Lontar.id– Kompetisi nyanyi di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai orang yang lahir pada dekade 90-an, ingatan saya tentang kompetisi nyanyi berserta artis-artisnya masih melekat. Saat Sekolah Dasar (SD), ada Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang sangat tenar. Saat itu, saya beserta teman-teman di sekolah sangat antusias mengikuti AFI, hingga kami bisa menghafal gerakan dan lagunya “Menuju Puncak”. Untuk kalangan orang dewasa ke atas, sebut saja orang tua saya pada masa itu sangat mengikuti Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang saat itu disiarkan di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang sekarang berganti MNC TV.
AFI memang sudah tak ada lagi saat ini, namun ajang pencarian bakat menyanyi masih terus bersinar. Meski demikian, tren yang hadir justru mengikuti ajang pencarian bakat luar negeri, seperti Indonesian Idol, X-Factor, The Voice Indonesia, dan Rising Star. Adapun yang sementara digelar tahun ini yakni, The Voice Indonesia yang sedang disiarkan di Global TV dan Indonesian Idol di RCTI.
Tak bisa dielakkan lagi bahwa ajang pencarian bakat Indonesian Idol yang paling sering menyorot perhatian publik. Tahun lalu, muncul nama seperti Ghea, Brisia Jodi, dan Marion Jola yang bahkan terlanjur terkenal sebelum kompetisi di atas panggung utama Indonesian Idol digelar.
Ketiga nama di atas sekalipun tidak menyabet juara pertama, namun ketenarannya tidak mampu dikalahkan oleh kontestan lain, termasuk Maria dan Abdul yang meraih juara satu dan dua. Marion Jola dan Jodi selepas dari Indonesian Idol mampu membuat single yang cukup meledak dan masuk dalam salah satu lagu yang sering saya dengar di radio.
Prestasi Marion Jola di industri musik tidak kalah hebat dengan artis-artis senior sebab ia usia karirnya masih sangat singkat. Tidak cukup dua tahun pasca menyelesaikan kompetisi Indonesian Idol, ia meraih beberapa penghargaan, di antaranya AMI AWARD untuk Pendatang Baru Terbaik, Dahsyatnya Award untuk Lagu Terdahsyat, dan dinobatkan sebagai Best New Asian Artist Indonesia dari Mnet Asian Music Awards (MAMA) 2018.
Ingin mengulang kesuksesan Indonesian Idol tahun lalu, tim Indonesian Idol nampaknya mengusung formasi yang hampir serupa. Misalnya dengan menetapkan formasi juri yang hampir sama, hanya Armand Maulana saja yang diganti oleh Anang Hermansyah. Pembawa acara nya pun, seperti tahun ke tahun masih dipegang oleh Daniel Mananta.
Hal yang paling menyorot perhatian saya saat menonton audisi Indonesian Idol tahun ini adalah terlalu banyak gimik. Hal itu cukup menganggu sekalipun ihwal gimik sebenarnya telah menjadi rahasia umum namun selayaknya bumbu pada makanan, justru bumbu itu yang terlihat mendominasi dibandingkan bahan utamanya. Ibaratnya makan bakso, porsi penyedap rasanya lebih banyak dibandingkan bakso itu sendiri.
Salah satu kontestan Indonesian Idol, Al Ghufron melalui kanal YouTube nya membeberkan cerita dan tahap-tahap Indonesian Idol yang menurutnya tidak banyak diketahui oleh orang-orang. Melalui pemaparan salah satu kontestan tersebut, kita dapat mengetahui tahap-tahap audisi.
Ia membeberkan, ada enam tahap audisi, mulai dari mengisi formulir, hingga mengikuti audisi langsung di setiap daerah. Tahap tersebut biasanya yang memproduksi antrian sangat panjang. Meski demikian, pada tahap itu, para peserta tidak akan langsung bertemu juri utama (ke-lima juri yang dibahas di bagian awal), melainkan ada juri khusus yang disiapkan oleh tim Indonesian Idol. Melalui juri itu, peserta diberi waktu 5 menit utnuk menyanyi.
Hasil dari audisi tahap kedua kemudian ditentukan oleh tiga kartu, merah, biru, dan hitam. Hitam berarti ditolak, merah berarti diterima, dan biru berarti diterima dengan catatan khusus.
Peserta yang diterima dengan catatan khusus inilah yang dijadikan modal oleh tim Indonesian Idol untuk membuat gimik. Penampilannya diatur sedemikian rupa agar mampu menarik perhatian juri dan penonton. Mulai dari yang paling lucu hingga sedih.
Kalau kalian menonton audisi Indonesian idol tahun ini atau tahun-tahun yang lalu. Kalian tentu pasti sering menemukan peserta yang suaranya sangat jelek tapi bisa lolos bertemu dengan juri utama, padahal untuk bisa menuju ke tahap itu harus melalui tiga tahap sebelumnya dengan seleksi yang sangat ketat.
Hal itu, membuat kita tentu bertanya-tanya mengapa kita terlalu gampang tertarik dengan gimik-gimik yang demikian. Kita bahkan lebih menyukai gimiknya dibandingkan dengan cara menyanyi para kontestan. Kita lebih menyukai bumbu penyedap rasa dibandingkan dengan baksonya.
Porsi gimik dalam Indonesian Idol ini memang tidak ada apa-apanya dibandingkan D’Academy yang tayang di Indosiar. Sebuah kompetisi menyanyi dangdut yang berhasil bertahan hingga beberapa musim. Saya pernah beberapa kali mengikutinya karena terperangkap oleh tante di rumah yang sangat fans dengan Nassar (salah satu juri D’Academy) dan tidak ada pilihan lain selain mengikuti keinginannya menonton D’Academy.
Sepanjang sejarah saya menonton kompetisi menyanyi seperti itu, saya baru melihat acara di mana para kontestan paling lama menyanyi 10 menit, namun acara melawaknya bisa sampai 30 menit per-satu kontestan. Anehnya, justru acara-acara itu yang paling diminati banyak orang.
Tidak jarang bahkan lawakan D’Academy berisi guyonan yang brengsek, seperti body shaming dan sarat candaan yang mengobjektifikasi kaum perempuan. tapi toh, hal-hal itu terus diproduksi diikuti dengan gelak tawa para penontonnya.