Banyak pihak mendukung terhadap revisi UU KPK agar lembaga anti rasuah tersebut lebih baik kedepannya. Hal ini juga agar KPK semakin profesional dalam lakukan penegakan korupsi di Indonesia.
“Sudah seharusnya masyarakat mendukung penuh revisi UU KPK, yang bertujuan untuk KPK yang lebih baik dan berintegritas,” demikian disampaikan salah satu warga masyarakat bernama Iqbal.
Menurutnya, bahwa revisi UU KPK akan memerkuat lembaga tersebut dalam pemberantasan korupsi, bukan malah melemahkan. Saat ini, menurutnya, bagaimana porsi pencegahan dibesarkan kewenangannya. “Dengan pencegahan inilah korupsi akan bisa hilang. Korupsi terus tumbuh, dan harus ada pencegahan di sana,” cetusnya.
Ada beberapa point penting kenapa harus mendukung penuh revisi UU KPK demi KPK yang lebih baik, tegas, berintegritas dalam pemberantasan korupsi. KPK wajib diawasi agar para penyidiknya tidak liar.
Revisi UU KPK mengakomodir semangat pencegahan, koordinasi, dan kerja sama antar lembaga penegak hukum.
Kemudian, dukung penuh kinerja panitia seleksi pimpinan KPK. Dukungan tersebut agar pansel dapat menemukan calon pimpinan KPK yang berani dan dapat menjadi tumpuan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara ini. “Harapan kami adalah korupsi benar-benar habis total. Minimal budaya tidak korupsi harus dikembangkan. Dengan cara itulah permasalahan korupsi bisa selesai,” cetusnya.
Dilain pihak, Eks Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji mendukung rencana pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.
Hal itu dikemukakan Indriyanto Seno merespons salah satu pasal krusial dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terkait pembentukan dewan pengawas. Indriyanto menjelaskan di tengah iklim demokrasi yang berjalan di Indonesia saat ini, sangat wajar bila tiap lembaga negara, terlebih lagi lembaga ‘superbody’ seperti KPK membutuhkan pengawasan yang melekat.
“Tentang Dewan Pengawas adalah sesuatu yang wajar. Karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, disyaratkan ada badan pengawas yang independen, MA dengan KY, Polri dengan Kompolnas, Kejaksaan dengan Komjak,” kata Indriyanto.
Indiyanto sendiri menilai revisi UU KPK oleh DPR ini sudah memenuhi pendekatan filosofi keadilan restoratif. Pendekatan ini, kata dia, menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata soal memberikan efek jera.
Menurutnya, pola dan cara penindakan dengan efek jera tidak memberikan manfaat pengembalian optimal keuangan negara saat berkaca pada kasus korupsi yang ditangani KPK sampai hari ini.
“Karena itu filosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama,” kata dia. Tak hanya mendukung Dewan Pengawas, Indriyanto juga menyoroti proses penghentian penyidikan atau biasa disebut SP3 yang selama ini tak dimiliki KPK. Kewenangan mengeluarkan SP3 ini, kata dia, bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. SP3 juga bisa diterapkan dalam kondisi yang sifatnya limitatif dan eksepsional.
“Misalnya saja seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen [tidak layak diajukan ke pengadilan] maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya,” kata dia.
Di sisi lain, Indriyanto menekankan munculnya penolakan dari masyarakat sipil atas revisi UU KPK semata-mata karena perbedaan persepsi. Masyarakat sipil itu, kata dia, masih memiliki persepsi bahwa pemberantasan korupsi harus dengan pendekatan efek jera.
Menurutnya, draf revisi UU KPK yang disusun oleh DPR tanpa menghilangkan pola penindakan KPK sudah sesuai untuk prospek ke depan. Ia menyatakan tidak perlu dicurigai dan khawatir dengan rencana revisi UU KPK tersebut. “Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini,” ujarnya.