Lontar.id – Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab menyoal keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk Presiden Jokowi pada 28 Februari 2018 sebagai perumus arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, ke seluruh penyelenggara negara.
Apakah aktualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, melalui BPIP benar-benar dijalankan oleh pemerintah secara konsekuen?
Benarkah sejauh ini BPIP telah bekerja sesuai dengan filosofi dasar pembentukannya sehingga layak mendapatkan upah Rp100 juta setiap bulan?
Upah yang benar-benar tinggi, berkali-kali lipat gaji UMP Provinsi Jakarta, buruh maupun ASN. Dalam dua tahun saja, anggota BPIP dapat mengantongi gaji Rp2 miliar lebih. Upah yang amat besar bagi sebuah badan negara, tanpa prestasi dan nihil kerja.
Bila kinerjanya cukup signifikan dan memang sangat dibutuhkan adanya lembaga BPIP, mungkin saya anggap wajar saja mendapatkan upah sebesar itu.
Namun sangat disayangkan, sejauh ini tak pernah didengar perannya. Apalagi saat sentimen rasisme masih terus terawat di negeri ini, penyebaran hoaks di media sosial merajalela, perilaku birokrasi tersandung korupsi dan nepotisme.
Informasi penangkapan KPK terhadap bupati, DPR hingga sejumlah nama menteri Jokowi yang ikut tersandung kasus korupsi, merupakan bukti bahwa keberadaan BPIP memang tidak berjalan dengan baik.
Apalagi yang bisa diharapkan dari badan negara seperti ini yang tidak bekerja, selain menambah beban biaya negara? Apakah memang perlu dipertimbangkan untuk dibubarkan saja?
Jadi ke mana BPIP yang katanya bekerja membantu presiden merumuskan Pancasila, lalu menularkan pada birokrasi terutama masyarakat Indonesia.
Bila memang bekerja sesuai dengan amanah pertama kali dibentuk, maka hal yang saya sebutkan di atas paling tidak dapat diminimalisir terjadi. Tapi nyatanya justru berkebalikan pada fakta yang sebenarnya.
Maka kritik Habib Rizieq Shihab melalui siaran video pada Milad Front Pembela Islam ke-21, sangat relevan di tengah minus peran BPIP dalam kehidupan sehari-hari.
Rizieq dengan keras mengurai keberadaan BPIP yang justru tidak paham dengan esensi Pancasila. Bagaimana mungkin, sebuah badan negara dengan otoritas merumuskan dan mengaktualisasikan Pancasila, justru tidak paham akan esensinya.
Lebih parah lagi, ketika Pancasila sebagai dasar ideologi negara kemudian digeser maknanya menjadi pilar negara. Ideologi dan pilar negara memiliki makna yang berbeda. Ideologi merupakan seperangkat pandangan hidup masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring menyebutkan, Ideologi merupakan 1. konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. 2. Cara berpikir seseorang atau golongan. 3. Paham, teori dan tujuan yang merupakan suatu program sosial politik.
Sedangkan pilar diartikan sebagai tiang penguat, dasar (yang pokok). Berdasarkan penjelasan tersebut, dasar negara dan pilar negara punya makna lain.
“Lebih parah lagi, rezim yang tidak paham hakikat Pancasila ini telah membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang disingkat BPIP. Dengan anggota yang juga tidak paham esensi Pancasila, tapi digaji lebih dari Rp100 juta rupiah per bulan. Tiap anggotanya hanya untuk menonton dagelan pengkhianatan pergeseran Pancasila dari dasar negara menjadi pilar negara,” kata Rizieq.
Rizieq kini telah masuk dalam diskursus bernegara, ia ingin mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana dirumuskan oleh bapak pendiri bangsa, ketimbang hanya dijadikan pilar negara.
Ia menuding BPIP sebagai kelompok yang tidak paham terhadap dasar negara, sehingga layak untuk dibubarkan saja. Sekarang, Pancasila harus didudukkan sebagaimana awalnya dibentuk, sebagai perangkat cara pandang bangsa Indonesia secara menyeluruh.
Editor: Almaliki