Lontar.id – Unggahan yang–mungkin saja–diunggah oleh lulusan baru (fresh graduate) dari Universitas Indonesia (UI) di Instagram, jadi viral. Ia menyoal gaji Rp8 juta yang ditawarkan perusahaan swasta.
Alasannya, tawaran jauh di bawah standar. Sembari menolak, ia juga mengungkapkan kejengkelannya karena merasa diremehkan.
Rasa-rasanya, saya kok berpikir kalau ia berpikir semua lulusan UI punya nama besar lengkap dengan jaringan alumninya yang beken. Ia tak boleh disamakan dengan lulusan-lulusan kampus lain.
Kalau kampus swasta yang belum terkenal ditawari dengan gaji kecil, bahkan di bawah standar UMR, masih terbilang wajar. Tak peduli dengan besaran gaji, asalkan dapat pekerjaan.
Prinsipnya, lebih baik selamat dahulu daripada terombang-ambing dalam dunia kepengangguranan. Istilah lainnya, biar perahu yang ditumpangi kecil menuju ke daratan asal selamat, ketimbang menunggu kapal besar datang mengangkut dan belum tentu ada.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi seorang yang mendaku lulusan UI. Mungkin anggapannya masuk kuliah di UI saja setengah mati dan harus berkompetisi dengan ribuan pelamar agar dapat 1 kursi.
Barangkali ia merasa, selain punya kecerdasan di atas rata-rata, mahasiwa yang masuk di UI mayoritas dari kalangan elite dengan biaya semester, praktikum dan kegiatan lainnya, bisa menghabiskan puluhan juta rupiah. Mana mungkin keluarga dari kelas menengah ke bawah bisa masuk di kampus mantan aktivis 60-an Soe Hok Gie ini?
Akhirnya, gerombolan anak-anak pejabat dan miliarder jadi satu padu di UI, membentuk satu kelas sosial sebagai mahasiwa sosialita ketimbang sebagai aktivis kampus–tenang saja, saya tidak menggeneralkan semua anak UI seperti itu–Masih ada kok yang bagus.
Menyoal gaji 8 juta yang ditawarkan oleh perusahaan swasta di Jakarta, itu sudah terbilang besar dan cukup untuk memenuhi kehidupan sebulan, ditambah dengan pengeluaran untuk barang-barang sekunder dan tersier.
Seorang fresh graduate dari kampus, secara umum bisa dibilang masih bau kencur dan belum punya pengalaman kerja yang bisa dijadikan patokan oleh perusahaan.
Apakah dia pantas dapat gaji UMR atau jauh di atas itu, jikalau memang dia punya keahlian dewa di bidang tertentu, saya rasa wajar bila minta gaji di atas 10 juta bahkan lebih kepada perusahaan swasta.
Imbalnya, perusahaan akan merasa untung bila merekrutnya. Tapi, apakah perusahaan mau mengeluarkan uang sebesar itu hanya untuk menggaji seorang karyawan yang tidak punya pengalaman sama sekali?
Perusahaan swasta menurut saya, punya standar sendiri dalam menilai apakah si anak tersebut layak atau tidak diberi gaji besar. Perusahaan tak peduli kebesaran nama kampus.
Asal tahu saja. Di ibu kota, mencari pekerjaan bukan perkara mudah. Meski kamu sudah puluhan kali memasukan surat lamaran kerja di perusahaan, belum dipanggil-panggil adalah asupan yang harus dimakan.
Bukan karena kamu tidak punya kualifikasi di bidang tersebut, melainkan ada ribuan pelamar lainnya yang punya kemampuan yang sama memasukan lamaran di sana.
Kualifikasi yang dicarinya adalah yang terbaik dan mungkin saja nama kamu tidak terjaring. Jika mencari pekerjaan sesulit itu, apakah masih pantas menolak gaji 8 jutaan?
Jikalau mau membandingkan dengan gaji yang diperoleh para guru-guru honorer dan sukarelawan, mereka mendapatkan imbalan yang sangat jauh dari kata layak.
Padahal jam kerja mereka banyak, menggantikan guru PNS yang kadang malas masuk mengajar, tetapi gaji, mereka terima setiap tiga bulan sekali (tri wulan). Itupun mereka masih bersyukur karena bisa bekerja dan mendapatkan gaji, meskipun kecil.
Ditulis oleh Ruslan.