Lontar.id – Bendera Bintang Kejora berkibar di depan Istana Negara Merdeka. Setidaknya ada empat bendera yang diikatkan di tiang bambu berukuran panjang.
Bendera itu dikibarkan oleh sejumlah mahasiswa asal Papua dalam rangka menolak perlakuan diskrimatif dan rasisme, Rabu (28/8/2019) kemarin.
Pengunjuk rasa ini tergabung dalam organisasi AMPTPI, IPMAPA se-Jabodetabek, Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua.
Di sana, mereka mengusung tema Mahasiwa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme. Sebagian di antara mahasiswa Papua menggambar bagian wajahnya dengan cat bergambar bendera Bintang Kejora. Juga pada baju yang dikenakan.
Sambil menari mengelilingi bendera, mahasiswa Papua menyanyikan lagu Papua Merdeka. Bendera Bintang Kejora merupakan simbol gerakan perlawanan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Mereka menuntut agar dilakukan pemisahan wilayah melalui referendum, karena mereka bisa dengan bebas menentukan nasibnya sendiri.
Masyarakat Papua sebelumnya pernah melakukan penandatanganan petisi, kemudian diserahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh pemimpin separatis Papua, Benny Wenda.
Usaha itu pada akhirnya menuai jalan buntu, karena PBB tak punya kewenangan mengurus keinginan separatis Papua memisahkan diri dari Indonesia.
Penguasaan wilayah atas Papua, masih dianggap sebagai salah satu bentuk dari kolonialisme gaya baru. Dari sana, lahirlah apa yang mereka sebut sebagai perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat Papua.
Sumber daya alam Bumi Cendrawasih dikeruk habis, masyarakatnya direpresi oleh aparat. Semuanya tindakan brutal masih terus mereka alami hingga sekarang.
Hanya saja, tindakan itu tidak mendapatkan sorotan dari media nasional maupun internasional, karena dibatasi oleh pemerintah yang berkedudukan di Jakarta.
Mahasiswa Papua mengklaim perlakuan diskrimatif tersebut adalah pelanggaran terhadap atas hak asasi manusia yang harus dihentikan secepatnya.
Mereka menganggap, tak ada cara lain untuk menghentikan rasisme, kecuali memberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan sendiri nasibnya, yaitu berpisah dengan Indonesia.
Dengan begitu, masyarakat Papua akan memiliki martabat dan kepribadian sendiri, tanpa ejekan yang mencemooh sebagai bangsa yang berbeda.
Masyarakat Papua mengklaim, tindakan rasisme yang mereka alami berbeda halnya dengan etnis Tionghoa yang telah lama bercokol di Indonesia.
“Karena rasialisme terhadap Papua berakar pada kepentingan kolonialisme untuk menghancurkan karakter dan kepribadian orang Papua, demi melapangkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran” seperti dikutip dalam pernyataan sikap mahasiswa Papua.
Puncak dari kemarahan masyarakat Papua, karena sejumlah oknum ormas dan aparat keamanan merepresi dan rasis kepada mereka di Surabaya. Tindakan itu membawa luka mendalam.
Akibat dari perlakuan itu, masyarakat Papua melakukan aksi besar-besaran. Massa yang awalnya damai kemudian berubah menjadi amukan. Gedung DPRD dan pasar dibakar, jalan raya lumpuh total dan fasum dirusak.
Setelah kejadian itu, masyarakat Papua menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang tak serius menyelesaikan permasalahan Papua. Jokowi hanya menekan agar mau memaafkan begitu saja atas perlakuan rasisme.
Ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang membatasi akses internet di Papua. Tindakan tersebut seolah membenarkan bahwa Papua memang berbeda dengan daerah lain.
Coba lacak saja setiap aksi demonstrasi di luar Papua, pemerintah tidak melakukan pemblokiran akses internet. Tindakan tersebut diklaim membenarkan anggapan selama ini, bahwa Papua memang berbeda.
Lebih kurang seminggu setelah kejadian kerusuhan, Jokowi mengirim 1200 personil keamanan ke Papua dan Papua Barat. Belum diketahui pasti alasan Jokowi mengirim personil sebanyak itu, jika hanya untuk mengamankan kondisi di Papua yang mencekam, mengapa harus sebanyak itu.
Mereka beranggapan ada skenario lain yang sedang dilakukan, menambah personil di tanah Papua tidak akan menghentikan dan menyelesaikan permasalahan, kecuali menambah memperkeruh masalah.
Masih dalam pernyataan sikap mahasiswa Papua, pada poin ke 10 disebutkan, “Berikan hak penentuan nasib sendiri untuk mengakhiri rasisme dan penjajahan di West Papua.”
Editor: Almaliki