Jakarta, Lontar.id – Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat setidaknya upaya pelemanahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pemerintah dan DPR sejak 2010-2019. Revisi UU KPK sejak lama diusulkan untuk dilakukan perubahan, namun kuatnya dukungan publik menggagalkan upaya pelemahan KPK dengan mementahkan usulan tersebut.
Pembentukan dewan pengawas, pembatasan kerugian negara yang bisa diusut KPK, eksistensi waktu kelembagaan, kewenangan penerbitan SP3 sampai kewenangan penyadapan bukan kali pertamanya diusulkan. Wacana ini dimunculkan alih-alih memperkuat KPK namun justru kebalikannya, melemahkan institusi anti rasuah sebagai lembaga terdepan memberantas korupsi.
Revisi UU KPK yang baru saja disahkan DPR dan pemerintah, diakui ICW sebagai jalan kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari keseluruhan revisi, terdapat 12 poin bermasalah menurut ICW yang melemahkan KPK. Seperti memasukan lembaga KPK kedalam rumpun kekuasaan eksekutif pasal 1 ayat (3), pembentukan dewan pengawas berjumlah 5 orang untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, pasal 21 ayat (1) huruf A, pasal 37 A.
Dewan pengawas diangkat dan ditetapkan oleh presiden. ICW menilai kewenangan dewan pengawas yang dikhawatirkan dapat melunturkan independensi penegakan hukum di KPK. Pasalnya, KPK harus mendapatkan persetujuan dari dewan pengawas untuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
“Konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan,” kata Kurnia Ramadhana melalui rilis ICW yang diterima redaksi Lontar.id, Rabu (25/9/2019).
Pada pasal 19 ayat (1) dijelaskan KPK hanya berkedudukan di ibu kota dan wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia. Pasal ini mengindikasikan bahwa KPK tidak dapat membuka kantor perwakilan di daerah-daerah. Padahal kejahatan korupsi di level daerah cukup besar dengan menangkap sejumlah kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.
Kemudian adanya pembatasan umur bagi komisioner minimal 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun. Aturan ini memupus harapan kaum muda berkesempatan mendaftar sebagai pimpinan KPK.
Lalu pada pasal 40 ayat (1), berbunyi KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun. Melalui pasal ini akan menyulitkan KPK membongkar kasus mega korupsi seperti KTP-E, BLBI, Hambalang, Bank Century, karena kasus ini memakan waktu lebih dari 2 tahun.
Pegawai KPK akan dijadikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), menghilangkan kewenangan KPK mengangkat penyidik independen dan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan.
“Jika ditelisik lebih jauh ketentuan ini maka institusi yang dimaksud untuk melakukan koordinasi bersama dengan KPK adalah kejaksaan.”
Penulis: Ruslan