Lontar.id – Stigma negatif dan diskriminasi terhadap kaum transgender di Indonesia, tidak dapat dimungkiri, masih sering ditemukan. Gampang saja mendeteksi bentuk-bentuk diskriminasinya.
Dalam urusan mendapatkan pekerjaan, kaum waria khususnya, kerapkali ditolak. Saya pribadi tidak pernah menemukan mereka, misalnya, bekerja sebagai penjaga karcis, pelayan di restoran, pendiri warung atau pekerja kantoran.
Kerja mereka lebih banyak berkutat di salon atau tempat prostitusi, dengan penghasilan yang rendah dan ancaman kehilangan pekerjaan, serta kekerasan yang rentan didapatkan.
Tidak sedikit dari mereka yang pasrah menerima kondisi yang mendiskriminasi. Namun, bukan berarti tidak ada satu dari mereka yang tidak bergerak memperjuangkan hidupnya sebagai transgender.
Shinta Ratri adalah salah seorang waria. Sosoknya semakin dikenal karena keberaniannya mempertahankan pesantren khusus waria Al-Fatah yang dipimpinnya, di Yogyakarta, setelah beberapa kali dikecam.
Saya mewakili tim Lontar berkesempatan mengunjungi pesantren Al-Fatah, pesantren khusus waria yang berdiri sejak tahun 2008. Di Yogyakarta, pesantren tersebut terletak di daerah Kotagede.
Awalnya saya kesulitan menemukan tempatnya karena tidak ada informasi yang menjelaskan secara detail alamatnya. Setelah berjalan dan tersesat beberapa kali, pula bertanya kepada warga, akhirnya saya menemukan gang kecil, jalan menuju pesantren Al-Fatah.
Saat tiba, kami langsung diterima dengan sambutan hangat dan segera dituntun untuk makan siang bersama. Saat itu, tim pesantren sedang menerima tamu dari Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI).
“Kalau rezeki tidak boleh ditolak,” ucap Shinta sembari menuntun saya menuju meja makan.
Sembari makan, saya juga bertemu dan berkenalan dengan santri lain
yang tidak hanya berasal dari Jawa, namun ada yang datang dari Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan.
Setelah menjamu para tamu yang berkunjung tadi, saya kemudian mendatangi Shinta dan meminta kesiapan untuk diwawancarai. Saya banyak bertanya tentang kehidupan pribadi, pandangannya tentang Islam dan gender, serta perjuangannya mempertahankan pesantren Al-Fatah.
Pesantren Al-Fatah berdiri pertama kali pada tahun 2008 dan sempat digusur oleh Forum Jihad Indonesia (FJI) pada tahun 2016. Al-Fatah lalu bangkit kembali. Upaya-upaya apa yang Anda lakukan untuk mempertahankannya?
Mayoritas masyarakat belum menerima identitas waria. Sejak kecil saya di sini, sehingga masyarakat sudah tahu. Respons masyarakat baik-baik saja, karena saya memiliki tanggung jawab di sini untuk menjaganya.
Saya tahu, membangun pesantren ini berarti memulai dari nol, karena saya harus merangkul teman-teman waria yang lain. Saya tahu apa yang saya lakukan benar. Untuk merebut ruang demokrasi kami, maka saya merelakan ruang privasi saya untuk ruang publik.
Setelah penggusuran itu, empat bulan kemudian, kami bisa beribadah kembali, walau dengan nekat. Tapi, sebetulnya mereka itu (FJI) memengaruhi masyarakat agar berjarak kepada kami.
Tapi, kami mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sedikit demi sedikit, masyarakat percaya kembali degan melihat aktivitas kami yang jauh dari prasangka yang sebelumnya mereka keluhkan.
Salah satu yang menguatkan kami, adalah Ibu Gubernur. Ia menjamin keamanan, meski belum resmi. Walau demikian, setidaknya beliau telah mengakui keberadaan kami.
Bagaimana soal pembiayaan pesantren ini?
Untuk pembiayaannya dari simpatisan-simpatisan. Kami juga bekerja sama dengan organisasi lokal, nasional dan internasional seperti APTN (Asia Pacific Transgender Networking), kalau nasional ada ABK (Alinsi Bhineka Tunggal Kita), ada Suarakita yang berupa situs yang memberikan informasi tentang transgender dan Arus Pelangi. Kalau lokal, yaitu dengan LBH, UKDW, Fakultas Ushuluddin, Fisipol UGM.
Selain menjadi santri, apakah mereka juga ikut bekerja?
Iya, mereka cari uang masing-masing. Kami hanya memberikan pelajaran dan pencahayaan, karena teman-teman waria butuh juga mengekspresikan keimanannya.
Apakah ada santri yang merupakan non-muslim?
Iya, ada.
Bagaimana para santri waria melaksanakan ibadah salat? Maksud saya, apakah mereka menggunakan mukenah atau sepeti apa?
Tergantung. Kalau mereka merasa nyaman dengan mukenah, ya silakan. Kalau nyaman menggunakan sarung, ya silakan. Sebab salat itu urusan masing-masing, tergantung nyamannya mereka, agar dapat salat secara khusyuk.
Sejauh yang Anda pelajari, di mana posisi waria atau transgender dalam Islam?
Transgender itu adalah tubuh-tubuh laki-laki dengan jiwa perempuan. Jadi mereka seperti terperangkap dalam tubuh laki-laki. Ehmmm, seorang waria itu fisiknya laki-laki, tapi jiwanya perempuan. Kemudian itu terekspresikan keluar, ya sebagai perempuan.
Jadi, kalau kita mendefinisikan transpuan adalah mereka perempuan secara sosial dalam masyarakat. Itu tertuang dalam Komnas Perempuan, bahwa waria adalah perempuan secara sosial dan urusan HAM-nya ikut ke dalam Komnas Perempuan.
Adapun dalam agama, kita memahami dari individunya masing-masing. Kalau saya sendiri, saya merasa perempuan dan secara sosial, di arisan Ibu-Ibu, pokoknya habluminannas ini saya sebagai perempuan.
Apakah saya boleh bertanya tentang kehidupan pribadi Anda?
Ya.
Sejak kapan Anda menyadari bahwa Anda ini seorang perempuan?
Sejak kelas 5 SD. Bahkan seorang waria itu, tangisan pertamanya sudah terlihat sebagai tangis bayi perempuan. Akan tetapi, saya baru bisa mengeekspresikannya sebelum TK. Misalnya ketika saya ikut main boneka. Di situ terlihat.
Misalnya juga kalau didekati laki-laki, perempuan kan biasanya menjauh, nah saya juga ikut seperti mereka. Kalau cowok kencing berdiri, saya kencing jongkok. Saya waktu SMP juga sudah diikutkan kelompok olahraga perempuan.
Apakah Anda mendapatkan risakan?
Waria tidak akan kena risak kalau punya prestasi di sekolah. Kedua, kalau keluarga menerima, apalagi saya berasal dari keluarga terpandang. Hal-hal itu yang mempengaruhi juga kenapa saya tidak dirisak. Saya mewakili sekolah untuk cerdas cermat, saya meminjamkan teman-teman kelas saya PR sehingga mereka merasa membutuhkan saya.
Bagaimana respons keluarga Anda?
Menerima. Jadi begini sebenarnya, orangtua itu kan melihat perkembangan anaknya sejak kecil. Begitu pun dengan saudara-saudara kita yang hidup bersama. Mereka hanya pernah bertanya sekali, “mau sampai kapan kamu seperti ini?” Lalu, saya jawab, “seperti apa maksudnya?” Mereka bilang, “ya jadi waria ini.”
Saya katakan kepada mereka, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Kalau boleh memilih, saya juga ingin menjadi laki-laki atau perempuan. “Seperti kamu dan kamu,” saya katakan itu, sembari menunjuk saudara-saudara saya.
Akhirnya, dari situ mereka mulai paham, bahwa nanti kalau saudara saya sudah menikah dan punya anak, mereka akan memanggil saya dengan sebutan Bude.
Bagaimana dengan hubungan asmara Anda?
Saya pernah dua kali menikah. Suami pertama saya pergi menikah dengan perempuan lain, tapi saya mengizinkan, karena dia juga perlu berketurunan.
Apakah Anda punya keinginan untuk menjalin hubungan serius lagi?
Tidak menutup, tapi saya memilih untuk fokus mengembangkan ini “pesantren” saja.
Kalau boleh tahu hobi Anda apa?
Saya suka menulis.
Apa harapan Anda ke depannya?
Para waria diberikan ruang. Pernah suatu waktu, teman-teman waria melakukan bakti sosial tapi dibubarkan karena polisi takut ada FPI, dsb. Jadi bagaimana waria bisa berkonstribusi jika tidak diberi ruang?
Editor: Almaliki