Lontar.id – Sebanyak 1.270 warga imigran ilegal yang berasal dari berbagai negara di Timur Tengah seperti Afganistan (971), Sudan (70), Irak (9), Iran (7), Pakistan (45), Palestina (10) ; China (1), Italia (1), Ethopia (30), menghuni Kompleks Kodim 0503 Kalideres, Jakarta Barat.
Selain pria dan wanita dewasa, di tempat pengungsian Kompleks Permai Kalideres, terdapat 180 balita. Di bekas kantor Kodim 0503 dengan membangun tenda dari bantuan Kementerian Sosial dan Dinas Sosial Jakarta Barat.
Ukurannya pun beragam, mulai dari ukuran tenda besar, sedang, hingga tenda-tenda kecil yang dipasang di halaman samping dan depan Kantor.
Mereka datang ke Indonesia setelah lolos dalam pelarian dari negaranya yang sedang berkecamuk perang, sejak Amerika Serikat (AS) menginvansi Afganistan pada 2001 dengan dalih melawan terorisme.
Sekarang ia mencari suaka melalui organisasi internasional PBB untuk pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
Itulah pilihannya. Mereka berlindung dengan mengungsi di Indonesia. Dari Razi Angori, kebanyakan dari mereka menggunakan jalur laut hingga udara datang ke Indonesia.
Razi Angori (23) adalah seorang warga imigran asal Afganistan, ia menceritakan waktu pertama kali datang ke Indonesia menggunakan pesawat karena keadaan di negaranya sudah genting.
“Pengungsi yang datang menggunakan jalur udara, disebut pengungsi mandiri, yaitu mereka membiayai sendiri ongkos keberangkatan mulai dari negaranya hingga tiba ke Indonesia.”
Di Afganistan, ia tinggal bersama dengan ibunya, sementara bapaknya telah meninggal dunia setelah bergabung dengan militer akibat berperang dengan kelompok pemberontak.
Berbekal uang sisipan dari orang tuanya yang tak ingin melihat nasib anaknya berakhir di medan perang, Razi Angori pun terbang ke Indonesia mencari suaka.
Razi sebenarnya akan pergi ke Amerika, ia memilih untuk datang ke Indonesia terlebih dahulu sebagai tempat singgah dan berujung terkatung-katung di Indonesia, setelah menerima instruksi dari UNHCR kalau Amerika sudah tidak lagi menerima pengungsi.
Di Indonesia, ia menunggu sampai 3,8 tahun. Selama itu, ia belum mendapatkan kepastian, apakah dirinya bersama dengan para imigran lainnya bakal diberangkatkan ke negara tujuan.
Meski begitu, ia bersyukur bisa tinggal di Indonesia, yang jauh dari konflik dan peperangan. Selama berada di tempat pengungsian, Rozi banyak belajar tentang kondisi dan aktivitas warga.
Menurutnya warga sangat baik dan ramah, kadang datang membawa sejumlah bantuan makanan, minuman dan pakaian. Hal itu cukup membantu mereka di tengah keterbatasan.
Wajah Kamp Pengungsi
Di tempat pengungsian, disediakan fasilitas seadanya. Seperti lima water closet (WC) yang disediakan untuk 1.270 orang imigran. Selain itu ada tampungan bak air dan fasilitas kesehatan (klinik). Razi terus bersyukur meski fasilitasnya terbilang masih kurang, alasannya, layanan itu gratis dan ia merasa terbantu.
Kata Razi, di lokasi pengungsian ia mendapatkan jatah makan sebanyak 2 kali sehari, yaitu jam makan siang dan sore. Sedangkan untuk makan pagi, ia menyisiati dengan menyisakan bekal makan sore.
Sedangkan untuk kebutuhan finansial, Razi masih dikirimi oleh sepupunya yang kerja di Eropa. Sepupunya mengirimkan uang kadang sekali sebulan bahkan kadang tiga kali sebulan dan itu cukup untuk menambah biaya hidup di tempat pengungsian.
Razi terus menunggu keputusan dari pihak UNHCR yang akan membawanya ke Eropa. Pernah pula terdengar opsi kalau para imigran sebaiknya dikembalikan ke negara asalnya. Tetapi, perang belum selesai di sana.
Lain pula teman Razi yang saya temui. Saya kesulitan mencatat namanya, sebab namanya cukup sulit dieja. Dari semua orang yang kutemani berdiskusi, ia yang paling tertekan.
Ia berasal dari Afganistan dan sudah 5 tahun di Indonesia. Kali pertama, ia ditempatkan di Bogor sebelum dibawa ke Kompleks Permai Kalideres. Ia datang sendiri ke Indonesia, sedangkan orangtuanya masih bertahan di Afganistan.
“Saya merasa jenuh. Sudah terlalu lama kita menunggu kabar kapan dirinya akan di kirim ke Eropa. Yang ada, setelah berkali-kali menghadap perwakilan UNHCR di Jakarta, belum ada solusi.”
Tekanan datang sebab ia bingung harus melakukan apa, sehingga aktivitasnya sehari-hari hanya makan, tidur, dan kadang main kartu bersama dengan yang lain.
Lain lagi dengan Ibrahim. Lelaki periang ini dari Somalia dan lancar berbahasa Indonesia. Ia menceritakan alasan dirinya datang ke Indonesia bersama dengan warga Somalia lainnya.
Di negaranya, sedang terjadi perang sipil selama 30 tahun lebih, warga di sana bebas menenteng senjata dan membunuh satu sama lain.
Selama kurun waktu 30 tahun lamanya, kehidupan warga berbanding terbalik dengan sebelumnya yakni kelaparan dan aksi kejahatan semakin meningkat. Terpaksa ia harus lari menyelamatkan diri sebagai pengungsi.
Ibra bercerita, bahwa warga sipil yang memegang senjata dan membunuh satu sama lain, merupakan bagian dari skenario kelompok atau orang-orang besar.
“Tidak mungkin warga yang hidup di bawah garis kemiskinan mampu mendapatkan senjata dengan mudah. Mereka memberikan uang dan senjata, menyuruh membunuh satu sama lain.”
Dua Wajah Masyarakat Indonesia
Saat Lontar mendatangi lokasi pengungsi imigran di bekas Kantor Kodim 0503 Kalideres, Jakarta Barat, sekitar pukul 02:29 WIB. Dari kejauhan, sudah terlihat spanduk penolakan warga Kompleks Daan Mogot, berukuran besar yang dipajang di sudut-sudut kompleks hingga di depan lokasi pengungsi.
Isi spanduk itu menolak kompleks mereka dijadikan sebagai tempat pengungsian para imigran. Tetapi, di lain tempat, banyak yang tidak kenal lelah membantu para pencari suaka.
Di pintu masuk pengungsian, kutemui relawan dari Tagana yang sedang melayani para imigran. Di sana mereka membagikan makanan, minuman dan menyerahkan kartu identitas sementara dari UNHCR.
Ada juga relawan lain datang dengan mobil, membawa sandang lalu dibagikan ke imigran. Sementara relawan lain yang bergerak di bidang kesehatan, membuka klinik dan sibuk memberikan obat-obatan pada imigran.
Lalu di bagian halaman depan, anak-anak imigran asyik bermain bola. Setelah waktu beranjak malam, tempat bermain bola tadi, lalu dipasang dengan tenda-tenda kecil untuk tidur.
Selama saya berada di lokasi pengungsi, saya tidak kesulitan untuk berkomunikasi dengan mereka, karena sebagian besar bisa berbahasa Indonesia dan Inggris.
Penulis: Ruslan