Lontar.id – Ini perandaian semata. Permisalan jika aku memakai seragam coklat yang gagah, menutup tubuh kekarku dengan kemeja dan rajin sekali hormat bendera.
Pada akhir September, negaraku diinformasikan sedang genting. Demonstrasi di mana-mana. Anak-anak muda seumuran putra kawanku, ikut menggalang kekuatan untuk bersuara soal undang-undang banal.
Contohnya seperti, jika kaumengkritik presidenmu, maka kau akan dipenjara. Tetapi undang-undang itu, bisa melebar seperti karet. Kritik bisa dianggap penghinaan.
Pimpinanku menginstruksikan untuk menjaga keamanan negara. Berdiri paling depan bersemuka mahasiswa, menjaga mereka, mana tahu ada keributan, aku bisa menghentikannya tanpa kekerasan. Tanpa kekerasan.
Sebelum pergi di medan laga, kucium tangan ibuku. Kukecup dahinya dan bilang, “Aku pergi dulu ya, Bu. Doakan aku. Hari ini aku punya tugas yang cukup berat, Bu. Menjaga aksi massa yang gelombangnya besar sekali. Hampir di tiap provinsi negara.”
Ibuku, seperti biasa, memegang tanganku dan mengelus kepalaku seperti anak kecil, yang hendak bermain bola di lapangan tanah merah, dekat rumah. “Pergilah, Nak. Doa Ibu selalu mendampingi tugas muliamu.”
Aku pergi dengan hati yang tenang dan pikiran yang berisi, “Apa yang akan kuhadapi nanti saat berhadap-hadapan dengan mahasiswa.” Hari itu, kostumku lengkap dengan pentungan dan helm pelindung.
Aku sudah berada di hadapan mahasiswa. Mereka berdemo, berteriak pakai megaphone, mengibarkan bendera, memakai almamater kampusnya. Tak ada yang mengangguku.
Banyak wartawan di sekelilingku. Ada yang membawa kamera dengan lensa yang besar. Aku tahu itu pasti berat. Tugas mereka mengintaiku dari jauh. Dalam hati aku berujar, aku harus baik. Muruah kesatuanku nomor satu: mengayomi masyarakat.
Entah mengapa, seorang yang entah siapa, mahasiswa atau provokator, atau bisa jadi mahasiswa provokator, melempariku. Kawan-kawanku mulai bergerak maju. Aku juga.
Mahasiswa di depanku sudah tak karuan barisannya. Mereka berteriak. Ada yang lari, ada yang tetap berbaris dan menyanyikan yel-yel. Wartawan yang lengkap dengan tanda pengenal, mendekat.
Kami terus maju. Demonstran yang terus berteriak, disikat oleh kawan-kawanku. Mereka berjibaku. Dadaku bergetar. Jantungku memompa lebih cepat. Aku agak ketakutan sekarang.
Kalimat yang tak mengenakkan hati kudengar dari massa aksi. Emosiku membuncah. Akal sehatku mulai berhamburan. Tidak tetap seperti bagaimana awalnya aku tiba di tempat perkara itu.
Aku mengambil kerah baju seorang demonstran saat itu. Dia, yang terus berteriak, pucat mukanya. Wartawan terus menyorot tindakanku. Mereka merekam atau mengambil gambar, entahlah.
Ingin sekali aku memukul kepalanya. Kucabut pentungku yang tercantol di celana coklatku. Tapi aku sadar, aku pengayom. Jika Ibuku atau istriku atau anakku nanti dipukuli, maka aku takkan suka.
Akhirnya aku hanya mengamankan seorang demonstran yang bacotnya bukan main itu. Mengamankan di sini berarti kujauhkan dari massa. Sebab aku tak ingin, kawanku atau massa lain, menambah keruh suasana.
Kubisiki di telinga seorang demonstran, “Jaga mulut, Dik. Saya juga manusia, Adik juga. Hormati tugasku, kuhormati pula kau. Jangan begitu, nanti kau dipukul orang, baru tahu rasa. Hakmu bersuara, kewajibanmu menjaga perasaan orang lain.”
Seorang demonstran itu meminta maaf. Ia mengulurkan tangannya padaku. Ia tersenyum kecut dan mukanya ketakutan. “Maaf, Bang. Maaf sekali. Saya tak sadar. Saya berlebihan. Maafkan saya, Bang.”
Aku tak menjawabnya. Aku menyuruhnya untuk duduk di tempat steril, yang jauh dari titik aksi. “Diam saja kau di situ! Ingat ya, kau diam! Sementara kau di sini dulu sampai situasi kondusif.”
Wartawan yang daritadi mengabadikan tindak-tandukku, tak kuapakan. Aku merasa tidak bersalah. Aku sudah melakukan standar yang memanusiakan manusia. Aku ingat Ibuku dan keluargaku, jika aku memukulinya.
Ibuku mendidikku untuk berbaik hati. Tidak ringan tangan seperti menghajar orang. Tidak kasar dalam berbicara. Ibu mengajarku sabar sesuai batas. Oh, Ibu…
Andai pihak kepolisian seperti yang kupikirkan dalam angan-anganku itu, mungkin aku takkan menulis cerita ini. Anggap saja ini pengingat mereka.
Seorang kawanku, jurnalis Antara, Darwin Fatir namanya, baru saja dikeroyok komplotan polisi beringas saat meliput aksi di DPRD Sulsel, 24 September 2019. Kepalanya robek, bibirnya pecah. Tangannya lebam dan dadanya sesak. Baju putihnya kotor karena sepatu.
Dalam sebuah video, ia berteriak lemah. Ia memegang kepalanya. Di sampingnya, ada Lody Aprianto. Jurnalis dari Tagar. Darwin dibopong. Kawan-kawanku di Makassar, membawanya menepi.
Jikalau ada kesempatan, ingin kudatangi orang-orang yang memukuli Darwin itu. Ingin kutanyai mereka, apa salah kawanku, mengapa sampai tega kalian pukuli seperti penjambret?
Sadarkah kalian, kalau Darwin sedang bekerja? Ia memantau kerja kalian. Apakah tak boleh lagi jurnalis meliput kalian? Apakah tak boleh lagi kalian dikritik?
Jika anak kalian kelak jadi jurnalis dan junior kalian menghujani anak kalian dengan bogem dan tendangan yang sakitnya bukan main karena kalian pakai lars, apa kalian tidak marah?
Kalian ini sebenarnya mau berkelahi dengan siapa? Darwin itu bukan musuh. Tidak ada niat dia bermusuhan dengan kalian. Adakah Darwin menganggu kerja kalian?
Dalam kronologi dari Darwin, ia mengutarakan untuk melerai kalian yang memukuli demonstran. Ia mengingatkan, kalau polisi tak seharusnya sebrutal itu menghadapi mahasiswa. Jangan pukuli demonstran dengan ganas.
Tetapi, melalui Darwin lagi, kalian malah mengelilingnya dan memukulinya seperti penjahat. Apa yang ada dalam pikiran kalian itu, heh? Kenapa kalian kejam sekali.
Aku tidak tahu, jika tak ada Kapolsek Panakkukang, Kompol Ananda Fauzi Harahap, jadi apa Darwin saat itu. Tidakkah kalian dibekali untuk mempertajam perasaan kalian di sekolah kepolisian?
Apakah sekolah kepolisian mengajarkan kalian untuk berperang sekaligus melecehkan kemanusiaan? Aku yakin tidak, sebab Kompol Ananda menginstruksikan sampai berteriak beberapa kali kepada kalian untuk berhenti menyerang kawanku.
Tidak bisakah kalian diingatkan lagi? Siapakah yang pantas mengingatkan kalian hal-hal yang berbau kemanusiaan? Perbuatan kalian itu melanggar undang-undang. Tetapi undang-undang adalah buatan manusia, sementara lembut rasa datang dari langit. Kupikir begitu.
Jikalau kalian membaca ini, tolong periksa sanubari. Malulah pada Hoegeng, Umar Septono dan lain-lain. Rangkullah, raba dada, ajak kami bicara pelan-pelan dan tegas jika ada yang keliru. Jangan pentung atau tusuk kami pakai belati.
Sebab pakai akal sehat kutulis ini, aku pribadi sebagai jurnalis dan masyarakat dan eks mahasiswa, masih membutuhkan kalian. Membutuhkan institusi kalian. Ataukah kalian yang sudah tidak butuh lagi untuk kami kontrol dan ingatkan soal hal sosial?
Tabik, Ndan.