Lontar.id – KH. Maimun Zubair kini telah berpulang untuk selamanya. Ia meninggal dunia pada pukul 04.17 waktu Mekkah di usia 90 tahun dan akan dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la.
Tak sedikit tokoh nasional yang turut berduka cita atas kepulangan Mbah Moen. Sebab ia bukan saja menjadi tokoh para santri dan keluarga Nahdlatul Ulama (NU), tetapi menjadi ulama besar dengan segala peranannya baik dalam konteks agama maupun di kancah perpolitikan Indonesia.
Ahmad Basarah selaku Wakil Ketua MPR RI turut berduka cita atas kepergian Mbah Moen. Mbah Moen disebutnya sebagai ulama sekaligus tokoh bangsa yang telah banyak memperjuangkan pondasi agama.
“Kita telah kehilangan ulama besar dan seorang tokoh bangsa yang perjuangan hidupnya menjadi panutan dan suri tauladan dalam mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas. Perjuangan Mbah Moen yang membumikan nilai-nilai religius dan kebangsaan itu juga telah menjadi tugas dan tanggung jawab MPR RI dalam dua periode terakhir ini,” ujarnya.
Almarhum Mbah Moen lahir 28 Oktober 1928 ini. Tepat saat pertama kalinya dicetuskan sumpah pemuda oleh tokoh pergerakan Indonesia. Sumpah pemuda diyakini merupakan kristalisasi dari tonggak sejarah berdirinya negara Indonesia. Di mana para pemuda dari berbagai keterwakilan daerah menegaskan kebhinekaan di bawah payung negara.
Mbah Moen sapaan karibnya merupakan sosok karismatik sekaligus ulama besar di Indonesia yang disegani, sehingga tak jarang elite politik yang sedang bertarung datang sowan terlebih dahulu ke Mbah Moen.
“Saya masih menyimpan sorban hijau ini — sorban yang dikalungkan sendiri oleh Kiai Haji Maimun Zubair.” Kata Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) lewat pernyataannya di Instagram pribadinya.
Jokowi menyebut, sudah dua kali dirinya berkunjung ke kediaman Mbah Moen di Pondok Pesantren Al-Anwar di Sarang. Dua kali pula ia diajak masuk ke kamar Mbah Moen.
“Terakhir, kami salat Magrib berjamaah di kamar itu. Beliau yang jadi imamnya. Dan hari ini, kita mendengar kabar duka, Mbah Moen berpulang ke hadirat Allah SWT di Makkah. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”
Kepergian Mbah Moen tidak saja sebuah kehilangan besar bagi Jokowi dan keluarga besar Pondok Pesantren Al Anwar Rembang, Jawa Tengah, tapi juga umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia.
“Semasa hidupnya yang panjang, Mbah Moen begitu karismatik, selalu jadi rujukan bagi umat Islam terutama dalam soal-soal fikih. Juga kegigihan almarhum dalam menyampaikan masalah “NKRI harga mati”. Atas nama keluarga dan rakyat Indonesia, saya menyampaikan duka cita yang mendalam. Semoga Allah SWT memberinya tempat yang lapang di sisiNya, dan segenap keluarga yang ditinggalkan kiranya diberi kekuatan dan kesabaran. Amin Ya Rabbal Alamin.”
Mbah Moen juga merasakan betul rivalitas Prabowo dan Jokowi saat kampanye Pilpres 2019. Salah satunya saat kedatangan Jokowi menemui Mbah Moen yang cukup menyita banyak perhatian publik. Mbah Moen sempat menyebut nama Prabowo dalam doanya, kemudian menjadi perdebatan hangat di media sosial.
Sang Kiai tetaplah manusia biasa yang tak luput dari salah. Ketenangan sikap dan perilakunya menunjukkan teladan bagi siapapun–termasuk bagi para politisi. Anjuran yang ia sampaikan sebagai ulama tak pernah mengesankan unsur politis. Meski ia sendiri juga merupakan seorang politisi.
Nasehatnya tak pernah didasari kepentingan pribadi ataupun kelompok. Bahkan, dualisme Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Romarhurmuziy dan Djan Faridz juga tak luput dari peran sentral Mbah Moen sebagai mediator menyelesaikan konflik internal partai berlambang kakbah itu.
Meskipun pada akhirnya kedua kubu ini menyelesaikan kasus dualisme di meja pengadilan, namun keterlibatan Mbah Moen sekaligus pendiri partai tak bisa diabaikan begitu saja. Ia hadir sebagai katalisator yang dianggap dapat menyelesaikan masalah. Keputusan yang bakal diambil PPP, terlebih dahulu akan meminta pertimbangan Mbah Moen, ini menunjukkan peran dan posisi strategisnya sebagai seorang politisi sekaligus ulama.
Posisi dan peran Mbah Moen di kancah politik Indonesia menarik diulik kembali, selain ia sebagai ulama besar yang banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan berdakwah di jalan agama, Mbah Moen juga merupakan salah satu tokoh sentral di politik.
Dalam masyarakat Jawa, ulama atau kiai merupakan tokoh dengan memiliki ilmu agama yang cukup luas. Pandangannya tentang sesuatu akan diikuti oleh pengikutnya dan dijadikan sebagai patokan oleh masyarakat luas. Jurnal In Right tulisan Siti Mu’azaroh, Cultural Capital dan Kharisma Kiai dalam Dinamika Politik: Studi Ketokohan K.H. Maimun menuliskan tentang krisis tokoh ideal di Indonesia.
Hal itu menciptakan masalah serius di pemerintahan karena terjadinya krisis kepercayaan oleh masyarakat. Masyarakat seakan tak percaya lagi dengan adanya legitimasi terhadap figur yang duduk di pemerintahan, karena hanya memanfaatkan karismatik ulama untuk meraih jabatan.
Ada juga yang menyebut dirinya sebagai tokoh agama, namun setelah terlibat dengan dunia politik dan berkecimpung di dalamnya, mereka justru melupakan tujuan awalnya sebagai tokoh agama karena tergiur dengan segala macam kenikmaan fasilitas sebagai pejabat negara.
Fenomena tokoh agama yang melibatkan diri pada urusan politik praktis yaitu pada pemilu 2019, di mana tokoh-tokoh agama ini berkecimpung dan berafiliasi dengan elit dan partai politik, sehingga anjurannya tidak lagi bermuatan agama melainkan sangat politis dan tendensius pada salah satu kandidat.
Ini juga melahirkan antipati masyarakat terhadap tokoh agama, yang awalnya sangat populer dan didengarkan namun akhirnya pelan namun pasti banyak masyarakat yang tidak lagi respek terhadap mereka.
“Kiai dalam persepsi kaum Jawa merupakan sosok pribadi yang saleh, mempunyai kelebihan yang berbeda dengan masyarakat biasa pada umumnya. Terutama adanya anggapan bahwa kiai adalah sosok yang sangat dekat dengan Tuhan,” tulis Siti Zuhro mengutip Imam Suprayoga, Kyai dan Politik, Membaca Citra Politik Kyai, (Malang: UIN Malang, 2009).
Berbeda dengan sikap Mbah Moen, meski keseharian sebagai seorang ulama atau kiai, Mbah Moen tidak seagresif tokoh agama kawakan saat ini, pandai berkoar dan cenderung melahirkan potensi perbedaan. Mbah Moen hanya salah satu tokoh agama yang dapat diterima secara luas, terutama pada mereka yang berbeda pilihan secara politik.
Ia tenang dan elegan pada siapa saja, ibarat pancaran air di tengah padang pasir, sangat menyejukkan. Kini, kita kehilangan tokoh sekaliber Mbah Moen yang dapat menjalankan dua peran sekaligus, sebagai tokoh agama sekaligus politisi senior yang meneduhkan. Yang di mana hal itu sulit dilakukan oleh para tokoh agama yang berkecimpung di politik, bukannya meneduhkan malah semakin mempertajam jurang perbedaan.
Penulis: Ruslan