Lontar.id – Wacana NKRI Bersyariah yang dihasilkan oleh Ijtimak Ulama IV Persaudaraan Alumni (PA) 212 pada 5 Agustus 2019, memicu lahirnya polemik berkepanjangan.
Bagi kelompok yang setuju dengannya, mendukung agar negara mengakomodir tuntutan mereka. Sedangkan kelompok yang tidak sepakat, menolak secara mentah-mentah.
Alasannya, karena NKRI dan ideologi Pancasila sudah mengandung nilai-nilai universal agama di Indonesia, terutama syariah yang diperjuangkan oleh PA 212.
Untuk mendapatkan perspektif tentang wacana NKRI Bersyariah, Lontar mewawancarai Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, Dr. Syahrir Karim. Berikut isi wawancaranya:
PA 212 melahirkan Ijtimak Ulama IV tentang NKRI Bersyariah. Apakah Indonesia seharusnya menggunakan sistem ini?
Saya melihat NKRI Bersyariah ini, saya anggap sebagai ilusi sebenarnya. Ilusi oleh sebagian banyak kelompok sesama Islam di negeri ini. Ini yang harus dipahami sesama muslim yang selalu menggulirkan wacana NKRI Bersayariah.
Bisa jadi kita menganggap NKRI Bersyariah baik, tapi di seberang sana (non-muslim) banyak melahirkan resistensi, kecurigaan dan ketakutan yang mereka alami.
Istilah syariah sudah tidak terlalu diterima oleh agama lain. Yang harus dipahami sesama muslim adalah, ada psikologi penerimaan oleh kelompok sebelah. Itu yang selalu resisten dan fobia dengan syariah. Karena tidak semua orang paham tentang konsep bersyariah yang sebenarnya, karena yang dipahami oleh agama lain itu adalah negara Islam.
Khilafah yang akan mendominasi Islam, itulah kekhawatiran dan ketakutan mereka. Saya anggap wajar apabila non-muslim merasa khawatir bila NKRI Bersyariah akan diberlakukan.
Itu yang harus kita respons sama-sama, jangan kita berjuang dan mengangap itu baik, tapi kita tidak pernah memahami psikologi kelompok sebelah.
Apakah di sesama muslim saja, istilah ini bermasalah?
Sangat bermasalah, karena wacana ini kan sudah selesai sejak era Cak Nur (Nurkholis Madjid). Bahwa “islam yes partai islam no” dan ada islam formalitas dan ada istilah islam substansial.
Islam yang formalitas ini yang hanya mengandalkan kulit luarnya saja. Simbol belaka. Sekarang bukan era itu lagi, tapi era bagaimana caranya mengaktualisakan Islam secara substansial dalam kehidupan bermasyarakat. Kita tidak harus berislam ala Arab.
Apakah ada relasi ideologi transnasional yang diperjuangkan?
Sekarang kan sudah era globalisasi, jadi ideologi transnasional itu tidak bisa kita bendung. Jadi apakah mereka ini termasuk ideologi transnasional, bisa jadi.
Kenapa, karena mereka yang mau membangun khilafah, tidak pernah ada di Indonesia, itu hanya ada di timur tengah sana, itu bagian dari ideologi transnasional.
Bagaimana cita-cita syariah ini seakan-akan selalu mau seperti Islam seperti di Timur Tengah sana, sebenarnya tidak perlu. Kalau mau lihat Islam timur tengah, itu kan salah juga ingin menyamakan dengan di Indonesia. Nah, apakah di Timur Tengah tidak ada korupsinya, wah banyak juga korupsi di sana.
Khilafah itu tidak menjamin korupsi itu tidak ada, negara bersyariah itu tidak menjamin adanya korupsi. Kalau kita membahas kembali sejarah kekhalifahan, mulai dari kekhalifahan Abbasiyah dan kekhalifahan Umayyah, banyak raja dan khilafah di masa mereka yang korupsi.
Intinya sekarang, bagaimana caranya sistem hukum Pancasila ditegakkan. Karena semua sila yang ada dalam pancasila kita, sudah mengandung nilai-nilai syariah, mulai dari sila pertama hingga sila kelima.
Kalau pancasila mengandung nilai syariah, kenapa mengusung NKRI Bersyariah?
Itu dia, mereka selalu memunculkan istilah syariah dan berpolemik pada simbol syariah saja, namun tidak mendiskusikannya secara substansi.
Jika ideologi negara dikaji dengan benar, maka kita akan menemukan nilai universal yang terkandung di dalamnya. Tidak saja nilai bagi agama Islam, tetapi agama-agama lainnya yang hidup di negara ini. Menurut saya, sudah saatnya kita mengkaji kembali pancasila dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang Anda sampaikan tadi, bahwa NKRI bersyariah adalah ilusi. Nah, apa yang perlu mereka lakukan?
Menurut saya yang perlu dikembangkan adalah bagaimana caranya membangun ekonomi umat, pendidikan berkualitas, perbanyak memberikan beasiswa untuk anak-anak Islam, pengentasan kemiskinan.
Tidak hanya sampai di situ, mereka yang tidak mampu secara ekonomi harus dibantu, dengan cara ini kita mampu menyiapkan sumber daya manusia yang punya kemampuan di bidang tertentu untuk menata masa depan.
Tetapi kalau kelompok ini hanya mengandalkan eforia mayoritas di negeri ini, maka jangan heran kelak kita akan menjadi penonton di negeri sendiri. SDM tidak mampu berkempetisi karena kita hanya berkutat pada perdebatan yang itu-itu saja.
Saya sih berharap, konsentrasi kita adalah bagaimana mengupayakan agar meningkatkan SDM, ekonomi dan pendidikan agar berkompetisi di global. Tapi, mereka ini selalu kembali ke masa lalu, membangun ilusi, tapi tidak peka terhadap masalah sosial yang ada.
Apakah ada potensi konflik horizontal ketika NKRI Bersyariah diberlakukan?
Bisa saja iya, karena itu memunculkan sebuah identitas baru, kalau ada identitas baru maka akan memunculkan sebuah ego politik yang selalu mengedepankan salah dan benar. Kebenaran personal atau kebenaran satu komunitas tertentu.
Kalau itu yang terjadi, maka akan muncul politik yang irasional, maka timbullah konflik horizontal. Karena hanya memunculkan identitas baru, membenarkan kelompok mereka dan menyalahkan kelompok yang lain. Akan muncul kesalapahaman dari keberagaman yang selama ini kita bangun bersama.
Kalau NKRI Bersyariah betul-betul dimunculkan, maka akan memecah belah persatuan yang kita pupuk selama ini. Saya anggap ini bisa jadi ancaman terbesar kita ke depannya.
Apakah NKRI Bersyariah bisa didompleng kelompok HTI?
Kalau ada anggapan bahwa apakah ini pintu masuk HTI ketika ada wacana NKRI Bersyariah, itu juga ada benarnya. Karena poin-poin yang dimunculkan oleh ijtimak ulama IV, itu adalah salah satunya membangun suatu negara yang berlandaskan syariah, yang betul-betul murni.
Semua sistem negara ini berdasarkan syariah, sebenarnya bersyariah itu barang yang sudah selesai ketika Piagam Jakarta dulu, karena di dalamnya sudah termaktub semua. Ada sila ketuhanan yang maha esa dan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya. Itu kan sudah dihapus.
Ketika sudah dihapus, wacana syariah itu tidak ada lagi. Tidak ada itu bukan berarti syariah itu tidak ditegakan. Lima sila dalam Pancasila sangat syariah sebenarnya, tidak satupun sila yang betul-betul bertentangan dengan syariah Islam.
Secara pribadi saya tidak mau kita hanya berkelahi di tataran kulit luarnya saja, tetapi kita tidak pernah tamat secara substansi. Inilah yang harus dipahami kelompok yang selalu berjuang wacana syariah ini.
Itu sebenarnya hanya sekadar ilusi oleh para penggeraknya, yang sebenarnya mereka tidak punya visi yang jelas bernegara itu seperti apa.
Dalam konteks NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, kalau kita mau memunculkan identitas tertentu, artinya kita sangat tidak paham dengan bagaimana Bhineka Tunggal Ika selama ini. Saya sepakat dengan pemerintah, NKRI Bersyariah ini betul-betul bisa merusak negara kesatuan kalau wacana ini terus dibiarkan.
Ditulis oleh Ruslan.