Lontar.id – Pemerintahan Jokowi semakin gencar memacu pembangunan proyek infrastruktur yang tidak hanya berpusat di Pulau Jawa. Kini, ia menyasar provinsi lain.
Jokowi tampaknya ingin menjauhkan stigma negatif, bahwa Jawa merupakan anak emas dan selalu diutamakan. Tetapi kenyataannya memang seperti itu.
Tanpa kita sadari, fasilitas dan pembangunan gedung-gedung megah di Jakarta, jalan tol, LRT, jembatan, rel kereta api, pelabuhan, bandara dan sebagainya, tidak bisa terlepas dari sumbangsih pendapatan keuangan dari berbagai daerah.
Kekayaan alam yang terkandung di daerah luar pulau Jawa adalah penyokong pembangunan kota-kota besar. Di lain sisi, daerah hanya mendapatkan timbal balik sangat minim (perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah), bahkan untuk pembangunan fasilitas umum seperti jalan raya, masih jauh panggang dari api.
Kawasan Industri Teluk Bintuni
Berdasarkan data di situs Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), pemerintah melalui Kementerian Perindustrian akan membangun Kawasan Industri di Desa Onar Baru, Distrik Sumuri, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Teluk Bintuni akan disulap menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan pabrik besar di wilayah Indonesia Timur. Meski jauh sebelum itu, perusahaan cangkang asal London, Kerajaan Inggris, British Proteleum (BP) LNG Tangguh telah lama bercokol di kawasan ini. BP kini sukses–dalam kaca mata negara–mengeksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi lalu disalurkan ke mancanegara.
Jumlah investasi di Desa Onar cukup besar, yaitu menelan anggaran RP.31,400 Triliun dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pemerintah di bawah payung perusahaan PT. Pupuk Indonesia akan membangun Pabrik Petrokimia, Amoniak dan Methanol.
Nantinya, pabrik ini akan memproduksi 800.000 Kilo Ton Per Anum (KTPA) per tahun. Pada tahun awal, perusahaan ini rencananya akan membuka lahan sebesar 20 hektare.
Ini baru pabrik methanol. Untuk mengakomodir tiga pabrik itu, dibutuhkan lahan 50 hektare dan pemerintah sudah menyiapkannya
dengan mengeluarkan anggaran sebesar US$800 juta (Rp.11,28 Triliun dengan kurs Rp.14.100). Nantinya, proyeksi selama 20 tahun ke depan, khusus pabrik methanol, diperkirakan akan butuh lahan 2.112 hektare
2.112 , secara bertahap.
Adapun 50 hektare lahan itu yang berpotensi dimiliki pemerintah bersumber dari kawasan pegununungan, merambah tanah adat masyarakat, hingga berdekatan dengan pemukiman warga yang ada di Distrik Sumuri.
Distrik Sumuri sendiri terdiri dari 5 kampung, di antaranya Kampung Forada, Materabu Jaya, Sumuri, Tanah Merah dan Tofoi. Mata pencaharian masyarakat sehari-hari di sektor pertanian, kelautan, pertambangan, perikanan, perkebunan dan juga berdiri Industri Migas LNG.
Pemerintah beralasan, pembangunan kawasan Industri Petrokimia akan menarik sejumlah pihak untuk berinvestasi dengan perkiraan sebanyak Rp.13 Triliun. Pemerintah yakin investor akan tertarik dengan alasan pemerataan pembangunan ekonomi yang tidak melulu berada di Pulau Jawa. Selain itu, penyerapan tenaga kerja sebanyak 3.500 orang untuk mengisi bidang-bidang tertentu.
Selain itu, pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan diyakini akan bisa ditekan melalui proyek ini. Alasan utamanya tak lain karena masyarakat setempat akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dari industri tersebut.
Cukup menggiurkan. Hitungannya, Pemerintah Daerah (Pemda) akan mendapatkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) yang cukup besar dari persen yang akan dibagikan oleh investor. Demikian juga dengan masyarakat–paling tidak stigma tentang kemiskinan dapat terhapus.
Pertanyaannya, apakah setiap pembangunan industri dengan pabrik-pabrik besar yang menggarap hasil bumi, akan selamanya membantu masyarakat setempat, mengurangi angka pengangguran dengan nilai besar, hingga memutar cepat roda ekonomi masyarakat?
Atau justru sebaliknya, masyarakat setempat hanya diiming-imingi akan dipekerjakan, dengan komposisi terbanyak menempati posisi strategis, memicu lahirnya konflik agraria dan sentimen lainnya.
Sebab ini bukan pikiran yang muncul seperti wahyu. Ada kisah yang membuat pertanyaan itu bisa terjawab dengan kalimat negatif. Dalam beberapa kasus, pembangunan industri di suatu wilayah, tidak sama persis dengan janji-janji sebelumnya.
Sebaliknya, industri kerap melahirkan dampak negatif yang perlu diwaspadai. Seperti kerusakan lingkungan dan ekosistem air dan udara. Kerusakan ini dapat menyebabkan munculnya berbagai penyakit kulit. Limbah pabriknya, bisa membuat sungai dan danau-danau tercemar.
Limbah yang dibuang secara sembarangan akan merusak kesuburan tanah, di mana mayoritas profesi penduduk yang ada di Distrik Sumuri adalah bertani, melaut dan berkebun.
Bila tanah, air, udara dan laut sudah dicemari dengan limbah perusahaan, maka terpaksa penduduk harus mencari lahan baru atau besar kemungkinan akan berpindah ke lokasi lain.
Dari segi serapan tenaga kerja, saya tidak menemukan bahwa angka 3.500 pekerja yang siap untuk ditempatkan di Industri Petrokimia, merupakan mayoritas dari penduduk setempat.
Mengapa? Sebab itu bertentangan dengan kewajiban seorang pekerja yang harus memiliki keahlian dan kualifikasi khusus untuk menempati posisi strategis.
Lalu bagaimana jika warga setempat rata-rata hanya lulusan sekolah menengah atas dan ada yang sama sekali tidak sekolah? Apakah mereka lantas dimasukan begitu saja ke dalam perusahaan meski tanpa punya keahlian mumpuni?
Hampir pasti bidang-bidang tertentu akan diisi oleh orang di luar dari Bintuni, kecuali mereka menjadi pekerja kasar (buruh) pada saat membuka lahan baru untuk dibangun pabrik.
Setelah itu, kembali pada profesi awal, setelah perusahaan tidak lagi memerlukan tenaga buruh kasar. Hal yang sama dialami masyarakat Bintuni, dapat kita lihat di perusahaan British Proteleum LNG Tangguh.
Perusahaan raksasa yang sudah mengeruk hasil alam dengan keuntungan berlipat-lipat ini, sudah berapa banyak mempekerjakan masyarakat setempat? Apa posisinya? Adakah mayoritas dari mereka memegang posisi strategis?
Saya kira ini menjadi renungan bagi masyarakat di Distrik Sumuri, Teluk Bintuni. Apakah pembangunan Kawasan Industri yang menggarap lahan
2.112 hektare ini dapat memberikan kesejahteraan untuk masyarakat atau justru sebaliknya.
Penulis: Ruslan