Revisi UU KPK bukan rencana baru. Bukan tiba-tiba. Niat itu sudah ada sejak DPR periode lalu (2009-2014). Namun gagal, tetapi tidak padam. Rencana itu kembali muncul sejak DPR periode 2014-2019 dilantik.
Usulan revisi selalu dari DPR. Tetapi tidak pernah bisa dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui menjadi usul inisiatif DPR. Kerasnya aksi penolakan masyarakat adalah penyebabnya. Publik menilai, revisi tiada lain dari upaya pelemahan KPK.
Usulan kali ini pembahasannya super kilat, yakni hanya memerlukan waktu 10 hari. Mulai dari pembahasan di Badan Legislatif sebagai pengusul hingga diputuskan sebagai usul inisiatif DPR lewat paripurna. Respon pemerintah pun sama. Cepat. Bahkan sangat cepat. Mungkin ini yg membuat publik bertanya tanya. Tepatnya curiga.
Kecurigaan publik bahwa revisi adalah upaya pelemahan KPK, mungkin tidak seluruhnya benar. Tetapi tentu tidak seluruhnya juga salah.
Baca Juga: Dukung Revisi UU KPK, Untuk Lebih Baik dan Berintegritas
Namun, jika revisi UU KPK betul merupakan upaya pelemahan KPK, maka ungkapan dalam bahasa Prancis l’histoire se rèpetè (sejarah itu selalu berulang), adalah kata yg tepat.
Sejarah mencatat bahwa lembaga pemberantasan korupsi sudah dibentuk silih berganti. Dan sejarah juga mencatat, berbagai lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk, selalu kandas di tengah jalan.
Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN) adalah lembaga anti korupsi yg pertama lahir. BAPEKAN awalnya bekerja efektif. Beberapa kasus korupsi hingga ke tingkat kecamatan berhasil dibongkar. Tetapi ketika badan yg dipimpin Sultan Hamengku Buwono IX mengusut dugaan korupsi proyek infrastruktur persiapan Asian Games, mulai timbul masalah, banyak pihak, terutama mereka yang ada di pusat-pusat kekuasaan merasa terganggu. Selain itu, BAPEKAN mendapat “saingan” dari Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN).
PARAN diketuai Jenderal AH. Nasution dan dibentuk untuk memberantas korupsi yg banyak dilakukan tentara. Seperti diketahui, perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, umumnya dipimpin oleh perwira-perwira militer.
PKI yang menjadi saingan utama AD saat itu, menggoreng isu tersebut. AD pun gerah dibuatnya. PARAN mewajibkan para pejabat melaporkan harta kekayaannya. Banyak pejabat membangkang dan tidak melaporkan hartanya. Akhirnya lembaga ini dibubarkan. Diganti badan baru.
Komando Tertinggi Retooling Aparatur Negara (KONRAR) kemudian dibentuk sebagai pengganti PARAN. Lembaga ini dipimpin Subandrio, namun seperti halnya PARAN, KONTRAR dinilai tidak jelas. KOTRAR pun bubar seiring tumbangnya rezim Orde Lama (Orla).
Orde Baru (Orba) muncul dengan semangat anti korupsi. Untuk membuktikan komitmennya, Pak Harto membentuk TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Tim ini dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto. Awalnya berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi di berbagai instansi pemerintah. Tapi ketika mulai menyentuh dugaan korupsi kelas kakap di Pertamina, Bulog dan Departemen Kehutanan, lembaga ini pun digoyang. Akhirnya TPK dibubarkan. Sebagai gantinya, pemerintah membentuk badan baru, KOMISI EMPAT
Disebut demikian karena beranggotakan 4 orang yg terkenal bersih. Wilopo sebagai ketua dengan anggota Prof. Johannes, IJ. Kasimo, dan A. Tjokroaminoto. Sementara Moh. Hatta ditunjuk sebagai penasehat. Komisi ini hanya berusia 6 bulan ketika mulai gencar mengusut kasus korupsi di pertamina, komisi ini pun dibubarkan.
Pada masa diturunkannya Pak Harto dan BJ. Habibie menjadi presiden, pemerintah kembali melakukan upaya pemberantasan korupsi, yakni dengan membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Para penyelenggara negara diminta membuat laporan kekayaan. Seperti yg dilakukan PARAN. Ketika Habibie berhenti jadi presiden, nasib KPKPN juga menjadi tidak jelas.
Gus Dur yg terpilih menggantikan Pak Habibie membentuk TGPTK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tim yg dibentuk berdasarkan Inpres ini, fokus mengejar koruptor yg minggat ke luar negeri. Legalitasnya dipersoalkan. MK kemudian membubarkannya karena dinilai berbenturan dgn UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain lembaga anti korupsi, ada pula beberapa kegiatan pemberantasan korupsi. Ada Operasi Budhi di masa Orla. Ada Operasi Tertib di masa Orba. Dan sekarang ada Saberpungli (Sapubersih pungutan liar). Dua yang pertama berakhir tanpa jelas. Sementara Saberpungli nyaris tak terdengar.
Catatan penting yg dapat dipetik:
1. Semangat anti korupsi menggebu di awal. Kian lama kian meredup.
2. Ketika yangg disasar koruptor kelas teri, maka keberadaan lembaga anti korupsi aman-aman saja. Manakala sudah menyentuh kepentingan pusat-pusat kekuasaan, masalah mulai timbul.
Begitulah pola yg terjadi dan terbukti sejarah memang selalu berulang. L’Histoire se Rèpète
Penulis: Muchtar Luthfi Mutty (Anggota DPR RI)