Lontar.id – Ratu Tisha sudah bikin gaduh. Meski bukan seluruh Indonesia, tetapi pernyataannya itu bisa membuat konflik baru di daerah-daerah tertentu.
Kalau Persija juara, suporter PSM Makassar harus menerima. Legowo. Belakangan, saluran berita itu kemudian mengubah informasinya karena kepalang diributkan orang-orang.
Berita itu menjadi: kedua fans harus legowo jika salah satunya juara. Entah siapa yang keliru, Tisha atau medianya. Itu hal yang lumrah terjadi, kok. Tak usah diributkan terlalu besar.
Saya merasa Tisha keliru. Semua pihak harus dibenahi. Tetapi sistem sepak bola terlebih dahulu. Apakah wasitnya sudah memimpin pertandingan dengan baik atau tidak dan lain-lain.
Kita perlu belajar bagaimana dengan ketatnya liga Inggris, saat satu kejadian mengubah wajah sepak bolanya, yang dulunya ia memakai pagar, sekarang tidak.
Saat itu, suporter Liverpool bikin rusuh saat tim andalannya melawan Juventus di Belgia saat final Liga Champions digelar pada 29 Mei 1985.
Kerusuhan ini dinamai Tragedi Heysel. Tragedi ini menewaskan 39 orang. Alhasil, UEFA melarang Liverpool main di Eropa selama 5 tahun.
FA (Konfederasi Sepakbola Inggris) tak ingin tinggal diam. Mereka ikut menambah hukuman Liverpool dan seluruh klub Inggris: tak boleh main di Eropa selama lima tahun.
Jika membaca aturan ini, kita boleh kecewa dan marah dengan Liverpool. Paling, pikiran kita begini: kenapa Liverpool yang bikin rusuh, klub saya juga yang kena?
Tetapi saya yakin, FA patut melakukan itu. Akibat pikrannya yang ekstrem itu, orang-orang mulai sadar akan pentingnya sepak bola bagi hidup mereka.
Sadar akan hal tersebut, pelan-pelan FA mengubah aturan masuk ke stadion di Inggris. Tak boleh lagi ada penonton yang berdiri. Semua harus duduk.
Saya pikir, logika FA seperti ini, “tribun berdiri memang murah, tetapi banyak sumber keributan bermula di sana. Tiket mahal tak apa, demi membangun kualitas suporter. Kita harus naik kelas.”
“Jika harganya mahal, orang akan berpikir untuk tidak semena-mena dengan duitnya. Ia ingin menonton dengan enak, tenang, dan tidak terganggu. Ekosistem yang baik akan terbentuk dari sini.”
Akhirnya, idenya berhasil. Tiket tanpa nomor kursi pelan-pelan dihilangkan. Pendataan mulai digencarkan. Orang-orang yang masuk stadion harus diperiksa dengan baik.
Orang yang tidak jelas asal-usulnya harus dicegat. Sebab berpotensi bikin hal aneh. Sekadar untuk menjaga. Bukan berarti yang terdata, dilepaskan begitu saja.
Di Inggris, sekali saja nama tercatat bikin rusuh, si suporter bakal dilarang masuk stadion di seluruh Inggris. Terparah, hukuman itu bisa selamanya.
Itu di Inggris. Semoga saja Ratu Tisha pernah membaca sejarah itu sebelumnya. Lalu bagaimana untuk mentaktisi omongan yang seakan-akan suporterlah biang kerok dan federasi selalu terlihat gagah?
Pakai aturan berbasis data. Paling utama adalah mawas diri. Dari data itu, bisa dipelajari sentimen dan perilaku para penonton di mana saja. Mereka semua ceruk pasar industri.
Jika tak boleh diseragamkan, maka aturan bisa dikoordinasikan dengan klub tertentu. Akhirnya, efek dari sistem akan berjalan sebagaimana mestinya dan membentuk ekosistem yang bisa dimanfaatkan oleh PSSI dan klub lokal.
Memang jika ingin dijalani, tentu saja tak mudah. Pertama, kita bukan pembelajar yang baik. Semua orang kena. Tetapi bukankah kita bisa belajar terus-menerus jika aturan dijadikan sebuah keharusan?
Misal, federasi bisa tahu, siapa dan umur berapa para pengacau di stadion. Apa yang menyebabkan mayoritas kericuhan di stadion terjadi? Wasit siapa yang sering bikin suporter mengamuk dan lain-lain.
Dari situ, semuanya bisa berbenah. Bukan asal menerima kritik saja, tetapi dimentahkan semua karena merasa diri sudah benar. Kritik tanpa data itu sama saja pepesan kosong.
Itu kalau Tisha ingin membuat kebijakan berbasis data. Jika tidak, tak masalah. Paling penting, mawas diri dulu. Jangan sekonyong-konyong suporter yang disalahkan. Saya juga risih soalnya. Heuheuheu.