Oleh: Hasin Abdullah
Lontar.id – Penulis mencermati pertimbangan majelis kasasi Mahkamah Agung yang terdapat dua hal dalam putusannya. Pertama, keyakinan hakim hanya merujuk pada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Kedua, hakim telah berani menabrak PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam putusan nomor 574 K/Pid.Sus/2018 menetapkan terdakwa (Baiq Nuril Maknun) melanggar pasal 27 ayat (1) juncto pasal 45 ayat (1) UU RI No. 11 Tahun 2008, tentang Tindak Pidana ITE dan dipidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan membayar denda sebesar Rp. 500.000.000 subsidiair 3 bulan kurungan.
Hal ini pun tampak terpisah antara hukum dan keadilan. Penegakan hukum dalam konteks pembaruan hukum pidana, merupakan ejawantah teori aliran realisme, di mana teori ini seseorang dapat dikategorikan pelaku (dader) kejahatan apabila memenuhi unsur-unsurnya. Di antaranya, dapat dipertanggungjawabkan (toerekenvatbaar) dan tak ada alasan pemaaf (schuld uit sluitings grond) Herman Kantoro Wic (1933).
Dari sisi filosofis, selain Baiq Nuril dapat dijadikan pelaku, ia layak dijadikan korban pelecehan dan kekerarasan seksual (victim) yang harus dilindungi hak-haknya. Namun, dari perspektif hukum pidana, ia lebih melekat pada status korban yang membutuhkan perlindungan hukum, agar mendapat akses dari penegakan hukum yang berkeadilan.
Olehnya, teori pertanggungjawaban pidana cukup terang bahwa hanya setiap pelaku kejahatan yang mampu bertanggung jawab dan saksi atau korban yang dapat membuktikan di persidangan. Akan tetapi, majelis hakim dalam kasus ini tidak melihat persoalan itu, sehingga membuat penegakan hukum seolah-olah diskriminatif dan melanggar norma.
Simons menegaskan dalam buku Amir Ilyas (Asas-Asas Hukum Pidana: 2012). Bahwa, “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”
Dalam konteks ini, pelanggaran hukum yang didakdawakan kepada Baiq Nuril tidak ada unsur kesengajaan, karena ia belum mampu bertanggung jawab secara hukum. Maka dari itu, tujuan hukum tidak hanya mencapai suatu kepastian, tetapi juga untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Menggali Restorative Justice
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Kalimat tersebut merupakan prinsip dasar dalam hukum dan hak asasi manusia. Perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum juga menjadi salah satu hal yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Pasal 28 huruf D ayat (1) UUD 1945 menegaskan, walau terdapat jaminan hukum yang melindungi perempuan dan penekanan terhadap kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan, dan untuk menjamin bahwa perempuan bebas dari diskriminasi di dalam sistem peradilan.
Namun pada kenyataannya, mendapatkan kesetaraan di hadapan hukum dan akses terhadap keadilan bagi perempuan, bukanlah suatu hal yang mudah, sehingga majelis hakim yang menvonis Baiq Nuril tidak mencermati alat bukti yang ada. Bahkan, menganggap alat bukti itu semata-mata lemah selama pemeriksaan di persidangan.
Memang hakim tidak hanya sekedar corong undang-undang, tetapi juga penegak hukum yang menggali keadilan yang hidup di masyarakat, karena keadilan ini seolah-olah hilang dalam putusan nomor 574 K/Pid.Sus/2018. Maka, korban yang harusnya dibela hak-haknya justru dijadikan terdakwa tanpa harus kemudian hakim berpikir guna tegaknya nurani hukum.
Hukum tidak hanya sekumpulan peraturan-peraturan yang dapat mempidana pelaku, tetapi dalam hal ini pelaku karena merasa ada tekanan psikologis. Dengan demikian, ia pun menyebarkannya. Maka dari itu, tujuan tegaknya suatu hukum tentu tidak lepas dari kemanusiaan yang adil.
Dari sisi kemanusiaan pun sudah tidak mampu diambil hakim sebagai segala resiko hukum yang tidak mungkin dihindari. Padahal, itu merupakan perangkat hukum yang melekat pada aspek nurani.
Pertimbangan majelis terkait dasar hukumnya meski tidak didasarkan pada keadilan itu sendiri. Paling tidak, hakim tidak mengacu pada tuntutan jaksa penuntut umum, sehingga potensial tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (common sense), meski peran hakim dikatakan sang penegak keadilan, keadilan dan hukumnya pun terpecah belah.
Padahal dalam hukum pidana kita sudah sangat lama mengenal istilah restorative justice systems, di mana substansi hukumnya ada dalam UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terkait perlindungan hukum pada anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Sedangkan, keadilan restoratif itu perlu ditegakkan pada perempuan juga sebagaimana dalam peraturan MA no. 03 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH).
Bahkan jika kita sadari dalam buku ditulis MA (Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum: 2018) mengatakan, “Tujuan MA dalam mengeluarkan peraturan ini agar para hakim memiliki acuan dalam memahami dan menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam mengadili suatu perkara.
Lebih jauh, Mahkamah Agung berharap melalui peraturan ini, secara bertahap praktik-praktik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan stereotip gender di pengadilan dapat berkurang, serta memastikan pelaksanaan pengadilan (termasuk mediasi di pengadilan) dilaksanakan secara berintegritas dan peka gender”.
Dari perspektif ini, restorative justice betul-betul normatif terkodifikasikan, hanya dalam praktiknya (putusan nomor 574 K/Pid.Sus/2018) menimbulkan persoalan. Apakah majelis hakim dalam perkara itu hanya meyakini tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) atau pada PERMA no. 03 tahun 2017 yang sudah ada? Hal ihwal ini penting agar masyarakat mengetahui.
Peran Institusi Negara
Karena hakim tidak mencapai putusan keadilan dan kemanfaatan hukum di dalam putusan itu, kehadiran Komnas Perempuanm dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkunham) mendorong kasus ini tidak hanya pada Presiden.
Tetapi ke Dewan Perwkilan Rakyat (DPR-RI), agar mendapat perlindungan hukum guna untuk masa depan penegakan hukum yang berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Alhamdulilah dengan hak prerogatif Presiden, amnesti telah diberikan langsung pada terdakwa (Baiq Nuril). Tinggal bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) nanti mengabulkan dan memberikan sinyal yang positif. Tanpa peran dari institusi terkait tentu penegakan hukum di negeri berpotensi melanggar PERMA yang telah diterbitkan.
Keterlibatan Komnas Perempuan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkunham), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), dan Presiden merupakan langkah progresif, sehingga tercipta suatu peran sinergis dalam postur penegakan hukum yang berkeadilan (justice) bagi setiap perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH).
Paling tidak, dari semua persoalan hukum terkait PBH dari sebelum-sebelumnya, tentu dapat kita jadikan sebuah pelajaran penting dari praktik sistem peradilan pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan, terutama setiap kasus kekerasan, dan pelecehan seksual yang masih memerlukan pengkodifikasian dalam RUU KUHP yang baru ini.
Penulis adalah peneliti dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.