Lontar.id – Kerusuhan yang terjadi di Jayapura sepekan terakhir ini terlihat turun intensitasnya, bila dibandingkan dengan puncak kemarahan warga Papua saat membakar sejumlah gedung dan fasilitas umum.
Mengamuknya warga Papua memang beralasan, karena tindakan rasisme segelintir oknum aparat keamanan dan organisasi massa yang menggeruduk kompleks asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Mereka diperlakukan tidak manusiawi, memebrondol masuk dengan tembakan gas air mata, padahal mahasiswa di dalam asrama tidak melakukan perlawanan. Hingga kata-kata kasar pun keluar dari mereka.
Warga Papua yang tidak terima dengan tindakan rasisme, mengutuk pihak-pihak yang secara sengaja menghina mereka. Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pemerintah, bahkan Presiden Jokowi menganjurkan agar mereka mau rendah hati memaafkan.
Memaafkan orang yang telah melukai diri kita memang tidak sulit dilakukan, namun bagaimana dengan orang menghina identitas suatu kebudayaan tertentu seperti Papua? Apakah dengan hanya memaafkan semua masalah selesai?
Saya kira tidak semudah itu karena tindakan rasisme bukan saja melukai satu atau dua orang saja, melainkan banyak orang yaitu suku bangsa. Seharusnya, sejak awal aparat keamanan bergerak cepat mengamankan oknum pelaku rasisme dan dikenai hukum yang berlaku.
Tak berselang lama, amukan massa pun terjadi, Gedung DPRD di bakar, pasar ludes dilalap si jago merah, fasilitas umum dihancurkan dan korban pun berjatuhan.
Saat seperti itu, tak semua informasi tentang kerusuhan Papua dapat diakses publik, lantaran pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), memblokir akses internet.
Praktis, informasi hanya datang sepihak, dari corong pemerintah. Yang benar hanya datang dari sana, karena tak ada perimbangan informasi yang jelas tentang konflik.
Jika publik tak menyaring informasi yang masuk, maka apa yang muncul dari corong kekuasaan, hanya itulah satu-satunya informasi yang valid. Benarkah demikian atau ada informasi yang krusial tapi tidak dimunculkan ke publik?
Kerusuhan di Papua malah dituding karena adanya penyebaran informasi hoaks di media sosial, terutama dari alamat luar negeri. Demikian juga dengan kelompok organisasi seperti United Liberation Movement for West Papua (ULWMPP) dan Komite National Papua Barat (KNPB), yang diduga mengompori situasi di Papua termasuk sebagai dalang untuk memengaruhi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Aktor utamanya adalah Benny Wenda pemimpin kelompok sepatisme Papua yang kini mendapatkan suaka di Kerajaan Inggris. Jika menelisik lebih jauh ke belakang, Benny Wenda sudah melakukannya dengan mengajukan pemisahan diri dengan Indonesia di Dewan Kehormatan PBB.
Kerusuhan di Papua tidak berdiri sendiri. Rasisme terhadap mahasiwa Papua di Surabaya hanyalah bagian dari puncak gunung yang terlihat secara kasat mata, namun masalah ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, kesejahteraan, tenaga kerja dan ketimpangan ekonomi adalah segunung masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Belum lagi hasil sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran di Bumi Cendrawasih, namun tidak sejalan dengan pemerataan ekonomi. Hal ini melahirkan sentimen negatif, sehingga warga Papua meminta memisahkan diri dengan Indonesia.
Adapun kerusuhan sepekan lalu, merupakan klimaks dari keinginan Orang Asli Papua (OAP) untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri.
Apa yang harus dilakukan untuk melerai konflik Papua dan mengakhiri tindakan rasisme? Pendekatan yang paling utama yang harus diambil oleh pemerintah, yaitu dengan melakukan dialog dengan kepala suku yang dituakan, dialog tersebut harus memberikan kesempatan pada warga Papua untuk mengelola sendiri sumber daya alamnya atau paling tidak memberikan porsi paling tinggi dalam memanfaatkan daerahnya.
Selain itu pemerintah tidak sekadar gencar membangun infrastruktur dan menggelontorkan anggaran melalui otonomi khusus, namun tidak tepat sasaran. Infrastruktur memang penting untuk mobilitas perekonomian, tapi membangun jalan tol, saya kira tidak tepat di Papua.
Seharusnya, pemerintah mulai berpikir bagaimana caranya membangun dan mengelola industri kreatif, dengan begitu anggaran negara tidak saja habis untuk pembangunan fisik melainkan menyasar ke bawah masyarakat.
Pemerintah juga jangan menggunakan pendekatan militer untuk menekan OAP. Semakin mereka ditekan, maka semakin melahirkan perlawanan dan kepingin untuk memisahkan diri akan semakin dikobarkan.
Tentu peran pemerintah saja tidaklah cukup, melainkan harus adanya kesadaran warga sipil di luar Papua yang melihat mereka sebagai suatu bangsa yang sama dalam naungan NKRI. Jika perbedaan warna kulit membuat kita berbeda dan rasisme masih terus terawat dalam diri kita, maka selama itu pula konflik tak akan terselesaikan.
Editor: Almaliki