Lontar.id – Sejarah baru mencatat, anak Sekolah Teknik Menengah (STM) se Jabodetabek serentak turun ke jalan-jalan dengan seragam baju sekolah. Mereka ramai mengepung kantor DPR/MPR RI menolak UU KPK dan revisi UU KUHP yang baru saja disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Dari sejumlah video yang beredar di media sosial, anak STM datang menggunakan mobil truk dan berjalan kaki dengan massa yang lebih banyak. Spanduk dan poster lucu mereka pajang dengan tulisan nyeleneh tapi menohok mengkritik DPR.
Seperti salah seorang pelajar yang memegang poster dengan tulisan “Kite yang bolos die yang bego #DPRGoblok” kemudian “Mahasiswa Orasi, Pelajar Eksekusi” dan “Our Demokracy Has Been Hacked”.
Kalimat yang disampaikan oleh anak sekolahan melalui poster itu, bukan asal ditulis hanya untuk terlihat menarik dan berburu shoot kamera para jurnalis. Melainkan berangkat dari kesadaran dalam diri yang mengharuskan mereka ikut terlibat dalam aksi massa.
Apakah pelajar-pelajar yang bikin rusuh sepanjang malam itu ngerti dan paham tentang poin-poin UU KPK dan KUHP? Sehingga mereka ramai memberondong batu ke arah gedung DPR, merusak pagar dan melempar pihak aparat keamanan yang berjaga-jaga.
Sebagiannya ada yang ngerti, pun sebaliknya yang lain tidak. Tetapi bukan itu persoalan substansinya, melainkan adanya kesadaran bersama dari para pelajar untuk turut bergabung dalam perjuangan. Sebagai pelajar memang belum waktunya mereka paham dengan aturan yang cukup rumit dan istilah-istilah hukum yang nyelimet.
Banyak sumber yang bisa mereka dapatkan, bisa melalui pemberitaan televisi, informasi media online yang sangat mudah diakses terkait kondisi terkini. Melalui perangkat media yang mereka saksikan, dari sanalah kesimpulan yang didapatkan. Bahwa UU KPK dan KUHP bermasalah dan harus dilawan.
Cara perlawanan yang mereka pilih tentu berbeda dari pada umumnya, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan hal yang paling tidak mungkin dilakukan. Mengingat pengatahuan akan UU dan cara beracara sangat kecil bahkan tidak dimengerti. Maka jalan yang mereka pilihan adalah melawan, melawan dengan cara mereka sendiri, seperti abang-abangnya para mahasiwa lakukan.
Jika pertanyaan yang sama kita ajukan kepada para aparat keamanan, yang semena-mena memukul para demonstran tanpa ampun hingga kritis, menembak dengan gas air mata hingga meluncurkan air melalui kendaraan taktis water cannon. Apakah sudah melalui Standar Operasional Prosedur (SOP)? Belum lagi para aparat keamanan melakukan penyisiran mahasiswa hingga ke warung-warung makan, pasar dan pemukiman warga, juga bagian dari SOP yang mereka jalankan.
Penyisiran terhadap para demonstran dalam kondisi tidak genting merupakan pelanggaran terhadap SOP, apakah negara ini memang sudah melarang jika hanya makan saja di warung lalu dibenarkan untuk ditangkap? Siapa yang tidak paham prosedur, apakah pepajar, mahasiswa atau aparat keamanan?
Aksi STM Melawan ini menurut saya, merupakan bagian dari tindakan solidaritas terhadap para mahasiswa yang berjibaku dengan aparat kepolisian di depan Gedung DPR/MPR RI. Para pelajar ini marah dan dongkol atas perlakuan semena-mena dan represif sehingga mengakibatkan banyaknya korban dari mahasiswa berjatuhan.
Pada tanggal 23-24 September 2019, aksi unjuk rasa didominasi oleh para mahasiswa dari berbagai kampus. Namun aksi mereka mendapatkan tindakan represif, dan tak sedikit diantara mereka mendapatkan perlakuan kasar, hingga dilarikan ke rumah sakit.
Tak hanya itu, para wartawan yang sedang mengabadikan gambar, dimana aparat keamanan menindak keras, memukul, merampas kamera dan memaksa wartawan untuk menghapus gambar yang memperlihatkan perlakuan kekerasan aparat terhadap para demonstran.
Dari serangkaian peristiwa itulah yang membuat hati nurani pelajar STM se-Jabodetabek melakukan aksi solidaritas. Tidak saja di Jabodetabek para pelajar ini menggalang aksi, melainkan disejumlah daerah. Namun sayang, beberapa diantara mereka sebelum sampai ke tempat tujuan, lebih dulu dicegat aparat kepolisian.
Aksi pelajar ini menjadi tamparan keras, kepada semua orang yang tidak tergerak hatinya untuk melawan. Dari pelajar kita bisa mengambil satu pelajaran penting, bahwa melawan kekuasaan yang pongah tak butuh ilmu setinggi langit.
Editor: Ais Al-Jum’ah