampingi Messi.
Tahun lalu, Messi pernah terjungkal di piala dunia. Saat ingin gantung sepatu, ia dipaksa untuk tidak mandi terlalu cepat, istilah rehat orang Indonesia. Orang-orang masih mengharapkannya.
Messi hadir dalam tekanan yang besar. Tak hanya oleh musuh, melainkan masyarakat di Argentina. Orang-orang menjulukinya alien. Kemampuannya seperti bukan manusia pada umumnya.
Jelas saja ini berlebihan, tetapi untuk asyik-asyik saja saya kira penting. Hidup yang tidak mengendurkan ketegangan adalah hidup mengasyikkan.
Belakangan saya yakin, Messi memanglah seorang dari daratan atau makhluk dari laut yang tak tercatat di dalam peta dunia. Ia dianggap musuh bersama, ketika ia melakukan satu kesalahan.
Padahal, permainannya di Barcelona dan di timnas Argentina, sudah sangat baik. Tetapi semua tidak melihat Messi sebagai seorang manusia, yang bisa juga bermain buruk atau staminanya menurun.
Ini kenyataan. Di sudut kota Buenos Aires, terdapat mural bergambar Messi dan Maradona. Gambar dibuat oleh seniman lokal bernama Santiago Barbeito.
Menariknya, Diego Maradona dianggap sebagai figur Tuhan. Sementara di sebelah kanannya yang merupakan Lionel Messi, dianggap sebagai Nabi Adam.
Mural unik itu terpampang di markas klub sepak bola Sportivo Pereyra. Bagi anggota klub itu, lapangan sepak bola dianggap gereja. Tempat suci yang layak dipasangi lukisan unik tersebut.
“Gereja di Sistine menggambarkan Tuhan dan Nabi Adam. Sementara di gereja sepak bola, kami punya Diego Maradona dan Lionel Messi,” kata pelatih klub, Ricardo Elsegood dikutip Strait Times.
Sebab hal itu, Messi berat hati dengan kekalahan yang dideranya. Sebagian masyarakat di dunia nyata dan maya, merisaknya tanpa ampun. Akhirnya, seseorang bisa berpikir jika pesepakbola itu adalah pekerjaan yang sulit dan mengerikan.
“Kami meninggalkan kompetisi ini dengan kemenangan, tetapi di atas semua itu, dengan kepala tegak, rasanya sepak bola ini tidak adil pada kami. Karena melihat bagaimana kami bermain dan karena kami superior kepada Brasil, kami pantas untuk berada di final esok hari,” tulis Messi dalam akun instagramnya.
Meski mengeluh, ia tetap optimis. “Tapi, kami harus terus melihat ke depan dengan optimis, karena tidak ada dasar yang lebih besar pada seleksi ini dan kami hanya akan memberikan waktu,” tambah Messi.
Membaca hal ini, saya turut sedih. Saya mencoba mengerti perasaannya. Jarang-jarang ia mengeluh. Logikanya adalah: siapa yang tidak mau juara? Tetapi mereka dipersepsikan bermain sangat buruk. Terlebih Messi yang punya segudang pengalaman dan penghargaan.
Keluhan itu akhirnya jadi api yang besar. Dia dianggap cengeng dan tidak pantas untuk menyalahkan sistem. Ia disuruh berkaca saat beberapa kali diuntungkan sistem sepak bola saat berkostum Barcelona.
Sepak bola adalah kerja sama tim. Satu pemain yang sangat baik pun di dunia ini, jika sisanya adalam pemain kelas gurem dan tidak mengerti permainan satu sama lain, maka sulit untuk bersaing. Latihan tidak cukup jika belajar mengerti disimpan dalam laci terkunci.
Tetapi saya tidak berbicara sebagai mana saya menjadi Messi. Saya berbicara sebagai seorang fan boy yang mencoba mengerti, mendukung, mengkritik pemain dan klub pada porsinya masing-masing.
Jika ditanya, mengapa saya harus menulis ini, tersebab dipantik oleh oleh coretan-coretan di akun instagram Greg Nwokolo. Penyerang timnas Indonesia dan Madura United itu juga kerap menulis suka duka menjadi pesepak bola.
“Kami menjalani pertandingan hari ini dengan kondisi stadion yang hanya sedikit supporter. Jika kami menang mereka ramai di medsos, itupun dengan banyak komentar negatif berisi tulisan ‘harusnya ini out, itu out’, ‘pemain ini sudah tua, sudah nggak bisa lari,egois,’ apalagi kalau kami kalah akan semakin ramai dengan tulisan out in- out in pemain.”
“Kami di sini berjuang untuk kita, warga Madura. Kemarin kami lawan Persebaya serasa kandang Persebaya, hari ini kami berjuang lagi, tapi kursi banyak yang kosong.”
“Kami butuh kalian, apalagi hari Minggu sangat krusial, kami butuh kalian.”
“Kalian harus datang langsung ke stadion untuk bersama-sama berjuang di kejuaraan Piala Indonesia. Jangan hanya ramai di medsos saat kami menang ataupun kalah,” tulis Greg, jelang pertandingan melawan PSM Makassar semi final Piala Indonesia beberapa waktu lalu.
Setelah membaca tulisan Greg, saya jadi paham bagaimana seorang bintang ternyata butuh dukungan dan mengesampingkan kritikan tak bermutu dari kita semua.
Menyerang fans, bagaimanapun, adalah perbuatan yang salah. Tetapi jika kita yang menyerang satu pemain tanpa isi, apakah itu salah? Ya, kita melenggang dengan seenaknya, seperti Tuhan.
Tampaknya saya harus berpikir lagi setelah mendengar kalimat kawan saya yang berbunyi seperti ini, “kau boleh menjadi apa saja, asal jangan jadi Tuhan.” Sesederhana itu.
Tak ada Tuhan di sepak bola, sebab diam-diam kita jadi hakim yang bertitel panjang, yang bisa membawa eseorang atau sebelas orang ke dalam nestapa. Sebaiknya, kita harus berpikir dari sekarang, di mana belas kasih dan rasionalitas kita dalam menghujat.
Adab dulu lalu ilmu, bukan?