Apa itu ‘police state’? Terjemahan langsungnya adalah ‘negara polisi’ atau ‘negara kepolisian’. Lalu, apa defenisinya? Menurut kamus Oxford, negara polisi adalah “a totalitarian state controlled by a political police force that secretly supervises the citizens’ activities”. Kurang lebih artinya adalah sebuah negara totaliter yang dikuasai oleh kepolisian yang politis, yang secara rahasia mengawasi aktivitas warga negara.
Menurut Wikipedia, “A police state is a government that exercises power arbitrarily through the power of the police force.” yang berarti suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kekuasaan kepolisian.
Apakah Indonesia saat ini bisa disebut ‘police state’? Jawabannya, masih belum. Tetapi, sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Indikasinya apa? Indikasinya bisa Anda lihat apakah kepolisian di Indonesia sudah memiliki karakteristik (ciri) yang tersurat maupun yang tersirat di dalam kedua definisi di atas.
Di dalam definisi pertama (Oxford), kata kuncinya adalah “political police force” atau “kepolisian yang politis”. Maksudnya adalah, kepolisian yang terkooptasi ke dalam kegiatan politik dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa.
Apakah Polri di bawah pimpinan Jenderal Tito Karnavian cocok dengan definisi ini? Apakah Polri telah menjadi ‘political police force’? Menurut hemat saya, iya. Coba saja Anda buat daftar keanehan sepak-terjang kepolisian dalam agenda politik nasional.
Berpolitikkah polisi atau tidak? Memihakkah polisi kepada misi pribadi Jokowi,atau tidak? Tak usahlah kita elaborasikan jawaban untuk dua pertanyaan ini. Anda semua pasti bisa merasakan. Anda telah menyaksikan sendiri seperti apa karakter kepolisian di masa kepresidenan Jokowi.
Coba Anda ingat kembali bagaimana perilaku para petugas kepolisian di semua level dalam menyikapi proses pemilihan presiden 2019. Mulai dari masa prakampanye sampai masa kampanye pilpres. Kapolri membawa polisi memihak Jokowi. Tidak semua personel kepolisian setuju memihak, tetapi mereka tidak bisa menentang secara terbuka. Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri.
Sebuah institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka.
Sekarang, coba kita cermati definisi ‘negara polisi’ menurut Wikipedia. Yaitu, “pemerintah yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kepolisian”.
Nah, menurut Anda, apakah Polri hari ini pas dengan definisi itu?
Sulit dibantah. Lihat saja apa yang dilakukan oleh polisi dalam menghadapi orang-orang yang beroposisi. Polisi suka menggunakan pasal-pasal ITE untuk hal-hal sederhana. Sedikit-sedikit hoax. Sedikit-sedikit ujaran kebencian, dlsb.
Belakangan, definisi versi Wikipedia ini tampak dari cara polisi menangani aksi-aksi protes damai apalagi yang tak damai. Kita masih ingat cara polisi menangani aksi 21-22 Mei 2019. Mereka menggunakan cara-cara yang brutal dengan alasan diserang oleh demonstran. Hebatnya, pernyataan seperti ini diterima begitu saja oleh media massa mainstream.
Begitu juga dalam menghadapi rangkaian unjuk rasa UU KPK, RKUHP dan beberapa RUU lainnya dalam sepekan ini. Sekian banyak rekaman video menunjukkan kekejaman dan kebrutalan polisi terhadap para pendemo.
Polisi menjadi sangat arogan. Termasuk ketika mereka mengejar para pendemo di Makassar sampai ke masjid. Sejumlah personel kepolisian masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu mereka. Meskipun mereka meminta maaf, kasus ini menunjukkan kepongahan polisi.
Ini semua memperlihatkan bahwa Indonesia di masa sekarang sedang dalam proses menuju “negara polisi” (police state). Para penguasa cenderung sewenang-wenang. Kesewenangan itu dijalankan, antara lain, melalui kekuasaan kepolisian.
Kalau praktik-praktik kekuasaan seperti hari ini berlanjut, bisa jadi Indonesia akan terperangkap menjadi “police state”. Bahaya ini bisa dicegah oleh DPR kalau mereka benar-benar membawa suara rakyat.
Sayangnya, DPR membiarkan proses menuju “negara polisi” itu.
Media massa juga seharusnya bisa ikut mencegah kalau mereka berfungsi dengan baik dan senantiasa independen. Sayangnya, 90 persen media massa membuang akal sehat.
Asyari Usman (Wartawan senior)