Lontar.id– Sebagai anak muda yang lahir di tahun 90-an, buku Cantik itu Luka, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan sederet buku sastra menjadi bacaan yang menstimulus pikiran bahkan buku-buku tersebut berkontribusi terhadap pilihan hidup saya. Dan tentu, buku-buku itu lahir tidak begitu saja. Para penulisnya atau sebut saja sastrawan melakukan kerja-kerja tak biasa untuk menuntaskan satu buku fiksi.
Seno Gumira Ajidarma misalnya banyak melahirkan buku-buku dari hasil permenungannya terhadap Orde Baru. Ayu Utami begitupun dengan Intan Paramadhita menulis karya fiksi sebagai wujud protes, atau jika tidak ingin terdengar radikal, sebut saja sebagai respon terhadap suatu kondisi yang mendiskriminasi perempuan.
Sekali lagi, buku-buku fiksi tersebut tidak lahir begitu saja. Para sastrawan melakukan riset bertahun-tahun, menulis dan mengedit hingga berulang-ulang kali. Kerja-kerja demikian sama halnya dengan para ilmuan ataupun atlet, yang melakukan latihan berkali-kali. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya jika para pekerja seni, sastra, dan budaya juga berhak mendapatkan penghargaan yang setara dengan profesi lainnya. Hal itu bukan berarti membandingkan profesi mana yang memiliki kontribusi lebih besar, sebab seharusnya setiap mereka memiliki perannya masing-masing.
Sayangnya, di negeri ini, pemerintah cenderung meng-anak-tirikan para pekerja budaya. Gambaran itu jelas terlihat pada saat Eka Kurniawan, sastrawan Indonesia yang karya-karyanya telah dikenal dunia melakukan protes dengan menolak diundang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai salah satu calon penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro seni 2019.
Hal itu disampaikan Eka melalui postingannya di Facebook, Rabu (09/10/2019). Alasannya cukup valid, Eka merasa pemerintah terlalu memandang rendah pekerja seni dan sastra, serta penggiat budaya.
Eka mencoba membandingkannya dengan apa yang didapatkan oleh atlet Asian games tahun lalu. Pada saat itu, para atlet yang memperoleh medali emas mendapatkan 1,5 miliar rupiah dan peraih perunggu mendapatkan 250 juta rupiah. Sementara untuk penghargaan yang seharusnya akan diberikan pemerintah hari ini kepada peraih Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni 2019, hanya 1 buah pin dan uang senilai 50 juta rupiah.
Kontras penghargaan itu membuat Eka terus bertanya, benarkah pemerintah benar-benar serius memberikan penghargaan terhadap penggiat kebudayaan? Jawaban terhadap keseriusan pemerintah nampaknya semakin meragukan ketika mengingat dosa-dosa pemerintah terhadap para pelaku seni dan sastra. Yang masih belum kering di ingatakan kita barangkali persoalan pencekalan buku-buku berbau “kiri” oleh pemerintah.
Jika pemerintah saja mengebiri hak-hak berpikir, menulis, dan membaca para warganya, lalu bagaimana kita mengharapkan sebuah apresiasi untuk sebuah kerja kebudayaan?
“Suara saya mungkin sayup-sayup, tapi semoga jernih didengar. Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan,” tulis Eka.
Harapan selanjutnya tentu kita menunggu suara-suara lain agar semakin jelas terdengar di telinga para penguasa yang terlanjur tuli terhadap suara-suara mereka, para pelaku seni, sastra, dan budaya.