Sudah 91 tahun, sumpah itu diucapkan, oleh Jong Java, Jong Soematera, Pemuda Indonesia Sekar Roekoen, Jong Islamiten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia.
Tepat pada 20 Oktober 1928, ikrar tekatpun diucapkan: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia; kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Suatu ikrar putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, atau yang saat ini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Bukan sekadar ikrar biasa, atau putusan kongres yang bersifat seremoni biasa. Putusan pemuda ini dikemukakan melalui proses perdebatan yang panjang selama tiga hari lamanya. Perdebatan epistemik, ideologis, kebudayaan, sosiologis, politik dan nasionalisme.
Dari perdebatan itu, bukan sekadar menawarkan secarik tulisan, melainkan selaksa gagasan. Gagasan-gagasan itu diperdebatkan, dipertengkarkan, dihujam ke dalam isi kepala dan sanubari jiwa juang kaum bumi putera.
Mereka bukanlah kumpulan pemuda biasa. Mereka pemuda penuh isi kepala. Pemuda yang haus membaca. Orang-orang yang gila diskusi. Manusia yang memiliki visi peradaban. Idealismenya sekokoh karang. Prinsipnya segarang gelombang. Ketahanan mentalnya seangkuh rimba raya. Namun hatinya sepeka kopi hitam.
Dengan prinsip, idealisme dan pikiran besar yang mereka punya, bukan hanya ikrar identitas, tapi juga sekaligus deklarasi berdirinya bangsa Indonesia. Benar kita merdeka tahun 1945, namun itu hanyalah pembacaan demi pembacaan proklamasi berdirinya sebuah negara republik. Sebab sebagai sebuah bangsa kita telah lama ada.
Bukan hanya itu, dari peristiwa ke peristiwa heroik yang pernah ada. Yang menjejaki lanskap nasionalisme. Mulai dari peristiwa sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga peristiwa reformasi 1998. Bukanlah sekedar peristiwa politik, tetapi merupakan sebuah peristiwa pertengkaran pikiran, argumen dan ideologi.
Lalu setelah reformasi, apa lagi? Kosong!. Setelah itu hingga hari ini hanya omong kosong. Tidak punya isi. Isinya hanyalah pragmatisme, pengkhianatan, dan kemunafikan. Manusia-manusia di dalam masa ini, termasuk juga para aktivisnya dan intelektualnya, adalah makhluk hidup tanpa kepala. Ajaib.
Demikianlah masalah-masalah komplit yang hinggap di tubuh generasi kita. Ada intelektual tapi tidak peduli, ada yang peduli tapi tidak intelek. Ada juga yang tidak peduli sekaligus tidak intelek. Kita memerlukan orang intelek dan sekaligus punya kepedulian tinggi. Inilah yang disebut manusia yang bermanfaat. Yang tidak hanya bersumpah tetapi juga menepatinya.
Karena fakta hari ini, sumpah, sampah dan pemuda hampir serupa.
Tapi apapun masalahnya, jangan berhenti membaca. Kurangi komentar dan perbanyak mendengar. Jangan diam teruslah bergerak. Karena di era sulit ini, jangankan diam, bergerakpun sulit. Bicaralah dengan gagasan bukan dengan cacian, sampaikan argumen dengan rasional bukan dengan emosional.
Menjadikan pikiran sebagai pusat pergerakan, seperti hati yang menjadi pusat peraduan cinta dan rindu.
*Tulisan ini menjadi intisari dari makalah yang disampaikan dalam diskusi AIMI, Rabu (30/10/2019), Ciputat, Tangerang Selatan.
Penulis: Alfarisi Thalib Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies (IPS)